Rasa-rasanya seperti mengetahui seluruh isi dunia ketika masa remaja dihabiskan di Bandung. Hitamnya kehidupan rasa-rasanya telah dimasuki ketika mengingat kawan yang meninggal karena putaw, kawan yang babak belur karena perkelahian, kulit punggung yang terkelupas karena dihantam balok, menggelandang tengah malam di Jalan Ambon...dan setumpuk kenangan lainnya yang terlalu banyak untuk dituangkan di sini.
Malam yang gelap,
gesekan daun dari ranting pohon yang tumbuh di pinggir jalan, hembusan angin
yang ringan dan udara dingin yang merembes ke dalam daging serta derap langkah
di jalan kota yang lengang. Kamu pikir kota ini luas dan seluruh kehidupan ada
di dalamnya. Tapi, manusia memang bias dan bisa juga congkak karena
ketidaktahuannya. Mungkin karena keterbatasan indera pencerapnya ia rentan “hidup
di dalam tempurung”. Keterbatasan indera pencerap itu sebuah kenyataan dan
memang harus diterima dengan lapang dada.
Namun setelah
menerima kenyataan seperti itu, bisa jadi ada tiga percabangan nasib yang bisa
ditemui; entah kau didorong oleh sebuah kekuatan yang sangat besar dan
misterius, entah itu memang inisiatifmu sendiri mencoba melampaui keterbatasan
untuk kemudian memperlebar kemungkinan, atau entah itu campuran antara
keduanya. Percabangan-percabangan nasib itu lalu melemparmu ke dunia yang
berbeda dengan dunia yang selama ini kau tinggali. Dalam hal ini, melemparmu ke
Jakarta.
Awalnya, selalu
muncul kesan tentang Jakarta sebagai kota aneh dan rasa-rasanya tidak menyenangkan
untuk ditinggali. Frasa kota yang kejam, banyak ditinggali manusia egois,
overpopulasi, seringkali terdengar dan
seolah-olah memantapkan keyakinanmu bahwa kota itu memang asing. Membuatmu
semakin tidak tertarik untuk melebur ke kehidupan yang ada di dalamnya. Namun
nasib ternyata melemparmu ke kota itu.
Baru saja dua
setengah tahun di Jakarta, tapi muncul rasa yang berkebalikan dengan rasa
ketika tinggal di Bandung dulu. Kota ini
memiliki dinamika, itu satu yang pasti. Ada keriuhan dalam ritme kerja yang
membuatmu sadar sekaligus tidak sadar akan peranan waktu: kau begitu
berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan demi ketepatan tenggat sehingga yang
kamu ingat kemudian adalah langit telah menghitam, siang telah berganti malam. Umur
semakin tenggelam.
Bagi sebagian orang,
Jakarta menyenangkan. Memang menyenangkan. Ada uang berlimpah di sana dan kamu
bisa menghabiskannya untuk sesuatu yang tidak terkira dan di tempat yang tidak
terkira. Betul ada ketergesaan di sana-sini akibat tuntutan pekerjaan, namun
ada celah kesenangan juga di antaranya.
Dan kadang, sebelum
tidur malam, masih ada imaji yang belum lelah untuk berkelebat. Imaji tentang
kemungkinan, tentang bayangan peluang pada esok hari yang bisa saja diwujudkan.
Optimisme hadir dari imaji itu. Meskipun, dibaliknya, ada bayang-bayang lain,
yakni akhir dari optimisme berupa angan-angan kosong semata.
Di kota ini kadang
kamu heran. Ada yang bergumam, andaikan pekerjaan ada di kampung halaman
sehingga tidak harus susah-susah datang ke Jakarta. Namun ada saja yang enggan
untuk pulang ke kampung halaman karena sudah tidak seriuh Jakarta. Rela untuk
bersusah payah, berkeringat, mencari nafkah, mencari apapun dengan menggenggam
imaji tentang kesejahteraan, kenyamanan dan keamanan.
Pergerakan kota ini
menakjubkan. Di dalamnya, seakan-akan manusia menyemut menjadi sebuah kesatuan,
setiap hari semakin banyak hingga akhirnya menggunung. Seolah-olah manusia dari
berbagai penjuru tersedot ke inti pusaran. Entah seperti apa nasib daerah di
seantero penjuru ketika manusia-manusia didalamnya tertarik ke kota ini. Dan
ketika semakin banyak yang tertarik ke dalam pusaran, aku selalu mengira-ngira
akan seperti apakah titik jenuhnya kelak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar