Beberapa minggu terakhir, aku banyak menyusuri daerah pantai
utara di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Melihat-lihat seperti apa kondisi yang ada di
sepanjang pantai tersebut. Hitung-hitung pengenalan wilayah, karena kantor
menugaskanku untuk meliput wilayah ini.
Tidak beberapa lama, asisten redaktur kantor mengirimkan sebuah pesan. Isinya menanyakan isu apa yang kira-kira menarik untuk dibuat sebuah tulisan tematis. Spontan aku langsung membalas pesan itu: saya kepikiran soal abrasi, pak. “Ya, sudah. Silahkan tulis buat tematik,” ujar asisten redaktur di Bandung.
Saat membalas pesan itu, pikiranku teringat kepada perbincangan dengan orang-orang Pantai Balongan. Mereka memiliki cerita yang menarik, setidaknya bagiku. Cerita-cerita mereka, para penghuni Pantai Balongan, yang akhirnya kujadikan sebagai bahan tulisan tematis, dan akhirnya dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Sabtu, 22 Maret 2014.
Tulisan yang ku posting di blog ini adalah apa adanya. Tanpa melalui proses editing selayaknya sebuah tulisan yang masuk ke redaksi. Surat kabar seringkali banyak mengedit tulisan sebelum dicetak, entah itu karena keterbatasan halaman, atau karena kepentingan kantor.
Selamat membaca.
Cerita Para Penghuni Pantai yang Terkikis
Sudah bertahun-tahun Darsono (48) tumbuh di Pantai Balongan, Kabupaten Indramayu. Banyak hal yang telah dia lihat dan rasakan selama hidupnya di pantai tersebut. Salah satunya adalah bagaimana bibir pantai secara perlahan terus terkikis.
Gelombang air laut yang terus menerus menghantam bibir pantai membuat material pasir yang ada di bibir pantai terbawa ke laut lepas. Hal itu pada akhirnya membuat kawasan bibir pantai semakin pendek. Darsono kemudian menunjuk ke arah sebuah bangunan milik PT Pertamina di arah timur. Posisi bangunan itu tampak bersisian dengan lautan lepas. "Dulunya, posisi bangunan itu ada di dalam pantai. Jauh dengan lautan lepas," ujarnya.
Air laut yang terus merengsek menembus garis bibir pantai, tutur Darsono, lama-kelamaan membuat warga di sekitar Pantai Balongan gerah. Bagaimana tidak, sejumlah penduduk seringkali menggantungkan nafkahnya di pantai tersebut. Banyak di antara mereka yang membuka kios di dekat pantai. Air yang terus merengsek menembus bibir pantai itu lama-kelamaan bisa mengancam nafkah mereka.
"Kami sampai demo waktu tahun 2004 itu. Kami demo ke Pertamina. Menginginkan adanya peran perusahaan itu untuk mengatasi abrasi," katanya.
Kecamatan Balongan memang menjadi salah satu basis produksi dan pemasaran perusahaan minyak milik negara itu. Di sekitar lokasi tersebut, Pertamina mengolah minyak mentah (crude oil) menjadi produk-produk bahan bakar minyak dan gas. Lokasi pengolahan itu seringkali disebut sebagai PT Pertamina RU VI Balongan.
Darsono mengatakan, alasan masyarakat demo ke Pertamina saat itu adalah menginginkan adanya kompensasi atas beroperasinya perusahaan tersebut di wilayah Balongan. Terutama dalam hal mengatasi abrasi yang semakin lama, semakin parah.
Dampak dari unjuk rasa itu, tercapai kesepakatan untuk membuat breakwater atau tembok penahan ombak. Panjangnya sekitar 200 meter. Pengerjaan tembok penahan ombak itu dilakukan melalui pihak ketiga. Dengan adanya tembok itu, kata dia, abrasi bisa tertangani. Air laut yang merangsek ke dalam bisa tertahan. Di beberapa tempat, masyarakat bisa beraktivitas kembali dengan membuka kios dagang.
Meski demikian, itu bukan berarti menuntaskan seluruh masalah. Pasalnya, tembok itu tidak meliputi seluruh bagian pantai. Bibir pantai yang tak terlindungi tembok masih terancam oleh terjangan gelombang air laut yang bisa mengakibatkan abrasi. Saat ini, di bibir pantai yang tak terlindungi tembok itu, dipasangi bebatuan kaki tiga oleh Pemkab Indramayu. Fungsi tembok itu hampir mirip dengan tembok penahan ombak, yakni memecah gelombang air laut yang merangsek ke bibir pantai.
Selain itu, perawatan tembok penahan ombak yang telah dibangun juga tidak dilakukan secara berkala. Akibatnya, sekitar separuh dari panjang tembok itu kini terlihat ambrol. Darsono mengatakan, bebatuan yang disusun tidak cocok digunakan sebagai penahan ombak, karena ukurannya yang kecil-kecil. "Setahun setelah tembok itu selesai dibangun, beberapa bagiannya juga sudah mulai ada yang ambrol," ujarnya.
Cerita Zaqiroh (55), pedagang warung di Pantai Balongan, juga menarik disimak. Sudah sekitar lima tahun dia berjualan di pantai tersebut. Awalnya, posisi warung dia terletak di depan, dekat dengan tembok penahan ombak. Namun semenjak tiga tahun terakhir dia mundur ke bagian timur pantai. Lebih mendekat ke pelabuhan milik Pertamina.
"Habisnya air terus masuk waktu itu jadi pindah saja. Lebih mundur ke belakang," ujarnya.
Namun demikian, halaman warungnya saat ini sudah mulai habis tergerus air laut. Adanya tembok penahan ombak di sebelah barat, membuat air laut mengalir ke sebelah timur, yakni ke arah tempat warungnya berada. Hal itu akhirnya membuat bibir pantai di arah timur mulai menyusut.
Selain warung milik Zaqiroh, terdapat sekitar tiga halaman warung lainnya yang menyusut karena tergerus air laut. Bahkan, sampai ada pemilik warung di sebelah Zaqiroh yang memutuskan untuk pindah jualan ke arah jalan raya sebelum memasuki kawasan pantai.
"Habis gimana ya, halaman juga sekarang sudah mulai habis. Tidak ada tempat buat anak-anak bermain. Warung juga jadinya sepi. Lima tahun ke belakang, pendapatan saya juga bisa mencapai Rp 300-400 ribu perharinya. Sekarang, mendapatkan Rp 100 ribu per hari saja sulitnya minta ampun. Harus menunggu sampai sore lagi," kata Zaqiroh.
Pengikisan tanah di Pantai Balongan itu merupakan salah satu potret kecil mengenai abrasi yang terdapat di wilayah Kabupaten Indramayu. Bila kita menyusuri wilayah pantai utara yang termasuk wilayah administratif Indramayu, khususnya mulai dari Kecamatan Sukra di bagian barat, hingga ke wilayah timur di Kecamatan Juntinyuat, bisa dijumpai titik-titik abrasi lainnya.
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu mencatat, dari sepanjang 147 kilometer pantai utara di Indramayu, sebanyak 60 persen di antaranya mengalami abrasi. Titik abrasi yang terparah umumnya berada di wilayah barat Indramayu, yakni mulai dari Kecamatan Sukra, Patrol, Kandanghaur, hingga Losarang.
Kepala Seksi Konservasi dan Pemulihan Kualitas Lingkungan Hidup, Suhartati, mengatakan, abrasi di pantai wilayah barat itu bisa terjadi, karena tidak adanya pelindung vegetasi. Pada akhirnya, material-material pasir terus menerus tergerus oleh gelombang air laut. "Kawasannya tergolong gersang. Minim vegetasi," ujarnya.
Di wilayah barat bisa dijumpai sejumlah bangunan yang terletak tepat di bibir pantai. Kemudian, terdapat juga beberapa areal tambak serta persawahan. Tembok penahan ombak di sepanjang wilayah itu mudah ditemui. Di balik tembok yang menghadap ke laut, tidak tampak adanya pasir pantai. Namun demikian, di balik tembok yang menghadap ke jalan raya, bisa ditemui berbagai lahan aktivitas masyarakat, mulai persawahan, hingga bangunan industri.
Menghadapi Abrasi dengan Mangrove dan Hambatannya
Abrasi bisa terjadi karena suatu bibir pantai tidak memiliki penahan hantaman gelombang air laut. Untuk mengatasinya, dilakukan sejumlah upaya untuk membuat penahan gelombang air laut. Upaya ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti membuat tembok penahan ombak atau menanam pohon mangrove.
Sudah sejak lama, sejumlah pihak gencar mengkampanyekan dan mengupayakan penanaman pohon mangrove di wilayah yang terkena abrasi. Penanaman pohon mangrove dinilai memiliki banyak nilai tambah: adanya pohon itu dinilai bisa menghidupkan biota laut, seperti kepiting atau kerang. Selain itu, buahnya pun bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku sirup, kue, hingga sabun mandi.
Di Kabupaten Indramayu, upaya penanaman mangrove sudah dilakukan. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu, total luas lahan pohon mangrove sebesar 4.000 hektare. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indramayu, Joko Pramono, mengatakan, jumlah itu merupakan pencatatan yang dilakukan antara tahun 2003-2013.
"Bila membandingkannya dengan wilayah yang ada di Jawa Barat, areal mangrove yang ada di Indramayu sebenarnya tergolong paling besar. Jumlah itu baru di lahan yang berada di luar wilayah Perhutani," katanya, beberapa waktu lalu.
Setiap tahunnya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indramayu memiliki anggaran untuk penanaman mangrove. Joko menyebutkan, anggaran itu cukup untuk menanam pohon mangrove seluas 200 hektare. Bila corporate social responsibility sebuah perusahaan diperhitungkan, kata dia, upaya penanaman pohon mangrove bisa mencapai 300 hektare.
Namun demikian, ujar Joko, upaya penanaman pohon mangrove setiap tahunnya ini jangan selalu dibayangkan luasan penanaman bertambah. Seringkali, kata dia, penanaman dilakukan di lokasi lahan mangrove eksisting yang pohonnya mati. "Seperti saat ini saja, ketika banjir besar melanda Indramayu beberapa waktu lalu. Banyak pohon mangrove yang terbawa banjir. Saat ini kami sedang mendata kembali pohon-pohon yang hanyut terbawa banjir itu," katanya.
Hambatan
Meski upaya penanaman pohon mangrove sudah dilakukan, namun tidak terlepas dari sejumlah hambatan. Sejauh ini belum ada penanaman yang dilakukan secara massif. Namun baru sebatas penanaman yang terpencar di beberapa titik saja. Setidaknya penanaman pohon mangrove telah intens dilakukan di Kecamatan Pasekan (Desa Pabean Ilir), Kecamatan Kandang Haur (Desa Hilir dan Bulak), Kecamatan Indramayu (Desa Karangsong), serta Kecamatan Cantigi (Desa Lamaran Tarung).
Di wilayah yang paling parah terkena abrasi, yakni di bagian barat Indramayu (mulai dari Kecamatan Sukra sampai Kecamatan Eretan Kulon), upaya penanaman pohon mangrove malah tidak ada. Di wilayah tersebut, upaya mengatasi abrasi dilakukan melalui pembuatan tembok penahan ombak. Bila kita menyusuri wilayah tersebut, mudah ditemui tembok penahan ombak yang merentang di sepanjang pantai utara.
Mengenai hal ini, Joko mengatakan, menanam pohon mangrove memerlukan kondisi gelombang yang relatif tenang. Selain itu ada tanah timbul, misalnya dari hasil sedimentasi, yang digunakan sebagai tempat menanam pohon. Di pantai-pantai yang berlokasi di sebelah barat, kondisi seperti itu tidak bisa ditemui. Abrasi yang telah berlangsung bertahun-tahun, menghabiskan pasir pantai yang ada di sana.
Selain itu, menanam mangrove pun tidak terlepas dari persoalan penebangan pohon itu oleh warga. Joko mengatakan, ada saja cerita mengenai bagaimana masyarakat di sekitar pohon mangrove ditanam itu menebang pohon tersebut. Hal itu dilakukan untuk beragam alasan.
"Biasanya, pas musim hajatan suka ada masyarakat sekitar yang menebang mangrove. Beberapa di antaranya memakai batang mangrove untuk bahan bakar memasak," ujarnya.
Kondisi-kondisi yang dipaparkan Joko itu, dalam satu sisi, membuat upaya penanaman mangrove menjadi fluktuatif luasannya. Areal yang telah ditanami mangrove bisa berkurang jumlahnya bila terkena banjir, terbawa gelombak air laut, atau karena perilaku masyarakat di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar