Kamis, 03 Desember 2009

Sudah Saatnya Kami Bangkit Kembali Setelah Terlelap Sekian Lama

Mungkin sudah saatnya kami kembali bermusik. Kembali dengan alasan yang klise: untuk menghajar kebosanan. Mencari katarsis melalui mediasi amplifier dan volume maksimum. Untuk sebuah kehidupan, terlalu dangkal memang untuk berharap menemukan katarsis hanya dengan amplifier dan volume maksimum. Kuakui, seakan-akan mencari pelarian melalui musik, dalam titik tertentu, tidak akan membawamu kemana-mana, selain menuju kehampaan itu sendiri.

Apa yang kamu dapat setelah memainkan musik yang keras? Kamu kembali lagi ke rutinitasmu yang seperti biasanya. Kamu masuk lagi menuju sistem yang mendesainmu untuk patuh terhadapnya. Pemberontakan melalui nada, dan lirik, dalam satu titik, tak ubahnya seperti waktu jeda dalam rangkaian penghambaan tanpa akhir. Hanya sedikit jeda untuk meredakan ketegangan. Hanya memberimu sedikit ruang. Karena setelahnya, kamu harus masuk ke dalam sistem: (dipaksa) menghamba kepada mereka yang mempunyai alat produksi, agar dirimu bisa bertahan hidup.

Apalagi dalam kasusku, musik yang kami mainkan bukanlah barang dagangan yang laku, seperti band-band top 40 kacangan itu. musik kami adalah doom metal. Musik yang kampring, dan hanya bahan ejakulasi kami sendiri saja. Dengan kata lain, dagangan kami tidak laku. Kami tidak akan terkenal. Kami tidak akan menjadi terkenal dan menghasilkan banyak uang, seperti band-band kacangan yang biasa kamu liat di teve. Dengan begitu, maka otomatis kami tidak bisa menghidupi diri kami dari band ini. Dan tenaga-kerja kami hanya berguna, bila kami kembali lagi ke rutinitas kami: membuka koran untuk membaca rubrik lowongan kerja. Kami akan mati bila hanya menggantungkan diri pada band ini.

Bagaimana aku mencapai sebuah katarsis, membebaskan diri dari keterpaksaan ini, bila pola kehidupanku seperti demikian? Untuk mencari sebuah titik balik kehidupan, tidak cukup hanya dengan musik. Diperlukan sebuah gerakan nyata. Pergerakan yang ibaratnya benar-benar sanggup meruntuhkan wall street. Berkoar tentang kedamaian dan keadilan, tidak akan kemana-mana, bila hanya sebatas teriakan melalui microphone. Kita butuh merebut alat produksi. Menguasainya untuk kepentingan kita yang tak memiliki akses terhadapnya.

Tetapi, berbicara perebutan alat produksi…dimungkinkan bila adanya massa yang secara sadar dan aktif mengorganisasi dirinya masing-masing untuk sebuah perlawanan. Untuk hal ini, jalan menuju kehidupan alternatif memang memungkinkan, tetapi untuk menempuhnya merupakan sebuah perjalanan yang berat…lebih berat daripada perjalananku tempo hari ke Gunung Semeru. Pertama, berapa milyar orang yang hidup di planet ini? Berapa milyar perbedaan persepsi yang ada dibenak orang-orang yang hidup di planet ini?

Kedua, karena kehidupan didalam sistem itu sendiri dipenuhi oleh ilusi-ilusi yang membuat orang-orang didalamnya mandul. Terlalu banyak ilusi yang membuat kita berpikir dunia memang baik-baik saja. Terlalu banyak ilusi yang membuat pikiran ini dipasifkan oleh intensitas dunia kerja. Terlalu banyak ilusi yang membuat pikiran ini diselimuti kesombongan-kesombongan akan jabatan dan kekuasaan. Padahal, dalam sistem ini, kita yang tak memiliki alat produksi hanyalah boneka seksual kapitalis untuk kepentingan valorisasi dirinya sendiri.

Betapapun seorang manajer merasa aman dengan gajinya yang puluhan juta, tetap saja ia adalah seorang rapuh, seorang yang terasingkan dari kerjanya sendiri…dan bagian dari dirinya tak ubah hanya setengah saja dari baut sebuah rangkaian mesin besar. Dia tetap seseorang yang tenaga-kerja nya dihisap untuk kepentingan seseorang yang lebih besar diatasnya.

Dan dunia sempit yang kuhidupi ini…aku hanya membutuhkan sebuah alasan untuk tetap menghidupinya ditengah-tengah masifnya pemaksaan-pemaksaan yang ada. Dan sebuah alasan untuk hidup, adalah sebuah alasan dimana kamu menikmati setiap momen yang dijalani. Menganggapnya itu adalah sesuatu yang begitu berharga. Dan musik…adalah sesuatu yang kujalani dengan segenap kerelaan: sedih, maupun senang akan kujalani. Dan untuk sebuah alasan yang dapat menolongku untuk tetap bertahan dan sadar, aku rela menjalaninya…menjalaninya, walaupun seakan-akan, seperti hidup dengan penyangkalan-penyangkalan. Tetapi, sepertinya disitulah hasratku, walaupun disatu titik, bisa menjadi sebuah akhir yang nihilistik.

Tidak ada komentar: