Selasa, 06 September 2011

Ramadhan Tahun Ini

Secara personal, Ramadhan tahun ini terasa sedikit menenangkan bagiku. Bisa berada jauh dari rumah dan beraktivitas tanpa risau akan hal-hal mengenai pekerjaan yang belum kunjung didapat. Saban siang membaca buku Martin tentang Alan Badiou, nonton film sepuasnya dari laptop, ngobrol dengan saudara-saudara yang lama tak bersua, menghisap ganja sendirian di kamar pada malam hari, menunggu siaran bola Indonesia vs Iran bareng keluarga besar (berikut tidak jadi nonton, karena sinyalnya terganggu), bercanda dengan keponakan yang lucu-lucu. Semuanya terasa menyenangkan. Rumah almarhum Amih dan Apih di Tasikmalaya, tempatku tinggal selama Ramadhan, memang juara.


Berkunjung ke rumah di Tasikmalaya sudah seperti ritual yang wajib dilakukan setiap tahunnya bagi keluarga besar kami. Tanpa hadir ke Tasikmalaya setiap Ramadhan, rasa-rasanya seperti ada yang kosong saja. Entahlah, mungkin memang sudah faktor kebiasaan saja semenjak ‘kami’ kecil dulu. Selain itu, rumah almarhum nenek dan kakekku di Tasikmalaya itu juga bagiku selalu terasa nyaman. Rumahnya bergaya arsitektur jaman Belanda. Cukup besar ukurannya. Bahkan terdapat hingga dua puluh kamar kosan yang berjejer dari mulai bagian samping rumah hingga ke bagian belakangnya. Mungkin karena gaya arsitekturnya yang berasal dari jaman kolonial itulah mengapa rumah itu bisa nyaman. Biasanya rumah bergaya jadul seperti itu, hawa-hawanya selalu bikin adem. Walaupun siang hari terasa menyengat, tetapi bila berada di dalam rumah tetap saja terasa dingin. Entahlah, mungkin itu gara-gara pengaruh teknik membangun rumahnya. Tak tahu juga. 

Salah satu bagian dari rumah itu yang paling kusenangi adalah teras depannya. Sangat nikmat bila sore-sore kamu diam di teras depan rumah sambil menyeduh kopi dan berbicara apa saja dengan saudara lainnya sambil mata tertuju ke arah jalan raya yang ada di depan. Orang-orang lalu lalang, pedagang hilir-mudik, dan perempuan cantik kadang melenggang. Atau bila malam hari tiba, ketika jalanan kota sudah mulai sepi, dan keluargaku yang lain sudah terlelap tidur, aku menghisap ganja di teras itu. Mengambang lambat bersama asap herbal diantara senyapnya kota yang tertidur…

Aku teringat ucapan Mas Dede mengenai pengaruh hubungan kekeluargaan dan budaya mudik (pulang ke kampung halaman) di Indonesia ini bagi buruh-buruh. Dengan masih ‘ada’-nya hubungan kekeluargaan yang cukup mengikat, dan ikatan ini salah satunya tercermin dari budaya pulang ke kampung halaman setahun sekali, membuat kondisi buruh di Indonesia setidaknya lebih mending daripada kondisi buruh di sebagian besar daratan anglo-saxon sana. 

“Setidaknya kalau buruh-buruh itu dipecat, mereka punya tempat pelarian agar tidak menjadi depresi. Setidaknya memberi jeda atas rentetan masalah yang dihadapi. Ikatan keluarga yang masih kental cukup membantu dalam hal ini. Berbeda dengan orang-orang anglo-saxon yang ikatan keluarganya tidak seerat Indonesia. Rentan stress dan depresi bila ada buruh sana (Eropa) yang dipecat, karena tidak memiliki tempat pelarian, seperti kampung halaman dan ikatan keluarga yang kental,” katanya kepadaku suatu waktu.

Aku belum pernah ke luar Indonesia, dan sejauh ini belum merasakan seperti apa PHK itu. Bahkan akupun masih belum bekerja. Selain itu, ucapan Mas Dede mengenai kadar depresi antara buruh Eropa dan Indonesia terkait PHK dan ikatan keluarga itu pun perlu dibuktikan lebih lanjut kebenarannya. Hanya saja, ketika aku meninggalkan Tasikmalaya, dan berada kembali di Bandung, aku teringat ucapan temanku itu. Terutama mengenai pulang kampung yang memberikan jeda atas permasalahan yang sedang di hadapi. Kupikir memang terdapat perbedaan setibanya aku di Bandung: beberapa urusan menjadi terpikirkan kembali untuk segera di bereskan. Ini tidak seperti seminggu kemarin di Tasikmalaya, ketika berada di tempat dimana rasa-rasanya --- mengutip E.S Ito --- “tidak ada kemalangan, kesusahan, dan kesedihan."

Tidak ada komentar: