Jumat, 25 September 2009

Boys of Summer '02

Tahun 2006 kemarin sudah berikhtiar sama diri-sendiri perihal masalah perut sama lambung: pokoknya mulai berhenti konsumsi alkohol. Ikhtiar itu juga datangnya bukan tiba-tiba turun dari langit seperti wahyu. Ada pemicunya: seharian perut kosong, tapi si Iya datang menawarkan alkohol di siang hari. Malamnya langsung tepar. Kerasa demam dan muntah-muntah. Dibawa ke dokter, eh, ternyata liver. Harus bedrest sebulan penuh. Waktu itu alkohol jadi pemantiknya, dan dampaknya kemana-mana. Mulai dari aktivitas akademik yang kacau, hingga ketinggalan aksi bermain bersama kawan-kawan. Dari situ mulai kapok.

Di tahun 2009, baru saja pulang dari kampung halaman, si Bina nelepon. Super dadakan. Mengajak bertemu di Dago. Teman-teman lama ngumpul lagi, katanya. Waktu itu sudah malam sekitar jam sembilan.  Barang-barang warisan mudik belum sempat dibongkar-bongkar. Belum diurus sama sekali, tapi malah langsung menyalakan motor. Ibu langsung marah-marah: baru nyampe, udah main ga jelas lagi. Tapi motor sudah keburu panas. Kagok. “Mau silaturahmi sama teman-teman lama,” kata saya buat alasan.

 Waktu selalu tidak pernah tepat bila main bersama teman-teman sekolah dulu. Tidak pernah. Seperti saat itu, ketika Bina menelepon. Tapi bodohnya, saya selalu “iya-iya” saja ikut. Dan konyolnya, walaupun waktu tidak pernah tepat, setiap acara bisa berlangsung sampai tuntas. Saya mengira-ngira, bila ada orang yang hidupnya selalu di-‘maintain’ dengan serius dan penuh perencanaan pasti tidak akan ‘mix’ berkumpul dengan mereka. Orang-orang spontanitas itu. Mereka tidak pernah menekuni perencanaan, apalagi keteraturan organisasional yang kaku dan terpatok pada garis otoritas. Dasar sinting. Contohnya saja si Ciblo. Jam dua pagi di telepon untuk ngumpul bareng. Dia ngeluh. Kenapa baru dikabari sekarang, karena dia sudah mau tidur, katanya. Tapi, eh, datang juga akhirnya.

Orang-orang serba dadakan, dan spontan itu….

Begitulah. Dalam perjalanan untuk menyambangi mereka, sebelumnya tidak berpikiran apa-apa, kecuali sekadar bertemu-kangen setelah lama tidak bertemu. Tapi, tidak lama kemudian jadi teringat Jalan Cikapayang, Jalan Supratman, dan Jalan Bawean. Wah, disitu asli langsung nyadar. Siapa yang pura-pura sholat di Pusdai, karena ketakutan dipergok Dalmas, sementara dirinya mabuk berat? Siapa yang makan nasi goreng langsung jackpot, gara-gara mabuk terlalu parah? Siapa yang tidur di trotoar Cikapayang tengah malam gara-gara kebanyakan minum Catuas? Siapa yang digebukin satpam gara-gara secara tidak sadar merusak palang properti jembatan Pasupati sewaktu jembatan itu masih belum beres? Siapa yang bawa awug tengah malam, dan bukannya awug itu dimakan, tapi malah dilempar-lemparkan ke orang-orang? Jawabannya ada pada mereka yang akan saya temui malam itu.

Siapapun juga pasti tau rasanya bagaimana bertemu dengan teman terbaik yang telah lama tidak bertatap-muka. Ingatan-ingatan tentang kekonyolan dan kegilaan masa muda yang dikoreh-koreh lagi seperti menemukan kanalnya. Dan berbicara masalah ingatan, dibandingkan jaman SMP, ingatan masa SMA memang benar-benar memuakkan. Biasalah, gap-gapan yang terlalu besar telah mengkotak-kotakan angkatan kami. Tetapi saya yakin diri saya harus bersyukur, karena kotak yang saya masuki saat itu sedikitnya bisa menghibur saya dari kejenuhan rutinitas sekolah yang memuakkan. Karena didalam kotak ada orang-orang yang, menurutku, humoris dan low profile. Bukan tipikal mereka yang petantang-petenteng membanggakan kekayaan orang tuanya atau identitasnya sebagai sebuah anggota geng motor. Hanya orang-orang biasa yang gemar nongkrong, dan down to earth. Dan hingga sekarang, ingatan bermain bersama mereka yang masih terkenang, sedangkan yang lain-lainnya, buram.

Dengan alasan ingatan itulah juga, mengapa undangan jam 9 malam itu diamini juga, walau Ibu harus kukulutus. Tetapi masalahnya, ingatan-ingatan kegemaran anak-anak akan minum-minuman keras baru teringat di tengah perjalanan. Di perjalanan saya benar-benar yakin pasti ujung-ujungnya minum-minum lagi. Dan memang benar saja, sekitar jam 1 pagi si Toples melemparkan uangnya ke trotoar di taman depan toko musik Aquarius. Ketika anak-anak sedang nongkrong di taman itu. Lemparan pertama itu juga pastinya mengundang yang lainnya untuk ikut udunan buat beli minum. Berikut saya juga. Kira-kira Rp 125 ribu terkumpul waktu itu dari hasil udunan sebanyak sepuluh orang.

Uang sudah terkumpul, tapi toko-toko minuman keras sudah tutup, sehingga Boker dan Dongo ngebela-belain ke Dago pakar buat beli minuman black market di salah satu kenalannya. Saya tidak begitu hapal daftar harga minuman, tetapi kata si Boker, Chivas Regal yang harga pasarnya mencapai Rp 175 ribu, bisa di nego menjadi hanya Rp 100 ribu di kenalannya itu.

Sebagian besar anak-anak saat itu sebenarnya sudah tidak mengkonsumsi lagi minuman alkohol. Seperti si Toples, yang pertama kali melemparkan uang buat udunan beli minum. Dia sudah tidak pernah mabuk-mabuk lagi, bahkan untuk mabuk yang paling ringan sekalipun. Sebelumnya saya juga bertanya padanya perihal kebiasaan minum-minum ini. Dia bilang, sudah tidak pernah lagi. Hidup Toples saat ini bisa dikatakan mapan bila dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang hadir saat itu. Dia sudah punya pekerjaan di Jakarta, dan sedang mencicil agar bisa memiliki fondasi kehidupannya sendiri. Tetapi, saya kaget ketika dia menjadi orang pertama yang melemparkan uang udunan.  

Saya juga tolol, dan sama plin-plannya. Sebelum bertemu anak-anak, saya sudah berikhtiar: tidak ada mabuk-mabukan, tidak ada alkohol. Hanya nongkrong saja. Tapi, dasar bodoh, uang dari saku akhirnya dilempar juga ke trotoar buat udunan beli minuman. Dan yang lebih bodohnya lagi, sebelum nongkrong di taman, saya ngomong ke si Con-Con, “Lur, geus peuting yeuh. Jigana beuki tiris. Tapi di 34 mah moal tiris jigana.”

Omongan itu ternyata memicu anak-anak lainnya buat pindah ke taman, setelah sebelumnya kami nongkrong di pelataran Dago Plaza. Saat pindah itu jam sudah bertengger di angka 01.00 WIB. Kalau mau mengikuti norma sosial, jam satu pagi seharusnya kami ada di rumah dan tidur. Mengistirahatkan badan agar bugar esok harinya. Tetapi, ini malah pindah tempat tongkrongan. Benar-benar sinting. Entah apa juga sebenarnya yang dicari dari nongkrong ini, selain ngobrol ngalor-ngidul, dan dalam kasus ini, ditambah pula dengan minum minuman keras.

Kami nongkrong di taman hingga pukul empat pagi. Dua botol minuman dihabiskan oleh sepuluh orang. Terlepas dari aktivitas nihilistik dari nongkrong dan minum-minum ini, saya pikir, bertemu teman-teman yang selama kurang lebih tujuh tahun tidak bertatap muka merupakan hal yang jarang bisa didapatkan akhir-akhir ini.

Setelah saya tiba di rumah, dan tidak bertatap muka dengan mereka lagi, saya juga jadi tidak ingin mempertanyakan untung-rugi apa yang bisa didapatkan dari sekadar nongkrong dan mabuk sampai subuh dengan mereka. Saya pun tidak ingin mengira-ngira kelakuan Toples yang mengaku sudah berhenti minum, tapi nyatanya dia yang melemparkan ‘huru-hara’ pertama dengan mengeluarkan uang udunan ke trotoar. Terlalu banyak hal-hal yang telah dilewati selama ini, dan dari sekian banyak hal yang terlewati, ada sebuah fase yang dilewati bersama mereka. Dan mengetahui waktu bergulir hingga seperti sekarang, pada satu titik, membuat sedih juga.  

Terlalu banyak cerita, dan untuk menuturkannya lagi tidaklah mungkin. Rasanya tidak akan sama. Walaupun sebenarnya saya ingin sekali mengulang cerita itu. Mengulang apa yang Oz tumpahkan di kamar saat dia terlalu banyak minum Intisari. Mengulang berjalan kaki tengah malam di Kota Bandung. Mengulang nongkrong di Jalan Supratman tengah malam, dan tiba-tiba Dalmas datang menggerebek, lalu kami lari terbirit-birit. Mengulang nongkrong di sepinya Jalan Bawean dengan ditemani oleh sajian berupa Awug yang dibuat oleh teman kami. Mengulang mengacak-acak rumah Bina selama sebulan  penuh, hingga rumah si Bina dinobatkan sebagai ‘panti asuhan barudak’.

Tapi nyatanya semua itu memang tidak bisa diulang. Dan sampai sejauh ini, mungkin hanya nongkrong dan minum kembali yang bisa dilakukan, seperti malam itu di taman. Hanya berusaha mendekati, dan bukan untuk diulang. Dan aku tidak ingin mempertanyakan lagi segala ikhtiar yang kulanggar, karena untuk ini, saya rasa orang-oranglah, yakni mereka, yang terpenting. Bukan ikhtiar pribadi, bukan obrolan ngalor-ngidul, bukan juga botol minuman keras selundupan. Tapi kehadiran.



      
 

12 komentar:

setroberi teh mengatakan...

Bungkuus..

Yas Dong mengatakan...

tak akan kusentuh lagi walau secuil. Secuil.. hehe

abo si eta tea mengatakan...

botolnya mau dibungkus?

abo si eta tea mengatakan...

jangan pernah percaya pemabuk.

dyah nur'aini mengatakan...

Kalo ama temen2 mah apa juga jadi. Yang penting senang. Hahaha..

abo si eta tea mengatakan...

heuheu. iya ni, karena ''apa juga jadi"-nya itu kadang bikin rusuh.hihi....ampun2.

astri arsita mengatakan...

aww.... bestfriend stays, with or without liquors kok bo
hehe :p

abo si eta tea mengatakan...

ga diraguin, cil. betul. heheh...
tapi mslhny kyny bukan stay ato ga stay kmrn mah, tapi apaa gitu euy...semacam sono weh. just feelings. sebagian besar tmn2 jga dah ga pernah minum lgi kmrn teh, cm tiba2 "suasana" asa mendukung...pake peribahasa "for old time sake" sagala. jadi we yang dah pada berenti minum, kebabawa tea (walau minumnya dipirit tea, ga ditenggak edan eling ky preman kmpung).
...ya itu jadinya, sosonoan hungkul. inget yang dulu2...asa pengen ngulang. hehe, for old time sake tea ceuk tmn sy mah (untung teu unggal poe "for old time sake" na, ripuh!hehe).

andeeper mohammad mengatakan...

AHAHA, JANGAN PERNAH PERCAYA PEMABUK!!! ...pemabuk cinta kumihi?

abo si eta tea mengatakan...

komo ni ieu mah...hehe. tai munding disaruakeun coklat toblerone tea...beuki parah.

astri arsita mengatakan...

hihihi,, yapp. kayak kalau ketemuan teman sma akupun, suka ngobrolin curhatan lama dan pa ece-ece mantan kecengan atau pacar :p dan iya, ripuh nyak mun for old time sake yah unggal poe, karena tidak akan ada for this time sake-nyah kalau gitu,, living in yesterday nantinyah...

abo si eta tea mengatakan...

waduh....