Minggu, 27 Desember 2009

Fiksi: Mengenang Iqbal (Bag. 3)

Dari arah sebelah kanan kios terdengar suara knalpot motor yang memekakkan telinga. Teman-teman, seperti Yudha, Aryo, dan Adi, beranjak dari tempat duduk yang ada di sebelah kios. Melihat ke arah suara knalpot motor yang bising itu. Semakin dekat, suara knalpot sialan itu semakin memekakan telinga.

“Sialan. Bising amat tuh motor. Siapa? Anak-anak, bukan?” kata Aryo.

Kedua motor itu menghampiri kios dan berhenti tepat dihadapan kami. Keempat orang yang naik motor itu semuanya mengenakan helm full face, sehingga sulit untuk mengindentifikasikan siapa-siapa saja mereka itu. Hingga salah seorang yang mengendarai motor dengan knalpotnya yang super bising itu menanggalkan helmnya, terlihat wajah teman lama yang familiar: Eldhi. Disusul ketiga orang lainnya yang juga menanggalkan helmnya masing-masing. Terlihat, Dudi, Jaka dan…haha, ya, teman sebangku dulu: Matoy. Sialan, mereka semua berubah. Setidaknya dalam hal ukuran tubuh. Semuanya seakan-akan serba membesar. Terutama di bagian perut.

“Wey, edan. Koboy berkumpul! Hehe,” Eldhi berkata sambil menyalami anak-anak. Suasana tambah hangat, ketika mereka datang. Saling menanyakan kabar dan perubahan yang terjadi selama ini. Seperti menunaikan kekangenan yang lama terpendam.

Sekarang, berkumpullah semua sudah. Matoy, Eldhi, Dudi, Jaka, Yudha, Aryo dan Adi. Mereka adalah teman-teman terdekatku selama SMP dulu. Masa-masa segala gejolak berkecamuk. Kami tumbuh bersama disaat sedang ‘haus-hausnya’. Kami haus dengan hal-hal baru, haus akan hal-hal yang kami anggap aneh. Kami ingin mencoba segalanya. Mulut kami selalu mangap, menunggu tetesan demi tetesan air kehidupan mengalir lewat kerongkongan. Kasarnya, apa saja yang hinggap di mulut, niscaya akan kami telan sampai habis saat itu. Ya, kami ingin menjalani hidup dan ingin merasakannya hingga titik terjenuh.

Dimasa ingin menjalani hidup dan merasakannya hingga titik terjenuh itulah, salah seorang kawan, Tanto namanya, berbaring di kedalaman tanah kurang lebih lima meter di usianya yang masih sangat muda. Tanto meninggal karena sering mengkonsumsi putaw. Saat itu tahun 1999. Di tahun itu, putaw sedang sangat popular.

Tanto diketemukan di kamarnya oleh seorang adik kelas (entah siapa lupa namanya) tergeletak tidak bernyawa dengan mulut membusa. Padahal, saat itu kami baru lulus SMP. Kematiannya sungguh disayangkan. Semenjak kematiannya itu, Adi dan Yudha buru-buru bertobat. Di kelompok kami, mereka bertiga itulah yang memang sering mencoba-coba putaw. Sementara Saya, Eldhi, Dudi, Matoy, Aryo dan Jaka hanya berhenti pada ganja. Saya memang tidak pernah punya cukup uang untuk membeli putaw. Untuk menghisap ganja saja, seringkali saya patungan dengan anak-anak. Tiga ribu perak perorang. Tidak pernah membeli satu paket murni memakai uang sendiri. Terlalu mahal.

Seharusnya ada sepuluh orang bila kelompok kami utuh berkumpul. Namun, ya, itu tadi. Satu orang telah berbaring di dalam tanah dan Iqbal…semenjak dia dikeluarkan dari sekolah, kami kehilangan kontak. Beberapa bulan setelah Iqbal dikeluarkan, Ia memang masih sering berkunjung ke kios. Tetapi, kira-kira menginjak bulan keempat, Ia tidak pernah datang lagi ke kios. Ditelepon ke rumahnya pun, Ia malah seringkali tidak pulang ke rumah.

Sebenarnya ada sebuah peristiwa yang kembali menyatukan kami, sebuah alasan kenapa kami harus menginjakkan kaki kembali di kios ini. Entah bagaimana, tetapi aku merasa seperti ada kekuatan yang menarik semua kawan-kawan untuk kembali bertemu. Untuk sedikit meluangkan waktu ditengah padatnya aktivitas masing-masing. Peristiwa itu berkaitan dengan Iqbal. Kami akan menemuinya hari ini.

“Gimana, semua sudah berkumpul. Kita pergi sekarang?” Yudha berkata pada kami.

“Memang sekarang dia berada di Immanuel?” kata Adi.

“Ya, dapet kabarnya, sih, gitu. Kemaren pas nelepon ke rumahnya, gitu,” Dudi membalas.

“Siapa yang ngangkat telepon?” tanya Aryo.

“Kakaknya, gitu…ga, taulah. Suara cowok.”

“Emang sebenernya kenapa, sih, Iqbal?” Saya penasaran, karena kabar mengenai dirinya sungguh simpang siur. Saya hanya mendapat kabar, bahwa dia terbaring sakit kritis di rumah sakit. Namun, tidak ada penjelasan mengenai apa penyebabnya hingga Ia harus dirawat. Teman-teman juga sama tidak tahu.

“Entahlah, katanya sakit,” jawab Dudi dengan sikap yang terasa tidak biasa. 

Saya merasa ada yang disembunyikan.

“Ya, udahlah. Hayo kita cabut. Keburu Magrib!” kata Yudha.

(bersambung)

Tidak ada komentar: