Akhir-akhir ini saya terinspirasi oleh orang-orang. Bagaimana tindakan orang-orang tersebut, dalam titik tertentu, selalu membuat saya tercenung. Saya tidak akan menyebut nama orang-orang itu, tetapi saya akan menceritakan tindakan-tindakan apa saja yang sudah dilakukan oleh mereka. Karena memang itulah yang terpenting. Tindakan. Dalam konteks ini, nama hanyalah menunjukkan pembedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi tindakan…tindakan adalah aksi pembedaan yang memberikan pengaruh bagi lingkungan sekitarnya.
Ada orang ini, dia masih muda, dan berprofesi sebagai arsitek. Dia dikenal karena konsepnya mengenai tata ruang kota yang berlandaskan konsep ruang publik dan pemberdayaan ekonomi kreatif yang berbasis akar rumput. Semenjak pertama kali memperhatikan apa yang dia lakukan, ada satu hal yang terus menerus dia tekankan. “Masyarakat harus didorong untuk melakukan perubahan secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah,” kurang lebih seperti itu apa yang dia tekankan.
Penekanannya itu tidak main-main. Dengan beberapa rekannya dia menggagas sebuah forum yang bertujuan untuk menampung kreatifitas masyarakat dan memberdayakan setiap potensi yang terdapat didalamnya. Sebuah festival pun dia rancang untuk menerjemahkan idenya tersebut ke tataran yang lebih populer. Helaran, nama festivalnya. Masyarakat Kota Bandung umumnya sudah mengenal festival itu.
Dalam perjalanannya, festival itu menjadi fenomena yang mengejutkan. Khususnya bila dilihat dari segi ekonomi. Bagaimana mereka yang bergerak di bidang sablon baju dan penjualan clothing menyumbangkan pendapatan yang nominalnya mencengangkan selama festival itu berlangsung. Beberapa media massa memberitakan juga bahwa kemandirian usaha sablon baju dan penjualan clothing itu sanggup menyerap tenaga kerja hingga sekian ribu. Semuanya ini dilakukan secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintah. Bahkan festivalnya itu sendiri pada awalnya tidak dibantu oleh pemerintah. Dalam hal inilah, kemudian ia dan forum yang digagasnya meramaikan media massa dengan wacana ‘ekonomi kreatif’.
Pemberdayaan ekonomi kreatif yang beranjak dari bawah (masyarakat) ini sebenarnya bila dilihat adalah kapitalisme yang dibalut dengan potensi lokal. Secara pola, ekonomi kreatif tidak ekstrim berbeda dengan ekonomi ala kapitalisme: ambil untung sekian di atas biaya produksi rata-rata.
Dalam kapitalisme, seperti halnya ekonomi kreatif, yang tersisa hanyalah masalah peluang. Siapa yang cukup jeli melihat peluang, dia bisa mendulang keuntungan. Maka dari itu, kenapa berak di toilet umum tiba-tiba bisa diklaim oleh yang mengaku ‘empunya’ toilet kudu ngebayar Rp 2.000,00. Dan konsep ekonomi kreatif kurang lebih berjalan seperti itu…lebih kepada masalah jeli memberdayakan potensi yang ada supaya bisa menghasilkan nilai-lebih. Komodifikasi dan eksploitasi.
Saya mempercayai, bahwa selain kehidupan yang dijalani saat ini: yakni kehidupan yang seolah-olah menjadi ‘common sense’ - ibarat Fukuyama meneriakkan ‘the end of history’ atas kemenangan kapitalisme pasca ambruknya Uni Soviet – pada satu titik, akan selalu ada peluang akan alternatif kehidupan yang lain. Walaupun mayoritas sudah terlanjur percaya bahwa dalam kapitalisme tidak ada jalan keluar.
Tetapi, dalam cara pandang mayoritas yang percaya kepada kapitalisme inilah saya berada. Dan sekaligus dalam atmosfir kapitalisme ini juga saya bisa menaruh respek dan terinspirasi dari tindakan seseorang yang telah saya bahas sebelumnya diatas. Okelah, pada satu waktu, dia juga menerjemahkan pernyataan masyarakat yang mandiri adalah pihak swasta yang membangun lingkungannya dengan tidak melupakan kelestarian alam dan ruang publik yang sehat. Dengan kata lain, lebih bertanggungjawab. Walaupun hal seperti itu seakan-akan mengulang konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan kata lain; tidak ada yang baru dan sekadar pernyataan normatif belaka. Karena tidak perduli betapa kamu berusaha sehumanis mungkin, selama landasannya adalah kapitalisme, maka pola hubungan akan berlandaskan pada hubungan yang ekonomistis. Karena satu-satunya tujuan kapitalisme adalah semata-mata mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan ketulusan yang sebanyak-banyaknya.
Tetapi, apa yang terus menerus ia tekankan mengenai kemandirian yang tanpa campur tangan pemerintah itu membuatku menaruh harapan pada ide yang dia kumandangkan seperti adzan di media massa. Saya tidak meragukan dampak yang sedang berlangsung atas ide kemandirian ini. terdapat perubahan disana-sini. Di Bandung, berjamuran dimana-mana distro dan pagelaran budaya. Bersamaan dengan itu, tercipta pula lapangan pekerjaan. Walaupun, saya merasa, alur yang bergerak mengarah ke pola ekonomi kapitalisme. Dan dengan begitu, pada akhirnya, perubahan akan menjadi cerita yang anti-klimaks. Tidak ada perbedaan dengan yang sebelumnya.
Tetapi, saya diajarkan, bahwa selalu berambisi memulai dengan langkah-langkah besar untuk secepatnya meraih hasil tanpa diimbangi oleh kemampuan diri sendiri adalah sumber dari depresi dan faktor yang membuat seseorang cepat menyerah ditengah jalan. Memulai dengan langkah-langkah kecil, sebaliknya, memberimu ruang untuk terus mengukur kemampuan mu dan memperkecil jurang antara realitas dengan apa yang ada didalam benak. Langkah-langkah kecil selalu membuatmu untuk tetap berpijak di bumi yang rendah hati.
Dan ide mengenai kemandirian ini, walaupun bergerak ke arah yang itu-itu saja dan menghasilkan sesuatu yang sama sekali tidak baru. Tetapi saya memiliki optimisme. Sebuah harapan, bahwa ada seseorang diluar sana yang terinspirasi ide mengenai kemandirian ini mencernanya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang berada di luar bingkai kapitalisme. Dengan cara yang sanggup membawa perubahan kepada tataran yang lebih humanis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar