Minggu, 27 Desember 2009

Fiksi: Mengenang Iqbal (Bag. 4 - Habis)

Mata Iqbal menerawang di ruangan itu. Lalu, seperti megap-megap. Sebentar-sebentar mulutnya terbuka lalu tertutup. Ia kepayahan, seperti kehabisan nafas. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun tidak sanggup untuk dikeluarkannya. Suaranya tidak jelas. Dudi mencoba menenangkannya.

“Sabar…Bal, sabar…,” Ia mengusap-usap lengan Iqbal. Sementara Iqbal meronta lemah memohon sebuah pertolongan. Sebuah pemandangan yang miris.

Saya bertanya kepada Ibunya yang ada di ruangan rawat itu. Ia hanya berkata, ‘sakit panas.’ Jawaban yang tidak memuaskan dan, bagiku, tidak masuk akal. Buat apa bila sekadar sakit panas, Iqbal harus menginap di rumah sakit sampai memasuki hari kelima. Satu lagi hal yang tidak masuk akal adalah keadaan tubuhnya yang seakan-akan menyusut dan kering kerontang itu. Semuanya hanya karena sakit panas.

Tiba-tiba Iqbal berkata kepadaku dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Ri, saya udah ga betah disini.”

Mendengar itu saya hanya bisa menenangkannya. Mengusap-usap lengannya,  seperti yang telah Dudi lakukankan sebelumnya. Sebenarnya saya tidak kuat melihat pemandangan seperti itu.

“Ri, Ga bisa kemana-mana. Saya udah ga betah. Ri, ayo kita maen keluar,” Berulang kali Iqbal berbicara seperti itu. Ia tidak mau diam.

“Kalem, Bal, sabar. Dirawat dulu aja, biar sembuh. Kalau udah sembuh baru kita maen bareng lagi,” kata saya seperti berbicara ke anak kecil.

Teman-teman yang lain diam mencerna peristiwa yang tidak biasa ini. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin sama dengan saya, kilasan-kilasan masa lalu kembali berkelibatan dalam pikiran teman-teman. Terlihat pada setiap mata mereka yang tertuju ke Iqbal yang meronta-ronta, namun tidak berdaya.

***
Malam begitu menghipnotis dengan segala kegelapannya. Lalu mencekam saat orang-orang di dalam rumah membaca ayat-ayat Quran. Perumahan dimana aku berada kini begitu padat. Sesak berdempet-dempetan. Begitu kumuh, dan didalam salah satu rumah itu, berbaring Iqbal yang ditutupi oleh kain kafan.

Dua hari setelah mengunjungi Iqbal di rumah sakit, Dudi meneleponku dan mengabarkan, bahwa Iqbal tidak tertolong lagi. Aku tidak terkejut mendengarnya, karena saat melihat kondisinya yang mengkhawatirkan di rumah sakit itu, aku sendiri mempunyai firasat, bahwa Ia akan menyusul Tanto. Firasatku ternyata benar. Namun, penyebab kematiannya masih menjadi misteri bagiku. Aku yakin Dudi dan Yudha mengetahui penyebabnya. Namun, mereka lebih memilih merahasiakannya.

“Gosipnya, sih, sama kaya si Tanto,” Jawab Matoy, ketika kutanyakan tentang penyebab sakit Iqbal, “tapi, ga tau juga.”

Ah, sudahlah. Aku memang tidak ingin tahu amat tentang apa penyebabnya. Malah, aku juga tidak begitu berminat untuk ikut duduk mengelilingi Iqbal di dalam rumahnya bersama yang lain. Aku dan Matoy lebih memilih duduk di teras. Merokok. Mendengar ayat Quran yang dibaca oleh orang-orang didalam. Merasakan malam yang dingin dan berupaya menepis pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran.   

“Tapi, sekalinya kita ngumpul lagi…cukup aneh juga, ya, suasananya,” Matoy berkata seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri. Ia menghisap rokoknya. Aku tidak merespon perkataannya.

Di sela-sela pembacaan ayat-ayat Quran yang terasa sendu pada malam itu, keheningan menyeruak bersama dengan angin malam yang berhembus pelan.
 
 

Tidak ada komentar: