Selasa, 08 September 2009

Fukken Pancaroba*

Tangguh benar kelihatannya perempuan itu. Sementara yang lainnya berlarian mencari bayangan pohon. Berusaha untuk menjauhi cakaran sinar matahari di jam dua siang. Melarikan diri mencari kenyamanan multi dimensi yang disuguhkan oleh kasur. Beda dengannya. Ia terus berlari. Ia berlari disaat matahari sedang garang-garangnya unjuk kekuatan, menunjukkan egonya yang paling tinggi. Menantang matahari, peluh pasti mengucur deras. Tangguh benar ia.

Ia berada di garda terdepan. Ia lari terdepan dan sendirian. Terdepan dan sendirian. Masih disorot sinar mentari di jam dua siang. Kalau saya nabi, saya minta sama Tuhan buat mindahin awan keatasnya. Saya minta sama Tuhan untuk menggeser awan agar menutupi matahari. Tapi sayang, zaman nabi sudah berakhir kira-kira dua ribu tahun yang lalu. Udah ga ada nabi lagi sekarang. Kalaupun ada pasti akan dicap penipu oleh MUI atau dipukulin sama tetangga sebelah, karena disangka menyebarkan ajaran sesat. Sempat terlintas pikiran untuk memayunginya, tapi pasti akan ditertawakan oleh orang-orang dibelakangnya. Ia pun mungkin akan lari terbirit-birit karenanya. Orang aneh. Begitu mungkin yang ada dalam pikirannya.

Walaupun mempunyai nama depan yang sama dengan nabi terakhir, tapi apa daya. Nama boleh sama, tapi tidak dengan orangnya. Nabi terakhir terkenal dengan dakwahnya yang sejuk. Lalu, bagaimana bisa berdakwah dengan sejuk, apabila untuk berpidato dihadapan 57 orang saja keringat dingin sudah bercucuran, logika ambruk dan penglihatan kabur?

Walaupun begitu, orang tua memberi nama pada anaknya disertai dengan harapan. Ayah menulis di buku “Catatan Masa Kecilku”; semoga menjadi anak yang berbudi pekerti seperti Nabi terakhir. Ya, mudah-mudahan anaknya tidak tumbuh jadi seseorang yang mudah melupakan sesuatu. Sok atuh, Ayah, do’ain juga. Biar nanti, sewaktu diwisuda, anaknya ditemani. Pas sesi foto, khususnya.

Bicara lagi tentang ketangguhan, teringat Riduan. Seorang tokoh dalam cerpennya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul ‘Jakarta’. Riduan adalah seorang nasionalis. Pejuang tulen yang pernah diciptakan oleh revolusi Indonesia. Cita-citanya tinggi, setinggi Himalaya. Idealis pula. Seseorang yang gigih memegang prinsipnya. Tapi, semuanya itu rontok seketika dihadapan Masrifah. Gadis perawan berumur enam belas tahun.

Sudah lama Riduan menginginkan Masrifah. Namun, Riduan harus menendang jauh-jauh perasaan itu dari hatinya. Gadis perawan itu mau dikawin dengan matros Nica – matros kelas satu dari Angkatan Laut Hindia Belanda.

"Selama ini ia menyangka, bahwa cita-cita itu akan menambah harga dirinya. Rupa-rupanya tidak demikian adanya. Kerap ia datang di rumah Masrifah, berbicara dengan bapaknya. Di medan catur inilah ia mencurahkan tujuan citanya, arti hidup, gerakan sosialisasi dan sebagainya. Semua itu dikiranya bisa memperlihatkan kepada bapak gadis dan perawan itu sendiri, bahwa ia kaya dalam batinnya. Salah, serba salah. Kini sadarlah ia akan untungnya. Baju cuma sesetel, itu-itu juga yang dipakainya dan belanja di warung kopi sekarang ini, bukan ia sendiri lagi yang membayar…."

Sudah pasti Riduan uring-uringan. Apalagi, calon suaminya Masrifah itu berpihak pada Belanda. Bukan pada tanah airnya. Tambah pusinglah ia. Lebih memusingkan lagi adalah bapaknya Masrifah. Seorang nasionalis tulen dan haus ilmu pengetahuan juga seperti dirinya. Bagaimana mungkin bapaknya itu mengijinkan anaknya untuk hidup bersama dengan seorang musuh revolusi? 

Galau. Malam hari sebelum kepergian Riduan ke luar kota Jakarta untuk menghindari rasa sakit hatinya, ia pergi berpamitan ke rumah Masrifah. Tapi ia datang bukan untuk berbicara dengan gadis perawan itu. Ia ingin mencurahkan segala isi hatinya kepada bapak gadis pujaannya itu. Bapak Masrifah itu hanya membalas curahan hatinya dengan mengusap dada sambil menundukkan kepala dan berkata:

“Yah, saya sendiri juga sudah mengetahui keadaan hati anak. Tapi apakah daya saya? Kami orang tua ini tidak boleh menguasai jiwa anak. Kami Cuma berkewajiban memasukkan faham merdeka dan kejujuran dalam jiwa yang masih bersih itu. Kami tidak boleh mempengaruhi dan menguasai batinnya. Dan cinta yang suci itu hanyalah bisa tumbuh bila batinnya merdeka….”

Riduan memahaminya. Walaupun, ketika Masrifah datang ke halaman menyuguhkan minuman, ia tidak berani memandang matanya.

Riduan pergi sejauh-jauhnya dari Kota Jakarta. Ia pergi hingga ke pedalaman. Mencari ketenangan.

“selamat tinggal, Jakarta,” keluhnya.

Riduan, invalide dalam perjuangan cinta!

“selamat tinggal, Jakarta.”

Ketangguhan…bahkan untuk seorang nasionalis dan patriotpun…semuanya menjadi berantakan. Rencana harus diubah, karena Jakarta sudah bukan lagi kota harapan. Tidak ada lagi tempat bagi cita-citanya yang idealis di kota ini. Semuanya mentah ketika dihadapkan oleh pertunangan.

“Ah, cinta mah jorok!” ujar seorang teman. Cinta bisa bersemi dimana saja. Benar-benar tak pandang bulu. ia bisa tumbuh dimana saja tanpa harus memakai pupuk. Seperti di dalam kamar; Kaos kaki bisa ada di atas speaker audio, celana dalam tiba-tiba bersemayam di kolong kasur dan abu rokokpun menumpuk di gelas bekas kopi semalam. Ya, cinta itu jorok. Bahkan seorang teman pun bisa mempunyai anak tanpa harus memakai status ‘suami-istri’.

Untuk terakhir kalinya kembali bicara soal ketangguhan. Pergantian musim, dari penghujan ke pancaroba, benar-benar membuat sengsara. Betapa tidak, seperti deretan bencana yang saling menyusul. Setelah tsunami, datang gunung meletus. Setelah hutang lunas, uang musnah untuk bayar angkot. Setelah keluar nilai D, keluar lagi nilai E. Sial beruntun. Lemah tidak berdaya. Memalukan. Baru saja keluar dari rumah, ingus mengalir deras drastis. Kepala pening nyut-nyutan. Batuk berdahak tanpa henti. Influenza. Seperti halnya cinta, sangat jorok.

Doktor Tomarere bilang harus banyak minum air putih, tapi sepertinya kopi lebih enak. Ibu bilang jangan banyak ngerokok, tapi ku bilang cerewet. “Makin gede, makin susah diatur. Bukannya mikir!” balasnya.

Jangar. melihat tulisan si Yogi yang judulnya ‘Galau…Saya Galau…Saya Multi Talented…Bukan Seniman’ waktu hajat seni VENTILASI bertajuk ‘DaripadaDARIPADA, kan…mendinganMENDINGAN’:

Ketika menggarap pameran ini saya sedang galau…karena dua masalah hidup, satu mengenai permasalahan perut. Kedua karena permasalahan kelamin…dan itu semua adalah inti masalah hidup…tapi karena ini sebuah penciptaan karya, saya menikmati segala kegalauan hidup.

Haha. Goblok.


* Pancaroba 2007.

Tidak ada komentar: