Beginilah jadinya. Berada di tengah kerumunan. Tak teridentifikasi…dan tanda pengenal yang kukenakan hanyalah menunjukkan bagaimana diri ini menjadi sebuah cadangan tenaga. Pasokan untuk kelangsungan hidup mereka. Hidup yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Dan orang yang hilir mudik dengan ekspresi hampa…aku berada di tengah mereka.
Perang yang ada seperti dalam hati. Gejolak batin seperti bara yang tak tuntas menemukan kanal pelepasannya. Sebenarnya siapa yang waras, seringkali ku bertanya pada diri sendiri. Bagaimanakah dunia harus dipahami…sementara orang-orang disisi kanan dan kiriku berbicara sesuatu yang tidak pernah ku mengerti. Bicara dan bicara tanpa jeda dalam rangkaian repetisi…sungguh membosankan.
Malam hari selalu memberiku kehangatan…dan juga kenyamanan. Jalanan sungguh sepi, dan para pedagang kaki lima sudah kembali tetirah. Ruas jalan sungguh lengang. Hanya ada satu-dua mobil yang melaju. Dan yang terpenting dari semuanya, tidak ada kerumunan. Orang-orang entah kemana. Menghilang. Hanya ada diriku dan kesunyian yang hangat dari sebuah malam. Tak ada lagi orang-orang yang berbicara sesuatu yang tidak kumengerti. Tidak ada lagi khotbah, betapa kebahagiaan adalah kulminasi dari etos dan loyalitas. Aku tidak pernah mengerti, mengapa tiba-tiba selalu ada mereka yang masuk kedalam kehidupanku, dan merenggut apa yang kumiliki.
Dan malam…pada akhirnya hanyalah pelarian. Pelarian dari ketidakmampuan ku sendiri. Ketidakberdayaan. Sesungguhnya tidak ada tempat untuk sembunyi...ditengah kerumunan, bahkan didalam keterasingan sebuah malam itu sendiri. Setiap diri telah menjadi target. Demi ekspansi, dan akumulasi. Kadang ku menghibur diriku sendiri, betapa bara tetaplah bara, walaupun didalam hati. Dan konon bara itu dapat membuatmu setidaknya tersenyum miris. Mentertawakan mereka yang mengingatkan ketidakmampuan dirimu sendiri. Bila itu terjadi, maka aku sungguh senang menyambut senyum yang lama kunantikan. Setidaknya aku ingin tersenyum, ketimbang menunjukkan ekspresi datar dari orang-orang yang berada dalam kerumunan itu.
Foto oleh Alexei Titarenko.
Perang yang ada seperti dalam hati. Gejolak batin seperti bara yang tak tuntas menemukan kanal pelepasannya. Sebenarnya siapa yang waras, seringkali ku bertanya pada diri sendiri. Bagaimanakah dunia harus dipahami…sementara orang-orang disisi kanan dan kiriku berbicara sesuatu yang tidak pernah ku mengerti. Bicara dan bicara tanpa jeda dalam rangkaian repetisi…sungguh membosankan.
Malam hari selalu memberiku kehangatan…dan juga kenyamanan. Jalanan sungguh sepi, dan para pedagang kaki lima sudah kembali tetirah. Ruas jalan sungguh lengang. Hanya ada satu-dua mobil yang melaju. Dan yang terpenting dari semuanya, tidak ada kerumunan. Orang-orang entah kemana. Menghilang. Hanya ada diriku dan kesunyian yang hangat dari sebuah malam. Tak ada lagi orang-orang yang berbicara sesuatu yang tidak kumengerti. Tidak ada lagi khotbah, betapa kebahagiaan adalah kulminasi dari etos dan loyalitas. Aku tidak pernah mengerti, mengapa tiba-tiba selalu ada mereka yang masuk kedalam kehidupanku, dan merenggut apa yang kumiliki.
Dan malam…pada akhirnya hanyalah pelarian. Pelarian dari ketidakmampuan ku sendiri. Ketidakberdayaan. Sesungguhnya tidak ada tempat untuk sembunyi...ditengah kerumunan, bahkan didalam keterasingan sebuah malam itu sendiri. Setiap diri telah menjadi target. Demi ekspansi, dan akumulasi. Kadang ku menghibur diriku sendiri, betapa bara tetaplah bara, walaupun didalam hati. Dan konon bara itu dapat membuatmu setidaknya tersenyum miris. Mentertawakan mereka yang mengingatkan ketidakmampuan dirimu sendiri. Bila itu terjadi, maka aku sungguh senang menyambut senyum yang lama kunantikan. Setidaknya aku ingin tersenyum, ketimbang menunjukkan ekspresi datar dari orang-orang yang berada dalam kerumunan itu.
Foto oleh Alexei Titarenko.
2 komentar:
renungan yang mantap, bo...
gloom bloom.
Posting Komentar