Sabtu, 14 Oktober 2017

Hidup Dalam Ironi






Rasa-rasanya seperti mengetahui seluruh isi dunia ketika masa remaja dihabiskan di Bandung. Hitamnya kehidupan rasa-rasanya telah dimasuki ketika mengingat kawan yang meninggal karena putaw, kawan yang babak belur karena perkelahian, kulit punggung yang terkelupas karena dihantam balok, menggelandang tengah malam di Jalan Ambon...dan setumpuk kenangan lainnya yang terlalu banyak untuk dituangkan di sini.

Malam yang gelap, gesekan daun dari ranting pohon yang tumbuh di pinggir jalan, hembusan angin yang ringan dan udara dingin yang merembes ke dalam daging serta derap langkah di jalan kota yang lengang. Kamu pikir kota ini luas dan seluruh kehidupan ada di dalamnya. Tapi, manusia memang bias dan bisa juga congkak karena ketidaktahuannya. Mungkin karena keterbatasan indera pencerapnya ia rentan “hidup di dalam tempurung”. Keterbatasan indera pencerap itu sebuah kenyataan dan memang harus diterima dengan lapang dada.

Namun setelah menerima kenyataan seperti itu, bisa jadi ada tiga percabangan nasib yang bisa ditemui; entah kau didorong oleh sebuah kekuatan yang sangat besar dan misterius, entah itu memang inisiatifmu sendiri mencoba melampaui keterbatasan untuk kemudian memperlebar kemungkinan, atau entah itu campuran antara keduanya. Percabangan-percabangan nasib itu lalu melemparmu ke dunia yang berbeda dengan dunia yang selama ini kau tinggali. Dalam hal ini, melemparmu ke Jakarta.

Awalnya, selalu muncul kesan tentang Jakarta sebagai kota aneh dan rasa-rasanya tidak menyenangkan untuk ditinggali. Frasa kota yang kejam, banyak ditinggali manusia egois, overpopulasi, seringkali terdengar  dan seolah-olah memantapkan keyakinanmu bahwa kota itu memang asing. Membuatmu semakin tidak tertarik untuk melebur ke kehidupan yang ada di dalamnya. Namun nasib ternyata melemparmu ke kota itu.

Baru saja dua setengah tahun di Jakarta, tapi muncul rasa yang berkebalikan dengan rasa ketika tinggal di Bandung dulu.  Kota ini memiliki dinamika, itu satu yang pasti. Ada keriuhan dalam ritme kerja yang membuatmu sadar sekaligus tidak sadar akan peranan waktu: kau begitu berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan demi ketepatan tenggat sehingga yang kamu ingat kemudian adalah langit telah menghitam, siang telah berganti malam. Umur semakin tenggelam.

Bagi sebagian orang, Jakarta menyenangkan. Memang menyenangkan. Ada uang berlimpah di sana dan kamu bisa menghabiskannya untuk sesuatu yang tidak terkira dan di tempat yang tidak terkira. Betul ada ketergesaan di sana-sini akibat tuntutan pekerjaan, namun ada celah kesenangan juga di antaranya.

Dan kadang, sebelum tidur malam, masih ada imaji yang belum lelah untuk berkelebat. Imaji tentang kemungkinan, tentang bayangan peluang pada esok hari yang bisa saja diwujudkan. Optimisme hadir dari imaji itu. Meskipun, dibaliknya, ada bayang-bayang lain, yakni akhir dari optimisme berupa angan-angan kosong semata.

Di kota ini kadang kamu heran. Ada yang bergumam, andaikan pekerjaan ada di kampung halaman sehingga tidak harus susah-susah datang ke Jakarta. Namun ada saja yang enggan untuk pulang ke kampung halaman karena sudah tidak seriuh Jakarta. Rela untuk bersusah payah, berkeringat, mencari nafkah, mencari apapun dengan menggenggam imaji tentang kesejahteraan, kenyamanan dan keamanan.  

Pergerakan kota ini menakjubkan. Di dalamnya, seakan-akan manusia menyemut menjadi sebuah kesatuan, setiap hari semakin banyak hingga akhirnya menggunung. Seolah-olah manusia dari berbagai penjuru tersedot ke inti pusaran. Entah seperti apa nasib daerah di seantero penjuru ketika manusia-manusia didalamnya tertarik ke kota ini. Dan ketika semakin banyak yang tertarik ke dalam pusaran, aku selalu mengira-ngira akan seperti apakah titik jenuhnya kelak?

Tidak ada komentar: