Minggu, 27 Desember 2009

Fiksi: Mengenang Iqbal (bag. 1)

Sudah lama kami tidak berjumpa. Tiga tahun tidak terasa terlewat begitu saja semenjak kami berpencar dari bangku SMP dan sekarang, hari ini, semuanya berkumpul kembali. Masih tetap berkumpul di kios yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Kios dimana kami menghabiskan waktu, ketika pulang sekolah.

 “Pada kemana yang lain? Gimana, kita pergi sekarang aja?” Aryo bersuara dan membuat semua perhatianku dan teman-teman tertumpah padanya.

 “Sebentar, tunggu aja dulu. Masih pada di jalan,” Yudha menimpali.

Jalanan di depan kios sangat lengang, terlalu lengang malah. Hembusan angin sore mengingatkan kembali masa-masa menghabiskan waktu saat ku remaja di tempat itu. Sekolah yang menjemukan itu. Biasanya sepulang sekolah aku dan teman-teman langsung mendatangi kios ini. Merokok. Sesuatu yang kami anggap keren. Keren, karena ancamannya bukan main-main bila kepergok oleh guru. Bisa sampai di skorsing selama lima hari. Karena ancamannya yang tidak main-main itulah, bagi kami, merokok menjadi suatu kegiatan yang sekaligus mendebarkan. Kami merasa menantang bahaya. Merasa keren sebagai lelaki karena menantang bahaya dengan merokok sembunyi-sembunyi.

Konyol, memang. Tetapi itulah momen bagiku untuk dikenang. Dahulu, bila waktunya untuk istirahat di sekolah, aku dan seorang teman, Iqbal Anak Adam namanya, sering melarikan diri sejenak dari rutinitas sekolah yang membosankan dengan merokok sembunyi-sembunyi di toilet. Bila diisi oleh dua orang sekaligus, toilet itu begitu sumpek. Apalagi bila ada dua orang yang  merokok. Asap mengepul tebal dan membuat hawa menjadi semakin pengap. Namun, saat itu aku menikmati setiap kali berada di ruangan kumuh yang dipenuhi oleh coretan-coretan siswa lain yang tertera di dindingnya itu. Sekadar menikmati coretan-coretan di dinding toilet yang seringkali berisi tulisan-tulisan jorok dan konyol, ngobrol ngaler-ngidul dan merokok, sudah lebih dari cukup bagiku untuk tidak mengeluh dan menikmati apa yang terhampar dihadapan mata, walaupun memang ala kadarnya.
 

Begitulah. Toilet sekolah seakan-akan menjadi katarsis bagiku dan Iqbal. ‘Sarana pelepasan’ atas monoton dan menjemukannya rutinitas sekolah. Namun, disuatu masa saat kami duduk di kelas dua, ‘sarana pelepasan’ itu harus kami tinggalkan dengan perasaan terpaksa.

Ceritanya, ketika itu kami beres merokok. Saat aku membuka pintu toilet, begitu saja Wawan sudah berdiri dihadapan kami. Menyilangkan lengannya dan menatap angkuh. Sontak aku dan Iqbal kaget, tidak menyangka ada kehadiran orang lain di luar toilet, karena sebelumnya tidak terdengar ada gerak-gerik apapun.

“Lagi ngapain, Ri?” saya masih ingat Wawan bertanya seperti itu.

“Eh, abis kencing, Pak,” saya jawab. Gugup.

“Kencing berdua?” 

“Eu…eh, iya Pak, biar cepet, ga harus ngantri,” Iqbal menimpali. Gelisah.

“Terus, itu asap…asap apaan?” tanyanya lagi dengan menunjuk asap bekas rokok yang masih memenuhi toilet.

Pertanyaan ini benar-benar mematikan dan apapun jawabannya pasti akan terdengar bodoh, “Euh, ga tau, Pak.”

“Alah, banyak alesan. Ayo, sini, ikut ke kantor,”

Singkat cerita, aku dan Iqbal akhirnya terkena skorsing tidak boleh masuk sekolah selama lima hari. Bagi kami, masalah skorsing ini sebenarnya sepele. Bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan, karena, toh, kami akan menganggapnya sebagai liburan. Namun, keputusan skorsing itu menjadi masalah, ketika waktu pelaksanaannya bertepatan dengan praktek olah raga. Dimana, praktek olah raga itu akan mempengaruhi nilai akhir pelajaran olah raga kami selama caturwulan kesatu.

Saat mengetahui, bahwa keputusan skorsing mulai berlaku ketika praktek olah raga digelar, yaitu besok, kami setengah mati mencoba untuk membujuk Wawan agar tidak menghukum kami.

“Pak, ampun. Saya bakal berhenti ngerokok. Plis, Pak, jangan di skorsing. Besok kan ada praktek olah raga?!” Iqbal memelas.

Saya amini juga, “heeuh, Pak. Ga akan diulang-ulang lagi!”

Wawan - selain memegang pelajaran olah raga, sialnya merangkap juga sebagai ketua BK (Badan Konseling) - hanya tersenyum kecut mendengar permohonan kami. Sebuah permohonan, yang mungkin dianggapnya, hanya sebagai ocehan anak kecil yang setengah hati. Sebuah permohonan yang angin lalu, karena mungkin sebelum kami, ada banyak siswa lain yang juga memohon dengan kalimat yang sama persis seperti yang kami pakai, sehingga ia merasa, bahwa pada satu titik, tabiat kami – yang dianggapnya tidak taat aturan - akan kembali ke asalnya: melanggar kembali semua aturan yang ada. Sama seperti siswa bermasalah lainnya yang pernah ada sebelum kami.

“Alah, masalah praktek olah raga itu kan, kalian-kalian ini penyebabnya. Udah, sekarang jalanin aja hukumannya. Lagian, ini kan konsekuensi dari tindakan kalian yang melanggar peraturan sekolah,” jawabnya serasa yang terunggul, karena mendengar permohonan mentah yang keluar dari mulut kami.

“Tapi, Pak, nanti ga bisa lulus dong kalo ga ikut praktek. Ampun, Pak, jangan di skorsing. Saya nyesel ga akan diulang-ulang lagi!” saya tetap memaksa Wawan agar tidak menghukum kami.

“Iya, Pak, apapun deh bakal kita lakuin, asal ga di skorsing!” Iqbal menimpali.

Sekali lagi Wawan tersenyum sinis melihat kami memohon-mohon serasa patah arang. Bila aku bisa kembali lagi ke masa itu dan melihat bagaimana kelakuan kami ketika memohon-mohon seperti dua bocah bodoh, sangat mungkin bila aku pun akan ikut tersenyum sinis bersama Wawan. Bahkan, mungkin aku juga akan tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajah dua bocah bodoh yang sedang memelas itu.

“Ya, sudah. Ya, sudah. Masalah nilai, Bapak akan beri keringanan, asalkan kalian nanti bikin perjanjian tertulis yang isinya tidak akan mengulangi lagi kelakuan kalian yang suka ngerokok di WC itu dan ditandatangani oleh orang tua kalian,” ujar Wawan seolah-olah memberi sebuah solusi atas permohonan bodoh kami.

Saat mendengar jawaban Wawan itu kami begitu kegirangan dan mengucapkan terima kasih padanya, karena akhirnya bisa mengikuti praktek olah raga. Namun, kegirangan itu menjadi sesuatu yang mengganjal, ketika tidak lama kemudian Wawan melanjutkan kembali omongannya.

“Lalu, menyangkut masalah praktek olah raga…kalian tetap tidak boleh mengikutinya. Itu sudah final, hukuman harus tetap dijalankan,” Wawan diam dan melihat sambil menakar ekspresi kami terhadap ucapannya itu.

Tentu saja kami bingung dan masih mencerna apa yang baru disampaikannya. Lalu, Ia melanjutkan ucapannya, “sebagai gantinya kalian harus beli bola basket, voli sama bola sepak masing-masing sebuah. Untuk masalah surat pernyataan, harus orang tua kalian yang menyerahkannya pada Bapak. Bukan kalian. Ini sudah final, Bapak ga mau dengar komentar lagi dari kalian. Udah, sekarang masuk kelas!”

Diluar ruangan kami pasrah. “Mau gimana lagi, Ri. Udah susah dibujuk si Wawan,” kata Iqbal yang terlihat sudah malas memikirkan hukuman omong kosong macam itu.

Pada akhirnya, selama lima hari aku berdiam diri di rumah. Sesekali mendengarkan amarah dan protes orang tua tentang kelakuanku. Praktek olah raga pun tidak kami jalani. Untuk masalah hukuman, Wawan memberi kami waktu selama sepuluh hari untuk membeli bola voli, basket dan bola sepak. Lalu, masalah dana untuk pembelian peralatan olah raga itu, kami patungan dengan menyisihkan uang jajan masing-masing dan meminta sumbangan pada teman-teman. Seratus lima puluh ribu perak terkumpul waktu itu.  

(bersambung)

Tidak ada komentar: