Robotika berevolusi
dengan sangat cepat dalam lima dekade terakhir. Perkembangan robotika yang
pesat tentu akan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan itu sendiri. Namun cepat atau
lambat, otoritas masyarakat perlu merancang antisipasi salah satu dampak
terburuknya bagi manusia, yakni kehilangan pekerjaan. Robotika—ketika sudah
siap untuk diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat--tidak hanya bersangkut
paut dengan ilmu pengetahuan tok,
namun juga akan membentuk iklim sosio-ekonomi masyarakat. Bahkan mengubahnya secara
fundamental.
Dalam salah satu laporan
Koran Sindo edisi 30 April 2017, ada
yang menarik perihal perkembangan robotika, yaitu mengenai robot asal Rusia
bernama FEDOR. Robot itu sedari awal diciptakan untuk perang. FEDOR memiliki
kemampuan untuk menembakkan senjata dan telah melakukan pelatihan menembak. Koran Sindo juga kemudian melaporkan
bahwa perkembangan robotika (untuk kepentingan perang) tidak hanya terjadi di
Rusia, namun juga di China dan AS. Ketiga negara itu, masih mengutip laporan Koran Sindo, dikabarkan akan memangkas
jumlah prajurit di garis depan dan belakang serta menggantinya dengan robot.
Bagi sebagian dari
kita, membicarakan perkembangan robotika di Rusia, AS, dan China mungkin akan
terasa terlalu jauh. Namun sebagian lain dari kita tampaknya tidak berpikir
demikian. Bila kita memperhatikan peringatan Hari Buruh Internasional di
Jakarta, 1 Mei 2017 lalu, ada isu mengenai robotika yang diusung oleh salah
satu serikat pekerja yang turun pawai. Saat itu, sekumpulan pekerja yang
bergabung dalam Forum Pekerja Media (FPM) mengusung kekhawatiran akan adanya
perampingan kerja sebagai dampak digitalisasi dan robotika yang menyertainya.
Dalam mengusung isu
tersebut, FPM merujuk kepada perkembangan di AS dimana di negara itu robot
telah memulai membuat berita dan di Jepang, dimana di negara Sakura tersebut
telah ada robot yang bisa membaca berita layaknya presenter. Di AS, perusahaan
Automated Insights telah mencuri perhatian publik dengan produk robotikanya,
yakni Wordsmith. Produk tersebut dikatakan mampu mengolah data sedemikian rupa
sehingga menjadi sebuah artikel. Associated Press, perusahaan media asal AS,
dikabarkan telah memanfaatkan produk tersebut untuk menghasilkan
artikel-artikelnya. Kabar mengenai AP yang memanfaatkan Wordsmith itu setidaknya
telah muncul sejak tahun 2014.
The Guardian, perusahaan media asal Inggris, bahkan
menulis dalam laporan mengenai Wordsmith ini
(terbit pada 22 Juli 2016) bahwasannya para jurnalis itu sendiri tidak kebal
dari perkembangan robotika. Terutama ketika salah satu perkembangan robotika
adalah kemampuannya dalam mengubah proses penulisan menjadi sebuah proses yang
otomat.
Bila proses menulis
artikel yang digantikan oleh robot belum cukup, perkembangan robotika di Jepang
bahkan menunjukkan bahwa membaca sebuah berita, layaknya presenter di televisi,
bisa dilakukan dengan proses yang otomat melalui android. Hiroshi Ishiguro,
profesor dari Universitas Osaka, menciptakan dua buah android yang sudah
terbentuk sedemikian rupa sehingga mirip dengan perempuan dewasa, yakni
Kodomoroid dan Otonaroid. Performa kedua android itu kini sudah tersebar di
kanal Youtube bila ingin menyaksikannya secara langsung. Kodomoroid merupakan
android yang memiliki kemampuan membaca berita dengan suara yang beragam.
Sementara Otonaroid merupakan android yang memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi. Kelebihan Otonaroid adalah ia bisa berbicara, bertingkah,
berkedip dan bernafas. Keduanya diperkenalkan kepada publik untuk yang pertama
kalinya di The National Museum of
Emerging Science and Innovation (bisa juga disebut Museum Miraikan), Tokyo,
2014 lalu.
Melihat kemampuan
robot yang telah disebutkan di atas, mulai dari Wordsmith di AS sampai
Kodomoroid dan Otonaroid di Jepang, tidak berlebihan bila sekelompok pekerja
media di FPM itu menyuarakan kekhawatiran akan kesejahteraan para jurnalis yang
suatu saat bisa jatuh terpuruk karena proses-proses otomat dalam produksi
berita. Proses-proses otomat, yang bukannya tidak mungkin, akan menggusur peranan
jurnalis itu sendiri dalam rangkaian produksi berita.
Meskipun di
Indonesia terapan robotika di tengah-tengah masyarakat, khususnya industri media
massa, belum kentara benar, namun digitalisasi informasi yang kini sudah
menjadi bagian dari keseharian masyarakat setidaknya telah membuat media massa
cetak konvensional goyah. Beberapa di antaranya bahkan tutup usaha dan membuat
banyak karyawannya harus kehilangan pekerjaan.
Di bidang usaha
lain, digitalisasi menciptakan konflik yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya
di antara pelaku bisnis ojek. Bukan tidak mungkin, ketika fase digitalisasi
sudah terlampaui, kondisi semakin bergerak ke arah yang lebih ekstrim--dalam
hal ini, penerapan robotika. Bila itu terjadi, bukan hal yang tidak mungkin
akan ada lebih banyak lagi manusia yang tergusur sehingga menciptakan lebih
banyak pengangguran dan gejolak sosial.
Keberpihakan negara
Inovasi teknologi
bisa dilihat dari dua sudut pandang, yakni manfaatnya bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan manfaatnya bagi dunia usaha. Dari sudut pandang pengembangan
ilmu pengetahuan, inovasi robotika bisa berarti cerminan dari pencapaian kreasi
manusia. Semakin canggih sebuah inovasi mencerminkan semakin tinggi pencapaian
manusia dalam ilmu pengetahuan.
Namun dalam sudut
pandang manfaatnya bagi dunia usaha--perekonomian masyarakat--inovasi teknologi
seringkali menemukan jalan yang berliku. Inovasi teknologi yang canggih belum
tentu terpakai dalam dunia usaha karena sejumlah pertimbangan, seperti biaya
produksi massal yang tinggi sehingga tidak feasible
untuk diterapkan dalam proses-proses dunia usaha yang selalu dikejar dengan
beban modal serta target. Sementara inovasi yang terbilang tidak terlalu
canggih, bisa saja sangat laku dipakai oleh dunia usaha karena sangat feasible diterapkan dan outputnya pun
melebihi pencapaian sebelum-sebelumnya: ada peningkatan efisiensi sekian persen
dan pendapatan yang sesuai atau bahkan
melebihi target setelah menerapkan teknologi hasil inovasi tersebut.
Dunia usaha,
meskipun di satu sisi sering digembar-gemborkan berguna menyerap tenaga kerja,
namun perputarannya tidak berporos pada seberapa bergunanya ia mengatasi
pengangguran. Akan tetapi, siklusnya akan selalu terpusat kepada kepentingan
akumulasi kapital. Tenaga kerja hanyalah menjadi faktor yang berdampingan
dengan sarana produksi (permesinan, perkakas, dll) dalam sebuah sistem besar
yang bertujuan meraih akumulasi kapital. Dari sudut pandang ini, tenaga kerja
dan sarana produksi dihitung sebagai cost.
Dan cost harus ada agar semata-mata
tujuan akhir setiap bentuk usaha bisa tercapai, yakni profit dan bila
memungkinkan, adanya perluasan usaha/akumulasi kapital.
Siklus dunia usaha
akan selalu diwarnai oleh inovasi-inovasi teknologi untuk mengutak-atik cost dalam proses produksi tersebut. Bagaimanapun,
cost selalu dihitung sebagai beban
produksi. Bila ada cara untuk mengurangi beban dan memaksimalkan pendapatan,
itu adalah cara yang rasional dan menjadi keutamaan untuk dipilih.
Semakin besar dampak
sebuah inovasi teknologi dalam efisiensi, itu artinya memperbesar rasio sarana
produksi dan pada sisi yang lain, meminimalkan faktor tenaga kerja. Dalam
konteks itu, meminimalkan faktor tenaga kerja bisa berarti juga mengganti
pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia oleh suatu sarana produksi yang
otomat.
Secara konseptual,
membebaskan manusia dari pekerjaan melalui sarana produksi yang otomat terlihat
seperti sesuatu yang indah. Manusia bisa memanfaatkan waktu luang yang banyak
karena beban kerja telah diambil alih oleh teknologi otomat. Tapi, bukan itu
yang terdengar dalam keseharian kita saat ini. Gejolak sosial yang didasari
oleh keresahan akibat pengangguran yang malah kerap terdengar.
Dalam hal ini,
negara setidaknya masih memiliki peran krusial ke depannya. Bertentangan dengan
klaim kaum neoliberalisme yang menghendaki seminimal mungkin campur tangan
negara, perkembangan dunia usaha dalam kaitannya dengan pengembangan sarana
produksi otomat setidaknya harus dimediasi oleh negara karena melibatkan hajat
hidup orang banyak. Dengan demikian, pejabat negara diharuskan melek
perkembangan inovasi teknologi dan memiliki keberpihakan kepada mayoritas
masyarakat, yakni kaum pekerja. Lagipula, ongkos sehari-hari dan pendapatan
para pejabat negara itu disokong dari pajak rakyatnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar