Kamis, 26 Oktober 2017

Hidup Adalah Narkotik*




Masalahnya, realitas itu memiliki banyak wajah. Ia tidak sesederhana pemaparan yang tercetak dalam buku. Menghadapi realitas yang berlapis-lapis menjadi masalah kita, orang kebanyakan. Dan dalam menghadapinya, asumsi orang-orang pun beragam: ada yang menanggapi kehidupan sebagai cermin ilahi, bahkan ada yang menanggapinya sebagai bentuk nihilisme yang paling primitif, yakni sebagai bentuk dari benturan evolusi yang berproses tanpa maksud. Semua tanggapan itu kemudian bercampur aduk, dan orang-orang yang memiliki versi masing-masing kemudian membentuk realitas. 

Dan ada konflik dalam proses pembentukan realitas. Gesekan-gesekan konflik kemudian menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh kita, kebanyakan orang. Meskipun setengah mati kita menghindarinya, menampiknya, meniadakannya, menganggapnya tidak pernah hadir. Nilai-nilai, doktrin, ideologi, dan semacamnya, yang pada intinya mencitrakan kehidupan sebagai sebuah keharmonisan tanpa pertentangan,  seolah-olah menjadi sebuah narkotik yang sanggup membuat manusia melupakan segalanya sambil pada saat bersamaan, kanker menggerogoti seluruh bagian tubuhnya. Ia berjalan ke arah kehancuran dirinya sendiri. Kehancuran karena akumulasi penyangkalan-penyangkalan. 

Namun kenyataannya, banyak dari kita yang hanya bermodalkan keyakinan memegang hal-hal seperti itu. Rasa-rasanya berpijak di dunia satu dimensi; kita meyakini, jauh di depan sana, ada dunia tanpa perang, tanpa kelaparan, tanpa kemiskinan. Mungkin ideal-ideal seperti itu hadir karena kerinduan kita tentang kehidupan yang paripurna, kehidupan yang sakral. Kerinduan yang berangkat dari kelelahan hidup di dunia fana yang penuh cela. Mungkin ideal-ideal seperti itu tidak bisa disepelekan juga karena ia, bagaimanapun, bisa menggerakkan manusia. Menggugah manusia untuk meraih apa yang diidealkannya. Dan pada gilirannya, turut membentuk realitas, membawanya kepada kenyataan.

Kemudian, ada kekuasaan yang menyelinap ke dunia yang kita pijak dan bersemayam di sana. Banyak ilmuwan yang telah mencoba menjelaskan kekuasaan. Ada yang menganggapnya sebagai yang bersemayam secara material, ada yang melihatnya tersebar secara arbitrer, dan tidak sedikit yang merasakannya sebagai citra ilahi. Namun kekuasaan pun muncul bukan tanpa sebab-akibat. Di dalamnya ada kontrol yang muncul dari kepemilikan atas sarana yang berjalinkelindan dengan nasib orang-orang lainnya. Kekuasaan muncul karena adanya ketimpangan, ada orang yang memiliki yang tidak dimiliki oleh orang-orang kebanyakan. Karl Marx jauh-jauh hari setidaknya pernah berbicara tentang sejarah dunia sebagai sejarah pertentangan antar kelas. 

Kenyataan memang turut terbentuk dari perbedaan sudut pandang orang-orang yang menghidupinya. Dan orang-orang ini larut dalam arus besar dominasi yang saling mematikan. Lalu, adakah jalan keluar?  


*Judul terinspirasi dari Komunal.

Tidak ada komentar: