Jumat, 07 Juli 2017

Peralihan





Kabar kurang menyenangkan hadir sore itu lewat grup whatsapp, memberitahu tentang perusahaan media massa cetak lainnya yang kembali tutup. Tapi, penutupan kali ini cukup berbeda karena hanya menutup biro-biro di daerah saja. Sementara untuk kantor pusatnya di Jakarta tidak terkena penutupan. Kabar kali ini bukan seperti kabar-kabar sebelumnya bahwa sebuah perusahaan media bangkrut. Tetapi, lebih kepada efisiensi usaha. Efisiensi yang tidak mengenakkan bagi sebagian besar pekerjanya. 

Ada sekitar 7 kantor biro di daerah yang ditutup oleh manajemen perusahaan media itu. Di beberapa daerah, pekerja biro-biro daerah itu menyatakan penolakan terhadap pemutusan hubungan kerja. Utusan perusahaan pusat dikabarkan banyak yang kembali lagi ke Jakarta karena menerima penolakan saat akan mengurus pemutusan hubungan kerja. Utusan itu katanya akan merundingkan lagi dengan direksi atas adanya penolakan dari para pekerja biro di daerah. Kabar ketidakpastian nasib menyeruak.

Yan, karyawan Biro Daerah Jawa Barat yang tinggal di Bandung, menjadi salah satu korban efisiensi dan dia memilih pasrah dengan kondisi itu. Dia berpikir, tidak ada yang bisa dilakukan lagi oleh dirinya sebagai pekerja kontrak. Berbeda halnya dengan pekerja berstatus tetap di tempatnya kerja yang masih bisa melakukan perlawanan dengan argumen PHK sepihak dan pesangon tidak sesuai hak.

“Saya mah pekerja kontrak. Pasrah saja,” katanya pada suatu malam.

Yan belum menemukan kembali pekerjaan setelah kabar yang tidak mengenakkan itu. Membicarakan nafkah untuk keluarganya tentu merupakan persoalan lain yang lebih pelik lagi.   

Kabar-kabar pemecatan di perusahaan media sangat membuat cemas akhir-akhir ini. Kabarnya seolah-olah tidak pernah surut. Setiap tahun, selama tiga tahun terakhir, selalu saja terdengar bagaimana perusahaan media massa cetak menutup usahanya karena bisnis ternyata tidak menguntungkan lagi. 

Seperti yang sudah banyak diceritakan, perkembangan teknologi digital telah membuat lapangan kerja media massa cetak goncang. Tiras menurun, begitu juga dengan minat pengiklan. Sementara bagian periklanan media massa cetak cemas. Efisiensi kemudian menjadi jalan yang ditempuh perusahaan sambil mencoba beradaptasi dengan perubahan lanskap bisnis yang bergeser ke arah digital. 

Namun di sisi lain, ada juga pandangan yang mengarahkan perhatiannya kepada sesuatu yang bernama “kondisi perekonomian global”. Indikasinya, APBN 2017 dipangkas di sana-sini sebagai bentuk pengetatan anggaran di tengah-tengah ketidakpastian perekonomian global. Turunnya APBN akan membuat belanja iklan di instansi-instansi pemerintahan seret. Walaupun bila dilihat dari sudut pandang lain, ini menjadi sebuah kekhawatiran yang ironis. Media massa cetak yang katanya anjing penjaga pemerintahan ternyata bergantung kepada belanja iklan objek yang selama ini dikritiknya. Makin ke sini, makin aku merasa bahwa bisnis media massa tidak lebih hanyalah bentuk kemunafikan yang paling sistematis dan memuakkan.

Perubahan konfigurasi bisnis media massa membawa gejolak yang tidak bisa dibilang sepele karena ada manusia-manusia yang bekerja di dalamnya. Lapangan pekerjaan yang dulunya mampu menyerap ribuan pekerja, kini seakan-akan diperas secara paksa sehingga hanya menyisakan beberapa ratus orang saja. Mereka yang bertahan, kini menghadapi cara kerja yang baru. Di satu perusahaan, cara kerja baru ini membuat intensitas kerja semakin kencang; konvergensi mengharuskan wartawan bekerja menyajikan berita dalam beberapa bentuk sekaligus, baik itu teks, video, maupun rekaman suara. Namun upah bulanan tidak sebanding kencangnya dengan intensitas kerja.

Sementara pekerja-pekerja yang sudah berumur perlahan tersingkir karena lapangan yang baru sudah tidak cocok lagi dan banyak di antara pekerja-pekerja tua itu juga sudah sulit beradaptasi. Meskipun di perusahaan lain ada kisah yang berbeda. Ada juga perusahaan yang tidak memecat pekerja tua yang sulit beradaptasi. Namun hal itu seakan-akan memakan buah simalakama; dampaknya, perusahaan menjadi susah beradaptasi. Perusahaan lambat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman karena di level penentu kebijakannya sendiri sudah sulit untuk meraba zaman dan membuat terobosan-terobosan hanya untuk sekadar menjaga periuk nasi mencukupi.

Kali ini sedang ada perubahan zaman di dunia media massa. Namun perubahan-perubahan itu terasa tidak gegap gempita bagi orang-orang yang bergelut di bisnis media massa cetak. Sebaliknya, situasi dirasa-rasa tenang. Namun mereka yang berada di dalamnya,  merasakan seperti ada sesuatu yang mematikan. Seakan-akan mereka tengah berenang di permukaan laut dan melihat rekannya sesama perenang terlambat menyadari bila maut telah sampai di ujung kaki. Dalam waktu yang cepat, racun menjalar sampai ke ubun-ubun. Sang rekan ternyata mati seketika tanpa sempat berusaha melakukan penyembuhan.   

Dadang, seorang pekerja tua, menceritakan suasana lesunya bisnis media massa cetak saat ini dengan akhir dekade 1990 silam. Zaman reformasi kalau kata orang-orang ketika menggambarkan akhir dekade 1990. Pada saat itu, kondisi bisnis juga dikatakannya sangat menyulitkan. Perusahaan banyak yang kolaps. Bagi perusahaan yang bertahan, ada beberapa dampak tidak mengenakkan yang dirasakan, seperti tunjangan-tunjangan yang tidak bisa cair. “Tapi, saat itu sangat terasa sekali situasi krisisnya. Sementara sekarang, tidak terasa. Tapi, sekarang suasananya seperti ada yang menggerogoti secara perlahan,” katanya. 

Geliat digitalisasi sebenarnya sudah menyeruak di permulaan milenium silam. Banyak orang telah membahas, baik dengan nada positif maupun negatif, mengenai wajah yang berubah dari datangnya digitalisasi ini. Thomas L. Friedman pernah menulis tentang digitalisasi yang dianggapnya “meratakan” dunia dalam bukunya The World Is Flat. Meratakan dalam artian, digitalisasi membuat perbedaan jarak dan waktu yang sebelumnya terentang panjang menjadi sangat pendek. Organisasi pekerjaan yang mulanya hanya berporos dalam satu wilayah, kini bisa dikerjakan secara sekaligus dengan melibatkan kontinental yang berbeda-beda. Friedman mencontohkan operator-operator telefon bagi perusahaan multinasional  di berbagai bidang, seperti kesehatan maupun jasa. Operator-operator telefon yang berlokasi di India dilukiskannya kini telah memungkinkan untuk melayani konsumen dari Amerika Serikat. Oleh sebab itu, dunia kini dilukiskannya seolah-olah telah merata. Hambatan jarak dan waktu bisa direduksi dengan kehadiran teknologi digital. Friedman merupakan salah satu orang yang berpandangan positif terhadap perubahan zaman yang “merata” tersebut. 

Christian Fuschs, seorang sarjana komunikasi dari Universitas Westmninster, pernah menulis tentang geliat digitalisasi dalam makalah ilmiahnya yang berjudul Towards Marxian Internet Studies. Makalah ilmiahnya itu digabung dengan makalah ilmiah sarjana komunikasi lainnya sehingga membentuk sebuah bunga rampai mengenai perkembangan digitalisasi dan internet berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism. Fusch menulis tentang bagaimana teknologi digital, seperti internet, berkembang di alam kapitalisme. Dengan demikian, logika-logika bagaimana internet dipergunakan menjadi selaras dengan logika-logika kapitalisme, yakni mengubahnya menjadi sarana pembuatan komoditas dengan suatu curahan kerja agar kemudian tercipta laba. Fusch memaparkan bagaimana proses penciptaan laba tercipta melalui penggunaan internet. Penggambaran proses penciptaan laba ini seperti menantang pemikiran-pemikiran lama yang selalu menggambarkan proses penciptaan laba adalah proses yang terikat pada ruang dan waktu tertentu.

Penciptaan laba di internet dilukiskannya tidak dilakukan seperti halnya proses kerja di dalam pabrik, dimana ada sekumpulan buruh berseragam di sebuah gedung yang mengerjakan hal-hal teknis dengan mesin untuk memproduksi suatu barang. Fusch berpandangan bahwa ketika seseorang membuka media sosial, seperti Facebook, ia bisa masuk ke dalam lingkaran proses penciptaan laba seperti halnya buruh-buruh yang bekerja di dalam pabrik. Dibahasakan dengan sudut pandang lain, ketika seseorang membuka Facebook, ia bisa juga dikategorikan sebagai buruh yang mencurahkan tenaganya untuk menciptakan laba bagi perusahaan lain (dalam hal ini adalah Facebook dan perusahaan rekanannya). Lebih parah dari buruh di pabrik, pengguna media sosial tidak diupah apa-apa ketika datanya diambil oleh perusahaan media sosial untuk disajikan ke pengiklan yang menjadi rekanannya. 

Pemaparan Fusch bisa dibilang cukup membolak-balikkan pikiran kita yang selama ini menganggap media sosial semacam Facebook sebagai mainan yang mahagratis. Mungkin benar perkataan orang-orang zaman dulu bahwa tidak ada sesuatu yang gratis di atas muka bumi. Ketika kamu mengambil sesuatu, akan selalu ada pengurangan di sisi lainnya. Pengurangan itu bisa terjadi di sisi yang tidak pernah engkau sangka-sangkakan. Begitupun ketika kamu memberi sesuatu, bisa ada penambahan-penambahan tertentu di tempat yang lain dan tidak pernah engkau sangkakan sebelumnya. 

 II

Tampaknya saat-saat seperti ini masa peralihan besar sedang terjadi. Peralihan demi peralihan sepertinya menjadi nasib yang harus dipikul manusia. Dalam merasakan peralihan-peralihan ini, aku teringat buku tentang paleoantropologi yang sempat kubaca. Buku itu berjudul Marxisme dan Evolusi Manusia karya Dede Mulyanto. 

Kajian paleoantropologi pada dasarnya memaparkan asal-usul manusia. Dan kisah tentang asal-usul manusia yang kubaca dari buku itu kurasakan sarat dengan hikmah-hikmah mengenai peralihan. Kelahiran manusia, dalam kajian paleonantropologi, pada dasarnya tidaklah datang begitu saja layaknya cerita Adam dan Hawa yang terlempar dari surga ke dunia. Tapi didahului oleh masa-masa peralihan, baik itu peralihan habitat, peralihan cara berjalan, sampai peralihan bentuk fisik. Peralihan itu pun tidak serta merta terjadi begitu saja. Namun dibaliknya ada kekuatan besar yang mengharuskan peralihan itu terjadi. Dalam konteks asal-usul manusia, kekuatan besar itu adalah alam, yakni perubahan iklim. 

Mengenai perubahan iklim ini, Dede Mulyanto (2016) menyebutkan, terdapat sebuah perubahan permukaan bumi di sepanjang Afrika Timur atau wilayah yang sekarang ini disebut Lembah Retakan Besar. Perubahan itu terjadi pada masa 10-7 juta tahun silam. Penyebabnya, ada sebuah gejolak di perut bumi yang dampaknya pada satu sisi menghisap bebatuan permukaan bumi dan pada sisi lainnya, mendorong bebatuan permukaan bumi. Gejolak itu membentuk lembah yang membentang dari utara ke selatan. Lembah itu pada akhirnya membentuk benteng alami antara bagian timur dan bagian barat Afrika.
Revolusi geologis itu pada gilirannya membawa dampak kepada perubahan iklim. Mengenai hal ini, Dede Mulyanto mencatat:

“Di sebelah lain bumi, dari kutub lapisan es meluas. Di selatan, es menutupi bagian selatan Amerika Selatan dan di utara es menyelimuti hingga Alaska, Kanada, dan Eropa Utara. Air terjebak dalam es. Tingkat permukaan air laut menyusut setidaknya hingga 150 meter saat itu. Daratan-daratan baru muncul membentuk jembatan penghubung Afrika dan Eropa, Asia dan Amerika, Inggris dan Eropa Daratan yang sebelumnya terpisah. Laut kering sepenuhnya. Begitu pula iklim di khatulistiwa. Akibatnya, gurun terbentuk di mana-mana. Belantara tropis menipis dan padang-padang rumput menggantikannya.” (Mulyanto: 49-50).

Dalam perubahan iklim dan perubahan permukaan bumi itu, entah berapa banyak spesies yang punah atau stagnan dalam rantai evolusi karena tidak bisa beradaptasi. Mulyanto menyebutkan, primata-primata Asia terisolasi perkembangannya dari kerabatnya di Afrika oleh bentangan alam kering. Di Afrika, beberapa jenis kera terpisah dan tidak bergaul jutaan tahun karena terhalang Lembah Retakan Besar. Ratusan jenis kera punah, meskipun ada beberapa jenis baru muncul. Sekitar 10-7 juta tahun silam, disebutkan bahwa muncul jenis-jenis primata baru. Tiga di antaranya adalah leluhur manusia, gorila dan simpanse. 

Genus Paranthropus dan australopithecus tercatat sebagai yang mula-mula bisa beradaptasi hidup ketika perubahan iklim itu terjadi. Mereka bisa beradaptasi hidup di permukaan tanah ketika sebelumnya mereka lebih banyak beraktivitas di atas pepohonan. Dengan memakan waktu jutaan tahun, spesies-spesies dari genus Paranthropus dan Australopithecus itu akhirnya melahirkan genus baru yang menjadi cikal bakal manusia seperti saat ini, yakni genus Homo. Merekalah para leluhur-leluhur manusia modern. 

Bagi leluhur-leluhur manusia itu, terpaksa pindah habitat dari atas pepohonan ke atas permukaan tanah mungkin akan sangat terasa menyulitkan. Selama berada di atas pepohonan, mereka terbiasa terlindung dari serangan pemangsa buas. Mencari makanan pun sangat mudah karena tinggal memetik buah atau daun pepohonan. Sementara ketika berada di atas permukaan tanah, semua menjadi jungkir balik. Tidak seperti ketika berada di atas pohon, mereka menjadi rentan diserang pemangsa ketika hidup di padang rumput yang luas. Mencari makanan pun sulit, setidaknya membutuhkan usaha yang lebih berat dan keras untuk bisa mendapatkan makanan. 

Tetapi, dari kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi para leluhur manusia itu, setidaknya muncul beberapa perubahan yang mungkin tidak akan dibayangkan oleh mereka. Perubahan paling utama adalah terbebasnya tangan untuk menopang tubuh. Lantaran pepohonan berkurang dan sebagai gantinya jumlah padang rumput meluas, para leluhur terpaksa mendiami padang rumput. Hal itu menyebabkan munculnya perubahan moda pergerakan dan pilihan subsistensi. Secara perlahan, kemudian muncul perubahan-perubahan dalam kebiasaan dan fisik para leluhur. Mereka tidak lagi menggunakan tangan untuk menopang tubuh mereka atau untuk memanjat pohon. Tangan primata genus australopithecus, demikian Mulyanto mencatat, tidak selentur simpanse lagi meskipun masih bisa digunakan untuk memanjat. Kaki mereka pun berubah menjadi lebih datar dan tidak bisa lagi menggenggam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih sering tinggal dan bergerak di permukaan tanah dengan dua kaki (Mulyanto, 51). 

Temuan-temuan arkeologi menunjukkan bahwa para leluhur mulai berjalan tegak ketika tangan mereka tidak lagi digunakan untuk menopang tubuh ketika berjalan. Para ilmuwan menyebutkan cara berjalan tegak para leluhur itu dengan istilah bipedal. Berbeda dengan kerabatnya, simpanse, yang masih banyak di pepohonan, tangan mereka belum terbebaskan. Para simpanse dan sebangsanya masih bergerak dengan pola yang disebut quadropedal.

Akibat lain dari perubahan pola bergerak para leluhur dari quadropedal menjadi bipedal adalah memungkinkannya tercipta perkakas dari hasil kerja tangan mereka. Tidak hanya menghasilkan perkakas--sebagaimana Dede Mulyanto menyebutkannya--tetapi juga para leluhur manusia itu menjadi mampu membuat perkakas, dimana fungsi perkakas itu adalah membuat perkakas lain. Tangan yang terbebaskan dari beban tubuh pada perkembangannya beralih kepada fungsi lain yang salah satunya adalah membuat perkakas.  

Pendorong utama para leluhur manusia menciptakan perkakas adalah kebutuhan untuk makan. Saat sumber makanan utama berupa buah-buahan di padang rumput jarang ditemui seperti halnya ketika di atas pepohonan, leluhur manusia mengalami perubahan pola makan. Kelangkaan buah memaksa mereka untuk memakan apa saja yang bisa dimakan. Mulai dari umbi-umbian di dalam tanah, batang tumbuhan, buah-buahan berkulit keras, binatang-binatang kecil yang bisa mereka kejar, sampai bangkai besar mamalia sisa santapan pemangsa yang kebetulan ditemui (Mulyanto: 60). 
Beragam makanan itu pun tidak semuanya didapatkan dengan mudah.  Bangkai mamalia yang ditemukan tidak serta merta begitu saja dimakan. Taring leluhur manusia yang kecil menyulitkan untuk langsung memakan daging mamalia tersebut. Daging tersebut perlu dipotong-potong supaya taring mereka dapat mengoyaknya. Dari paksaan bertahan hidup seperti inilah salah satu leluhur manusia, jenis pertama di genus Homo, membuat perkakas batu pertamanya, yakni perkakas batu yang acapkali dinamakan Oldowan.   

Dalam perkembangannya, leluhur manusia tidak hanya menemukan perkakas batu yang berguna untuk memotong daging. Namun juga menemukan perkakas batu yang berguna sebagai bahan baku pembuatan perkakas batu lainnya. Mulyanto menyebutkan adanya penemuan batu genggam yang biasa digunakan oleh para leluhur manusia dari genus homo untuk membuat perkakas batu lainnya.  Pada taraf ini, boleh dikatakan bahwa para pembuat serpih ini sudah berhenti menjadi kera. Pasalnya, mereka sudah tidak lagi sekadar memanfaatkan hasil produksi alam, tetapi juga memproduksi sesuatu dari alam. (Mulyanto: 61). 

III

Dalam pemaparan mengenai proses peralihan itu, Dede sempat menyebutkan, bahwa leluhur manusia dari genus Paranthropus dan australopithecus itu tergolong lemah dibandingkan kerabatnya yang menjadi leluhur simpanse dan gorila. Oleh sebab itu, leluhur manusia itu “disingkirkan” oleh para simpanse ke padang rumput. Sementara leluhur simpanse yang tergolong kuat (pada masa itu), tetap berdiam di atas pepohonan. 

Bila hipotesis itu benar, maka perjalanan waktu selama jutaan tahun ternyata bermuara kepada cerita yang mungkin tidak disangka-sangka, baik bagi leluhur manusia maupun leluhur simpanse. Pada saat fajar kehidupan manusia mulai menyingsing, para leluhur simpanse begitu kuat sehingga bisa menyingkirkan para leluhur manusia. Tetapi pada saat ini, para aktivis hewan justru giat berkampanye bagaimana manusia telah membahayakan populasi simpanse. Hal ini seperti lelucon kehidupan yang paling jenaka, subtil, dan sebenarnya tidak lucu. 

Simpanse yang tetap berdiam di atas pohon tidak mengalami perubahan evolusi yang signifikan. Sampai saat ini, gorila dan simpanse tetaplah sebagaimana gorila dan simpanse yang sering kita lihat. Sementara leluhur manusia yang disingkirkan oleh mereka, para leluhur gorila dan simpanse itu, berkembang jauh dalam rantai evolusi. Kesulitan para leluhur manusia hidup di padang rumput, dalam rentang perjalanan jutaan tahun, telah mengubah segalanya, baik itu bentuk tubuh, gaya hidup, dan ukuran otak. Pada akhirnya, dalam perjalanan rantai evolusi, leluhur manusia telah “melahirkan” orang-orang seperti kita.  

IV

Satu benang merah dari kisah tentang asal usul manusia dan ditutupnya perusahaan media massa cetak adalah peralihan. Tetapi, ada perbedaan di antara kedua kisah tersebut, yakni menyangkut kekuatan dibalik peralihan itu mesti terjadi. Dalam kisah asal usul manusia, kekuatan pendorong adalah sepenuhnya natural, ia terkait dengan perubahan iklim. Sementara dalam kisah penutupan perusahaan media massa cetak, kekuatan pendorongnya adalah kreasi manusia itu sendiri. Saya pikir, ada dua kreasi manusia yang berperan, yakni perkembangan teknologi dan cara sebuah bisnis dijalankan. Kedua hal itu sepenuhnya kreasi manusia. Ia melibatkan banyak peran manusia sehingga membentuk sebuah sistem tersendiri. Ia sepenuhnya bersifat sosial, tidak natural.

Sampai di sini, terasa sangat ironis membayangkan bagaimana sebuah kreasi manusia ternyata mampu membuat manusia lainnya tersingkir. Saat teknologi digitalisasi ditemukan, ternyata dalam proses penerapannya di kehidupan luas, ia sanggup untuk menyingkirkan banyak manusia. Puluhan hingga ratusan manusia bisa tersingkir karena keahliannya dianggap usang ketika harus diterapkan dalam situasi kerja yang dipengaruhi oleh teknologi kerja baru. 

Sementara manusia bukanlah makanan siap saji yang cukup dihangatkan dalam oven selama 10 menit agar bisa dimakan. Fase adaptasi setiap orang akan berbeda dan terkadang bagi orang tua, melakukan adaptasi bahkan tidak memungkinkan lagi. Namun, cara berbisnis kapitalistik hari ini tidak akan melihat hal-hal seperti itu. Bisnis berjalan dengan ukuran-ukuran yang sangat rasional, rigid, dan impersonal. Ada kalkulasi keuntungan dan kerugian yang mewujud dalam angka-angka moneter didalamnya. Bila ada sebuah unit usaha yang nihil berkontribusi terhadap laba perusahaan, maka salah satu cara mengatasinya adalah dengan memangkas unit usaha itu. Dengan demikian, keuangan perusahaan akan terjaga kesehatannya. Perhitungan-perhitungan bisnis tidak akan melihat Ahmad, Zaenuddin, atau Saeful yang puluhan tahun telah mengabdi kepada perusahaan ketika memangkas sebuah unit usaha. 

Padahal, cara berbisnis itu pada dasarnya adalah manusia yang menciptakan dan menentukannya. Hanya karena cara berbisnis itu telah menjadi sedemikian sistematis, manusia menjadi seakan-akan tidak punya kuasa untuk merubahnya. Alih-alih, cara kerja yang basisnya adalah menguras tenaga kerja manusia untuk perolehan profit dan demi profit itu seakan-akan dipahami sebagai sesuatu yang alamiah—sudah ada sejak asali.  

Seringkali, ada saja pandangan yang seakan-akan mengkriminalkan manusia-manusia yang kehabisan nafas mengejar perubahan di sekeliling mereka. Label disematkan kepada orang-orang yang kehabisan nafas itu. Entah itu pemalas, entah itu orang-orang bebal yang terlalu susah untuk dibawa berubah. Padahal, ada hal-hal lain di luar keinginan manusia untuk berubah yang mempengaruhi gerak mereka, yakni seperti akses dan halangan yang sifatnya natural serta sulit diotak-atik (contohnya umur dan cacat bawaan sejak lahir).   
Hal-hal seperti ini menimbulkan pertanyaan lanjutan terkait kondisi kemanusiaan kita. Adanya peralihan selama ini, tidak dielakkan, memiliki dampak yang tidak mengenakkan bagi sebagian orang. Sejauh menyangkut alam, yang sifatnya natural, adanya peralihan yang memakan korban manusia mungkin bisa dimaklumi. Hal-hal yang terjadi dalam peralihan sebagai akibat alam adalah di luar kuasa manusia sendiri.

Tapi bila berkaca kepada dinamika perubahan wajah media massa saat ini, bagaimana kita memandang korban-korban PHK yang tersingkir dari digitalisasi ini? Masalah utama munculnya PHK dalam konteks digitalisasi selama ini adalah ketidakmampuan sebuah perusahaan beradaptasi sehingga berdampak kepada kemampuannya dalam membiayai para pekerjanya. Lapangan bisnis berubah, termasuk sumber-sumber penghasilan yang datang dari para pengiklan. Apakah perubahan pola bisnis yang membuat sebuah perusahaan kewalahan merupakan sesuatu yang alamiah, natural? Atau apakah ada yang tidak beres dari pola bisnis yang selama ini dijalankan? Dan korban-korban PHK itu. Apakah cerita mereka merupakan suatu keharusan yang biasa-biasa saja, natural, dalam sebuah fase kehidupan? 

Saat lapangan kerja media massa cetak digoncang hebat dengan gelombang digitalisasi, akan seperti apakah masa depannya nanti? Peralihan secara paksa karena kreasi alam telah membuat perubahan hebat pada leluhur manusia, baik itu perubahan fisik, pola makan, dan kehidupan sosial. Lantas, akan seperti apakah peralihan paksa karena kreasi manusia yang kini terjadi bagi manusia-manusia yang ada didalamnya?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

EMTK
ABBA
VIVA
TMPO
MNCN

1. Ada benang merah antara doea masa jang boeng seboet di atas jakni peralihan. Tetapi membandingkannja saya rasa bukan hal jang arif. Ataoe djikalaoe tetap bersikukuh oentoek membandingkannja, hendaklah ada konsep jang bisa didjadikan atjoean. Dalam literatuur Marxist misalnja, peralihan modoes prodoeksi biasanja dianalisis terkait dengan peroebahan dalam daya produksi (production forces) dan hoeboengan prodoeksi. Ini soelit dilakoekan sebab boeng dalam seboeah paragraf menjatakan bahwa alam, choesoesnja peroebahan iklim adalah penjebab oetama evoloesi manoesia.

2. Mari mengambil hikmah dari nukilan sebuah karya yang ditulis 169 tahun yang lalu: "Borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat." Dari kalimat tersebut ada beberapa hal sederhana yang bisa digunakan untuk analisis.
Pertama, digitalisasi, termasuk di sektor media, adalah bagian dari upaya revolusi perkakas produksi. Dalam kondisi hubungan produksi yang tidak berubah--dalam hal ini hubungan produksi kapitalistik borjuis dengan proletar--dia semata pencurian nilai lebih.
Kedua, sejak kehadiran media massa, muncul bentuk kerja yang disebut sebagai leisure work yakni konsumsi media massa komersial di waktu senggang. Apa yang kita lakukan dengan Facebook sebetulnya tak banyak bedanya dengan menonton stasiun televisi gratisan.
Ketiga, perubahan hubungan kemasyarakatan yang masih terkait dengan perubahan hubungan produksi. Dalam peralihan dari feodalisme ke kapitalisme hubungan tuan-hamba berganti menjadi majikan-buruh. Ikatan feodal tuan sebagai pelindung dengan hamba sebagai pengabdi digantikan dengan majikan-buruh yang berbasis kerja upahan. Dalam hal digitalisasi adakah perubahan semacam itu?

3. Terkait digitalisasi dan dampaknya bagi pekerja media, buku "Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century" karya Harry Braverman mungkin bisa dijadikan salah satu kerangka analisis.

4. "Masalah utama munculnya PHK dalam konteks digitalisasi selama ini adalah ketidakmampuan sebuah perusahaan beradaptasi sehingga berdampak kepada kemampuannya dalam membiayai para pekerjanya". Apakah betul seperti itu, atau hanya kasuistis saja?
Kecuali dalam perusahaan yang sudah kehilangan harapan, perusahaan media yang melakukan PHK justru merekrut pekerja yang lebih muda. Ketika kuantitas produk jurnalistik lebih penting dibandingkan dengan kualitas, maka merumahkan satu pekerja senior berkualitas dan menggantinya dengan pekerja yang lebih produktif secara kuantitas adalah keniscayaan. Boleh jadi PHK bukanlah indikasi dari ketidakmampuan perusahaan beradaptasi, tetapi justru pertanda bahwa perusahaan sedang melakukan adaptasi terhadap lansekap industri media yang baru.
Pekerja tetaplah satu-satunya penghasil nilai lebih dalam kapitalisme. PHK yang tidak diiringi dengan perekrutan pekerja baru yang lebih muda--dan cocok dengan kondisi industri--adalah pertanda perusahaan yang akan gulung tikar.