Selasa, 31 Oktober 2017

Sudut Pandang




Setiap kali menyeberang Jalan Raya Soekarno-Hatta, Bandung, rasa-rasanya lebar jalan itu semakin sempit.  Berbeda ketika masih mengenakan seragam merah-putih dulu, pertengahan dekade 1990. Menyeberang jalan itu terasa menyeramkan. Laju kendaraan jarang ada yang pelan. Truk besar hilir-mudik dengan kecepatan yang tinggi dan menyeramkan bila membayangkan terlindas olehnya. Untuk bisa menyeberang jalan itu, dulu, selalu saja ada rasa deg-degan. Rasa-rasanya harus berlari jauh untuk bisa menyeberang sampai tujuan.  

Namun kini, di umur 32 tahun ini, lebar jalan itu rasa-rasanya tidak sebesar seperti ketika masih sekolah dulu. Menyeberangi Jalan Soekarno-Hatta, kini, rasa-rasanya seperti menyeberang jalan komplek rumah saja. Berbeda, misalnya, ketika membayangkan menyeberang Jalan Thamrin di Jakarta tanpa melewati jembatan penyeberangan. Mungkin itu bisa berujung maut. 

Mungkin ada pengaruh overpopulasi sehingga jalan itu terlihat kecil sekarang. Atau mungkin juga karena aku yang kini sudah memiliki referensi Jakarta sebagai pembanding dengan kota ini. Jalan-jalan protokol di Jakarta, mungkin semua tahu, lebarnya bukan main. Atau mungkin, bisa juga karena ukuran tubuhku yang kini semakin besar sehingga berpengaruh kepada pandangan mata, dimensi penglihatan dan semacamnya. Atau mungkin juga, kesanku tentang jalan itu yang mengecil bisa campuran dari semuanya yang telah kusebutkan di atas. Entahlah.

Sudah 4 tahun terakhir aku tidak banyak tinggal di Bandung. Hanya akhir pekan saja kusempatkan datang ke kota masa kecilku ini. Sementara sehari-hari, sudah 2 tahun terakhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Kota besar yang absurd itu. Dan mungkin karena lama tidak menyusuri sudut-sudut kota Bandung, rasa-rasanya muncul kesan yang campur aduk tentangnya.

Tidak hanya soal Jalan Soekarno-Hatta yang terasa menyempit. Dulu, kota ini bahkan terasa luas. Seolah-olah semua ada di dalamnya. Interaksi dengan teman serasa hangat. Namun kini, muncul kesan luas kota ini ternyata segitu-segitu saja. Selain itu, kota ini juga kurasa-rasakan cenderung menjadi sepi. Hanya perasaan saja memang, karena orang-orang yang aku ajak bicara tentang kesanku terhadap kota ini seringkali tertawa sinis bila mendengarnya. Menurut mereka, sekarang Bandung justru sesak bukan kepalang ampun. Kemacetan parah sudah menjadi bagian sehari-hari kota ini. 

Ya, mereka memang benar tentang Bandung yang sudah berubah dan semakin sesak karena luasnya segitu-segitu saja sedangkan populasi semakin bertambah. Hanya saja, di antara itu semua, rasa-rasanya banyak yang menghilang dari kota ini. Entah karena teman lama sudah banyak yang menghilang atau tertarik ke dunia kecil sebuah keluarga sehingga kehangatan interaksi menjadi surut. Jadinya, sepi adalah kesan yang kurasakan kini ketika menelusuri sudut-sudut di Kota Bandung.

Dinamika yang sempat kurasakan dari kota ini juga terasa menyurut drastis. Bila di Jakarta, berbagai jenis pekerjaan bisa ditemui, mulai dari jenis pekerjaan yang konvensional sampai jenis pekerjaan yang benar-benar tidak terbayangkan sebelumnya. Ritme kerja di Jakarta pun berlangsung hectic dan di antara orang-orang, seolah-olah tercipta iklim yang kompetitif. Beberapa tahun hidup di Jakarta, timbul pikiran bahwa kota itu sepertinya cocok untuk mereka yang tengah berada di usia produktif.  

Sementara di Bandung, lapangan pekerjaan tidak seluas seperti di Ibu Kota. Kebanyakan, lapangan kerja yang tersedia di sini tfidak jauh dari bank atau hotel dengan upah yang...entahlah.

***

Memikirkan tentang masa-masa lalu dan kini di Bandung, aku teringat tentang tulisan perjumpaan Salim Haji Said dengan sosok tentara dari angkatan 45, Mayjen TNI (Purn) Slamet Danusudirjo. Tulisan itu merupakan salah satu bagian buku Said berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Orde Baru (2016).

Dalam percakapan dengan Jenderal Slamet, Said menuliskan bagaimana Sang Jenderal merindukan TNI sebagai tempatnya bernaung dulu. Jenderal Slamet diketahui telah pensiun dan untuk mengisi masa pensiunnya itu, ia menulis novel dan menerima tawaran menjadi rektor di Institut Kesenian Jakarta. Menurut Said, novel yang dibuat Jenderal Slamet juga ada yang dibuat filmnya.

Meskipun bergelut di dunia seni, Jenderal Slamet rupanya tidak menganggap dirinya sebagai seniman. Bahkan, suatu waktu, ada undangan bagi Sang Jenderal untuk hadir dalam sebuah acara dimana banyak sastrawan hadir. Namun, Jenderal Slamet memilih tidak menghadirinya. Sang jenderal, menurut Said, masih merasa sebagai anggota TNI daripada seorang sastrawan. Demikian Said menulis:

“Kepada saya, dia pernah mengaku menolak hadir dalam sebuah pertemuan para sastrawan. ‘Saya ini tentara yang menulis pengalaman zaman perang saja,’ katanya.”  (2016: 234).

Dalam perjumpaan di lain waktu, Said bertanya kepada Jenderal Slamet mengenai rencana setelah tidak lagi menjadi rektor IKJ. Sang Jenderal menjawab bahwa ia akan kembali ke “induk” atau dalam hal ini, kembali ke TNI. Jawaban itu rupanya menarik perhatian Said karena baginya, TNI sebagai sebuah lembaga, bentuknya sudah berubah jauh dibandingkan pada masa-masa Sang Jenderal masih aktif. Jenderal Slamet, di mata Said, belum sepenuhnya menyadari bila TNI sudah bukan lembaga sebagaimana yang ada di dalam benaknya.

Bila kemudian Jenderal Slamet memilih kembali ke “induk” sedangkan “induk”-nya itu sendiri sudah berubah bentuk sangat jauh, lantas bagaimana? Akan kemana Sang Jenderal kembali bila “induk” yang berubah drastis itu--dalam perbandingannya dengan imaji Sang Jenderal--berarti sama saja dengan “induk” yang sebenarnya telah menghilang?  Itulah kira-kira yang ada di dalam benak Said sebagaimana yang ditulis di dalam bukunya.

“(...) Saya tidak tahu bagaimana jadinya dengan rencana beliau kembali ke ‘induk’-nya. Sebagai pengajar pada berbagai sekolah militer, dan karena itu kenal perwira-perwira TNI waktu itu, saya bisa membayangkan betapa bingungnya perwira dari generasi muda itu menghadapi Jenderal Slamet Danusudirjo yang ingin kembali ke kalangan mereka. Latar belakang mereka berbeda, etos dan motivasi jadi tentara juga lain sama sekali.” (2016: 235).

Said kemudian mengungkapkan perbedaan TNI pada penghujung 1990 dalam perbandingannya dengan tahun-tahun dimana lembaga itu baru dibentuk dan menjadi bagian dari awal kehidupan Jenderal Slamet di ketentaraan pada tahun 1945. Salah satu perbedaan yang dipaparkan Said adalah mengenai sikap tentara terhadap TNI ketika belum mapan dan sesudah mapan. Demikian Said menulis:

“Tentara generasi 45 memandang TNI sebagai rumah tunggal yang mereka bangun bersama, sehingga ketika harus meninggalkan dinas militer pada umumnya mengalami rasa kehilangan yang besar. Sementara bagi generasi pasca-revolusi, TNI adalah sebuah pilihan di antara banyak kemungkinan pilihan lainnya. Dan pada umumnya, selama berada dalam induk pilihan itu, mereka menyiapkan diri untuk berpindah “induk” lain setelah purnatugas.” (2016: 236-237).

Perubahan dan rangkaian ironi yang menyertainya. Tafsir Said tentang kisah Jenderal Slamet ini kumaknai sebagai paparan tentang kenyataan sehari-hari mengenai perubahan. Kenyataan yang, kadang, beberapa orang tidak menyadarinya. Bahkan ketika kenyataan itu disadari, ada saja yang tidak siap untuk mengatasinya.  Padahal, berbagai pengetahuan--bahkan sejak zaman lampau--selalu menggambarkan kehidupan sebagai perubahan yang simultan, suatu gerak yang dinamis. Ada tahapan, ada benturan sehingga muncul kebaruan dan dilihat dari gambaran besarnya, suatu perubahan tengah terjadi.

Memang ada perubahan yang sifatnya tidak langsung tercerap. Ia bisa saja mengambil pola yang sangat lambat dan sekilas tampak tidak berhubungan antara satu dan lainnya. Demikian, misalnya, ketika bibir pantai di sepanjang Indramayu tiba-tiba saja semakin mendekati wilayah pemukiman. Telah terjadi abrasi, mereka menyebutnya.  Bibir pantai lambat laun terkikis semakin banyak ketika di titik-titik tertentu dibangun pelabuhan untuk bongkar muat migas. Hal tersebut berlangsung menahun sehingga warga di pesisir tiba-tiba saja menyadari adanya pemendekkan bibir pantai. limpahan air pasang tiba-tiba saja semakin mendekat ke pelataran rumah mereka.

Jenderal Slamet mungkin menyadari TNI sebagai sebuah lembaga telah berubah banyak. Namun, dengan keyakinannya, bisa saja dia memegang erat imajinya tentang TNI yang sempat dihidupinya dulu. Bagaimanapun juga, manusia merasa perlu berpegang kepada pijakan-pijakan dimana dia merasa familiar, tidak asing, dan bisa mengontrolnya. Itu semata-mata untuk menghadapi kenyataan harian yang tampak kacau balau, seakan-akan tanpa pola dan tanpa tujuan. Tidak masalah bila pijakan itu memang riil atau senyata-nyatanya adalah sebuah kehampaan.  

Atau, bisa saja pikiran Said mengenai perubahan dengan berkaca kepada kehidupan Jenderal Slamet memang ada betulnya:  

“Tidak banyak di antara anggota Generasi 45 itu pada masa pensiun dari dinas militer menyadari bahwa secara perlahan lembaga yang mereka tinggalkan telah mengalami modifikasi, baik oleh teman mereka yang berkuasa lama maupun oleh penghuni baru, generasi adik dan anak-anak mereka. Dan “induk’ masa lalu pun berangsur menyelinap ke dalam ingatan dan tinggal di sana sebagai kenangan yang wujudnya di lapangan menghilang secara cepat. Dengan latar belakang itulah, Jenderal Slamet pada masa tuanya merindukan kembali ‘induknya’ yang sebenarnya telah hilang. Sedihnya pula, kesempatan punya dunia lain, ‘induk lain’, sastrawan misalnya, tidak pula berkenan buat perasaannya. Dalam keadaan demikian, risikonya memang kesepian.” (2016: 237).

Terlepas dari persoalan kemiliteran yang menjadi topik tulisan Said, namun membaca tulisannya, seperti ada kesamaan dengan pengalamanku kini ketika memikirkan keseharian di Bandung. Ada satu benang merah bila memikirkan perubahan di sebuah kota dimana aku banyak menghabiskan tahun demi tahun ketika tumbuh di dalamnya.
 
 Jenderal Slamet tentu saja merasakan jatuh bangunnya sendiri ketika menjadi anggota TNI, sama dengan diriku yang merasakan jatuh bangun sedari kecil di sebuah kota. Dan ketika waktu melaju sedemikian cepat dan umur bertambah, entah bagaimana salah satu kalimat Said tentang Jenderal Slamet mengena: “dan induk masa lalu pun berangsur menyelinap ke dalam ingatan dan tinggal di sana sebagai kenangan yang wujudnya di lapangan menghilang secara cepat”. Ada masa-masa yang kini telah pudar di Bandung dan masa depan pun belum jelas benar. 

Perubahan dan rangkaian ironi di dalamnya.    

Tidak ada komentar: