Jumat, 04 September 2009

Iron Man


Artefak dari sebuah kebudayaan tercipta diatas penghisapan dan penindasan terhadap mereka yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi: perbudakan atas mereka yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga yang terdapat dalam tubuh mereka sendiri. Selama masih ada manusia yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi, tentu akan selalu ada ketergantungan kepada mereka yang memiliki akses lebih terhadap alat produksi. Dampaknya bagi kaum yang ‘memiliki akses’ itu sudah tentu adalah kekuasaan: kekuasaan terhadap alat produksinya sendiri, dan terhadap manusia lain yang tidak mempunyai apapun. Disinilah, dan diatas semua itu, kaum yang berlebih bisa melakukan apapun dengan waktu luang yang dimiliki oleh mereka, termasuk membuat sebuah artefak kebudayaan bertingkat tinggi.

Piramid yang ribuan tahun berdiri kokoh di Mesir sudah dipastikan bukan dikerjakan oleh Firaun seorang. Gurun pasir yang eksis ribuan tahun di sekitar piramid menjadi saksi, bagaimana ribuan orang yang harus menghamba kepada Firaun, karena tidak memiliki apapun, siang-malam menumpuk batu demi batu dibawah deraan cambuk. Bila Firaun seandainya hanya rakyat jelata, seperti mereka yang siang-malam menumpuk batu, tentu tidak akan berpikir untuk membuat piramid yang tidak memiliki korelasi langsung terhadap kehidupan sehari-harinya yang disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak gampang. Lebih baik menggembala domba agar bisa makan, daripada membuat piramida bodoh yang tidak bisa menciptakan sesuatu untuk dimakan. Dan dunia kenyataannya dibangun dengan tidak membuat semua orang senang: ada Firaun yang memiliki kekuasaan besar, dan ada mereka, ribuan orang yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga didalam tubuhnya sendiri.

Tony Stark, seorang pemimpin Stark Industries di film Iron Man ini, dalam beberapa hal mirip seperti Firaun. Walaupun, tidak sevulgar seperti Firaun di jamannya sendiri tentunya. Di jaman dimana Tony Stark hidup, tidak ada yang namanya perbudakan, karena perbudakan itu sendiri memang menjadi barang kuno. Mengesankan produk yang hanya ada dalam fase manusia primitif. Di masa dimana Tony Stark hidup, dunia hanya mengenal sebuah pola proses pertukaran komoditi yang tidak sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga akumulasi kapital.

Mereka yang memiliki uang, memasuki pasar untuk membeli semua alat produksi yang diperlukan agar sebuah komoditi bisa dibuat dan dijual kembali dengan harga yang lebih dari uang yang telah dikeluarkan untuk bahan produksi di pasar pertama kalinya. Di sini, yang berlaku bukanlah penghambaan seperti Firaun, tetapi kepemilikan. Siapa yang memiliki akses terhadap bahan produksi, maka mereka bisa memiliki semua bahan produksi, termasuk tenaga-kerja sebagai bahan produksi. Dan kepemilikan tersebut tentu saja bukan perbudakan. Tentu saja mereka bilang bukan, karena dibawah segalanya, mereka berkilah semata-mata tindakannya itu legal dibawah payung yang menggerakan aktivitas pasar bernama jual-beli. Di dalam pasar, tentu saja, yang bermain bukanlah ‘tuan yang berhadapan dengan budaknya’, tetapi semata-mata hanya pembeli yang bertransaksi dengan penjual. Aku yang ingin jualan sepatu, memiliki uang untuk membeli bahan mentah sepatu dan mereka yang memiliki keahlian membuat sepatu. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan bahan mentah sepatu dijual di pasar dan kumembelinya. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan ada orang yang memiliki keahlian sepatu, menjual keahliannya kepadaku di pasar dan kumembelinya. Sesimpel itu.

Aku yang ingin jualan sepatu, tentu saja tidak hanya ingin jualan sepatu. Tetapi aku juga ingin uang yang kutanamkan pada bahan mentah sepatu dan tenaga kerja ahli membuat sepatu itu kembali lagi dengan dibarengi keuntungan berlipat bersamanya. Dan proses pertukaran komoditi kapital seperti ini bukanlah sebuah proses yang akan menemukan titik akhir, dia akan terus melipatgandakan dirinya semaksimum mungkin. Uang yang beredar di pasar tentu tidak akan habis dikonsumsi, seperti pemakaian sepatu yang dalam beberapa tahun kemudian engkau yang memakainya akan merengek ke orang tua mu untuk dibelikan lagi sepatu yang baru. Uang akan terus beredar dipasaran dan melipatgandakan dirinya selama dalam proses produksi sepatu, aku yang memiliki uang dan ingin jualan sepatu memanfaatkan ribuan tenaga ahli sepatu agar bisa mendatangkan keuntungan bagi diriku. Seorang yang ingin jualan sepatu.


Hidup Glamour Sang Milyuner Tony Stark

Saat uang yang beredar dipasaran terus melipatgandakan dirinya, sudah tentu orang yang pertama kali memiliki uang tersebut dan melemparkannya ke pasaran adalah yang paling diuntungkan. Dengan begitu, tentu saja kekayaan adalah hal pertama yang akan dimilikinya. Dengan kekayaan, dia dapat melakukan apapun yang dia mau. Maka kita bisa melihat kenapa bisa muncul orang seperti Tony Stark di film Iron Man ini. Seorang milyuner muda nan cerdas yang dikagumi banyak orang.

Dengan kekayaannya yang berlipat, dia memilih judi di sebuah kasino elit, ketimbang menghadiri acara penghargaan yang menurutnya membosankan itu. Banyak pilihan terbuka lebar bagi dirinya. Dengan kekayaannya yang berlipat itu, tentu saja perusahaan yang dipimpinnya, Stark Industries, memiliki akses pula untuk memiliki perangkat keras yang menjadi bahan mentah senjata, dan terhadap teknologi perangkat lunak yang memungkinkan pengembangan teknologi yang terus-menerus.

Dan ketika kekayaan Tony Stark sudah begitu berlipatnya, tentu saja Tony dengan Stark Industriesnya dapat melenggang kemanapun: dari sekadar bermain-main dengan perempuan, membuka bisnis baru di bidang pertanian yang dananya disokong penuh oleh industri senjata beratnya, bertindak mulia dengan mendirikan badan-badan amal, hingga waktu luang yang memungkinkan Tony Stark dapat membuat robot perang bodoh yang bisa terbang menembus atmosfer bumi.

Belum lagi bila ada pesanan senjata dari Afghanistan, karena Taliban semakin menyebalkan, sudah tentu uang yang mengalir ke kantongnya lebih deras lagi. Itulah Tony Stark, sang milyuner yang jadi panutan.

Tetapi, tentu saja semenjak Tony Stark yang menjadi tokoh utama film Iron Man ini, ribuan orang yang bekerja untuknya di pabrik senjata Stark Industries tidak akan disorot. Lagipula, apa menariknya memfilmkan orang-orang menjemukan yang kerjaannya tiap hari memasang baut dan mur ke dalam senjata selama delapan jam (atau bila Stark Industries punya pabrik di Tangerang, memasang baut dan mur itu bisa sampai 14 jam)? Tentu saja tidak akan menarik. Hidup orang-orang yang bekerja di dalam pabrik Stark Industries tidak akan sedinamis para pemegang saham, seperti Tony Stark yang bisa terbang ke daerah Timur Tengah dengan robot bodohnya itu untuk menghancurkan teroris yang mengganggu kepentingan ekspansi bisnis Stark Industries. Tidak akan ada pesta semeriah dan semulia pestanya kaum filantropis yang bisa dihadiri oleh Stark sebagai seorang milyuner yang memimpin Stark Industries. Ribuan pekerja Stark Industries itu tentu saja tidak memiliki kehidupan semenarik seperti CEO-nya. Dan memfilmkan ribuan pekerja Stark Industries ke dalam film Iron Man juga tentu merupakan pemborosan dana dan buang-buang waktu saja.

Tetapi, walaupun pekerja pabrik Stark Industries itu tidak akan bisa masuk dalam film Iron Man ini, minimal mereka dapat menontonnya di bioskop bersama keluarga di akhir pekan. Teknologi canggih yang diperagakan dan betapa glamornya seorang Tony Stark di film ini menjadi salah satu tontotan yang bisa dinikmati di waktu senggang setelah sibuk seharian bekerja. Selain dinikmati, tentu saja melihat film ini bisa membuat kita berkhayal…seperti saya yang akhir-akhir ini menghayalkan seandainya Gwyneth Paltrow bisa saya bawa ke Tasikmalaya pas lebaran nanti untuk dikenalkan kepada keluarga besar di sana. “Kenalin, bapak-bapak-ibu-ibu, calon….”

Tidak ada komentar: