Rabu, 05 Juli 2017

Robotika




Robotika berevolusi dengan sangat cepat dalam lima dekade terakhir. Perkembangan robotika yang pesat tentu akan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan itu sendiri. Namun cepat atau lambat, otoritas masyarakat perlu merancang antisipasi salah satu dampak terburuknya bagi manusia, yakni kehilangan pekerjaan. Robotika—ketika sudah siap untuk diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat--tidak hanya bersangkut paut dengan ilmu pengetahuan tok, namun juga akan membentuk iklim sosio-ekonomi masyarakat. Bahkan mengubahnya secara fundamental. 

Dalam salah satu laporan Koran Sindo edisi 30 April 2017, ada yang menarik perihal perkembangan robotika, yaitu mengenai robot asal Rusia bernama FEDOR. Robot itu sedari awal diciptakan untuk perang. FEDOR memiliki kemampuan untuk menembakkan senjata dan telah melakukan pelatihan menembak. Koran Sindo juga kemudian melaporkan bahwa perkembangan robotika (untuk kepentingan perang) tidak hanya terjadi di Rusia, namun juga di China dan AS. Ketiga negara itu, masih mengutip laporan Koran Sindo, dikabarkan akan memangkas jumlah prajurit di garis depan dan belakang serta menggantinya dengan robot.

Bagi sebagian dari kita, membicarakan perkembangan robotika di Rusia, AS, dan China mungkin akan terasa terlalu jauh. Namun sebagian lain dari kita tampaknya tidak berpikir demikian. Bila kita memperhatikan peringatan Hari Buruh Internasional di Jakarta, 1 Mei 2017 lalu, ada isu mengenai robotika yang diusung oleh salah satu serikat pekerja yang turun pawai. Saat itu, sekumpulan pekerja yang bergabung dalam Forum Pekerja Media (FPM) mengusung kekhawatiran akan adanya perampingan kerja sebagai dampak digitalisasi dan robotika yang menyertainya.

Dalam mengusung isu tersebut, FPM merujuk kepada perkembangan di AS dimana di negara itu robot telah memulai membuat berita dan di Jepang, dimana di negara Sakura tersebut telah ada robot yang bisa membaca berita layaknya presenter. Di AS, perusahaan Automated Insights telah mencuri perhatian publik dengan produk robotikanya, yakni Wordsmith. Produk tersebut dikatakan mampu mengolah data sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah artikel. Associated Press, perusahaan media asal AS, dikabarkan telah memanfaatkan produk tersebut untuk menghasilkan artikel-artikelnya. Kabar mengenai AP yang memanfaatkan Wordsmith itu setidaknya telah muncul sejak tahun 2014.

The Guardian, perusahaan media asal Inggris, bahkan menulis dalam laporan mengenai Wordsmith ini (terbit pada 22 Juli 2016) bahwasannya para jurnalis itu sendiri tidak kebal dari perkembangan robotika. Terutama ketika salah satu perkembangan robotika adalah kemampuannya dalam mengubah proses penulisan menjadi sebuah proses yang otomat.

Bila proses menulis artikel yang digantikan oleh robot belum cukup, perkembangan robotika di Jepang bahkan menunjukkan bahwa membaca sebuah berita, layaknya presenter di televisi, bisa dilakukan dengan proses yang otomat melalui android. Hiroshi Ishiguro, profesor dari Universitas Osaka, menciptakan dua buah android yang sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga mirip dengan perempuan dewasa, yakni Kodomoroid dan Otonaroid. Performa kedua android itu kini sudah tersebar di kanal Youtube bila ingin menyaksikannya secara langsung. Kodomoroid merupakan android yang memiliki kemampuan membaca berita dengan suara yang beragam. Sementara Otonaroid merupakan android yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi. Kelebihan Otonaroid adalah ia bisa berbicara, bertingkah, berkedip dan bernafas. Keduanya diperkenalkan kepada publik untuk yang pertama kalinya di The National Museum of Emerging Science and Innovation (bisa juga disebut Museum Miraikan), Tokyo, 2014 lalu.

Melihat kemampuan robot yang telah disebutkan di atas, mulai dari Wordsmith di AS sampai Kodomoroid dan Otonaroid di Jepang, tidak berlebihan bila sekelompok pekerja media di FPM itu menyuarakan kekhawatiran akan kesejahteraan para jurnalis yang suatu saat bisa jatuh terpuruk karena proses-proses otomat dalam produksi berita. Proses-proses otomat, yang bukannya tidak mungkin, akan menggusur peranan jurnalis itu sendiri dalam rangkaian produksi berita.

Meskipun di Indonesia terapan robotika di tengah-tengah masyarakat, khususnya industri media massa, belum kentara benar, namun digitalisasi informasi yang kini sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setidaknya telah membuat media massa cetak konvensional goyah. Beberapa di antaranya bahkan tutup usaha dan membuat banyak karyawannya harus kehilangan pekerjaan.

Di bidang usaha lain, digitalisasi menciptakan konflik yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya di antara pelaku bisnis ojek. Bukan tidak mungkin, ketika fase digitalisasi sudah terlampaui, kondisi semakin bergerak ke arah yang lebih ekstrim--dalam hal ini, penerapan robotika. Bila itu terjadi, bukan hal yang tidak mungkin akan ada lebih banyak lagi manusia yang tergusur sehingga menciptakan lebih banyak pengangguran dan gejolak sosial.

Keberpihakan negara

Inovasi teknologi bisa dilihat dari dua sudut pandang, yakni manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan manfaatnya bagi dunia usaha. Dari sudut pandang pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi robotika bisa berarti cerminan dari pencapaian kreasi manusia. Semakin canggih sebuah inovasi mencerminkan semakin tinggi pencapaian manusia dalam ilmu pengetahuan.

Namun dalam sudut pandang manfaatnya bagi dunia usaha--perekonomian masyarakat--inovasi teknologi seringkali menemukan jalan yang berliku. Inovasi teknologi yang canggih belum tentu terpakai dalam dunia usaha karena sejumlah pertimbangan, seperti biaya produksi massal yang tinggi sehingga tidak feasible untuk diterapkan dalam proses-proses dunia usaha yang selalu dikejar dengan beban modal serta target. Sementara inovasi yang terbilang tidak terlalu canggih, bisa saja sangat laku dipakai oleh dunia usaha karena sangat feasible diterapkan dan outputnya pun melebihi pencapaian sebelum-sebelumnya: ada peningkatan efisiensi sekian persen dan pendapatan yang  sesuai atau bahkan melebihi target setelah menerapkan teknologi hasil inovasi tersebut.

Dunia usaha, meskipun di satu sisi sering digembar-gemborkan berguna menyerap tenaga kerja, namun perputarannya tidak berporos pada seberapa bergunanya ia mengatasi pengangguran. Akan tetapi, siklusnya akan selalu terpusat kepada kepentingan akumulasi kapital. Tenaga kerja hanyalah menjadi faktor yang berdampingan dengan sarana produksi (permesinan, perkakas, dll) dalam sebuah sistem besar yang bertujuan meraih akumulasi kapital. Dari sudut pandang ini, tenaga kerja dan sarana produksi dihitung sebagai cost. Dan cost harus ada agar semata-mata tujuan akhir setiap bentuk usaha bisa tercapai, yakni profit dan bila memungkinkan, adanya perluasan usaha/akumulasi kapital.

Siklus dunia usaha akan selalu diwarnai oleh inovasi-inovasi teknologi untuk mengutak-atik cost dalam proses produksi tersebut. Bagaimanapun, cost selalu dihitung sebagai beban produksi. Bila ada cara untuk mengurangi beban dan memaksimalkan pendapatan, itu adalah cara yang rasional dan menjadi keutamaan untuk dipilih.

Semakin besar dampak sebuah inovasi teknologi dalam efisiensi, itu artinya memperbesar rasio sarana produksi dan pada sisi yang lain, meminimalkan faktor tenaga kerja. Dalam konteks itu, meminimalkan faktor tenaga kerja bisa berarti juga mengganti pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia oleh suatu sarana produksi yang otomat.

Secara konseptual, membebaskan manusia dari pekerjaan melalui sarana produksi yang otomat terlihat seperti sesuatu yang indah. Manusia bisa memanfaatkan waktu luang yang banyak karena beban kerja telah diambil alih oleh teknologi otomat. Tapi, bukan itu yang terdengar dalam keseharian kita saat ini. Gejolak sosial yang didasari oleh keresahan akibat pengangguran yang malah kerap terdengar.

Dalam hal ini, negara setidaknya masih memiliki peran krusial ke depannya. Bertentangan dengan klaim kaum neoliberalisme yang menghendaki seminimal mungkin campur tangan negara, perkembangan dunia usaha dalam kaitannya dengan pengembangan sarana produksi otomat setidaknya harus dimediasi oleh negara karena melibatkan hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, pejabat negara diharuskan melek perkembangan inovasi teknologi dan memiliki keberpihakan kepada mayoritas masyarakat, yakni kaum pekerja. Lagipula, ongkos sehari-hari dan pendapatan para pejabat negara itu disokong dari pajak rakyatnya sendiri.

Tidak ada komentar: