Sail Away karya Sahrul Haetamy Ananto |
Cecep antusias. Dia menemukan bahan yang dianggapnya bagus untuk dibuat tulisan feature. Pertemuan dengan anak buah kapal yang bertugas di Trinidad-Tobago, Kepulauan Karibia, menggugah dirinya untuk mengajukan sebuah tulisan feature berseri.
Dia sudah merancang arah cerita mengenai salah seorang ABK
yang ditelantarkan oleh perusahaan perlayaran di kepulauan Trinidad-Tobago itu
dalam salah satu seri tulisan feature-nya. Bagaimana seorang ABK itu, ketika
pertama kali bekerja di kapal, disambut dengan kata-kata; “selamat datang di neraka” oleh ABK lainnya
yang telah lama bekerja. Sungguh terasa seperti punchline yang gahar.
Kemudian, Cecep juga sudah mulai merancang, bagaimana perjuangan
sekelompok ABK yang ditelantarkan itu mencari keadilan, mulai dari mendatangi
dinas tenaga kerja di daerah Indramayu hingga ke kementrian ketenagakerjaan di
pusat.
Berangkat dari bahan-bahan dan rancangan tulisan itu, Cecep
mulai mengirimkan pesan singkat ke redakturnya. Memberitahu redakturnya itu
bahwa dia berniat membuat tulisan feature berseri. “Ya sudah, kirimkan saja
tulisannya,” kata Cecep kepadaku, menirukan balasan pesan singkat redakturnya
itu.
Waktu berselang, dan tulisan feature seri pertamanya
rampung. Tulisan itu pun langsung dia kirimkan via surel. “Eh, pas liat koran
besoknya, tulisan itu ga dimuat,” kata Cecep sambil cengengesan. Dia memang
suka cengengesan orangnya.
“Terus, kamu tanyain kenapa tulisan itu ga dimuat,” kataku
menimpali.
“Engga. Udah kadung malas,” katanya sambil tersenyum
(lagi-lagi) cengengesan.
Mencari tahu kenapa sebuah tulisan tidak dimuat, terkadang
seperti berupaya melihat rambu-rambu di tengah gunung yang sedang berkabut
tebal. Meraba-raba, dan seringkali tidak jelas. Aku pun pernah bertanya kepada
redaktur tentang sebuah tulisan yang tidak dimuat. Padahal, redaktur ku itu
yang menyuruhku membuatnya. Saat ditanya kenapa, dia hanya menjawab enteng, “ga
kenapa-kenapa.”
Dari jawaban itu, aku tidak ngotot, dan juga tidak memperpanjangnya.
Hanya saja, aku sudah mencatat dalam benak kelakuan dia, dan aku tidak akan
melupakannya.
Kalau kita paranoid, kita bisa dengan mudah menyalahkan diri
kita sendiri soal tulisan yang tidak dimuat ini. Bahkan sampai sangat rendah
diri kita dibuatnya; tulisan kita jelek, dan kita kita tidak berkompeten untuk
membuatnya, misalnya. Tapi, terkadang ada alasan lain di luar itu, seperti
halaman yang penuh, sampai kealpaan redaktur, bisa saja terjadi. Tapi, aku
sendiri tidak bisa menganalisis secara akurat dari sekian kemungkinan itu,
manakah yang paling benar.
Seorang wartawan (Andreas Harsono) pernah menulis, bahwa
menciptakan suasana demokratis di media massa itu perlu. Bagaimana antara
wartawan dan redaktur bisa saling diskusi dan berdebat mengenai suatu
persoalan, itu perlu. Tapi, lanjut dia lagi, menciptakan suasana seperti itu
tidak mudah. Menurutnya, membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati
nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Sementara,
media massa selalu dibayang-bayangi oleh deadline.
Kapitalisme.
1 komentar:
duet maut penulis dan ilustrator :D
Posting Komentar