Sabtu, 24 November 2012

Menyedihkan



Seringkali asap ganja memenuhi kamar Roy yang redup dan pengap itu. Biasanya aku suka menghisap ganja dan berbicara apa saja di kamar Roy: mulai dari alasan, penyangkalan diri sendiri, melontarkan humor garing, atau sekadar melamun tak menentu karena efek ganja yang sudah semakin memberatkan. 

Dalam sebuah obrolan, Roy bercerita tentang seorang kawannya yang kini bekerja di Ibu Kota. Bercerita tentang bagaimana kehidupan kawannya itu semakin tak menentu setelah bekerja di sebuah firma hukum. Seringkali sehabis pulang kerja, teman Roy itu menenggak minuman keras, dan meniduri seorang pelacur. Menghabiskan uang-uangnya yang telah didapatkan dengan kerja seharian dan sebulan. “Edan,” kata temanku, Roy.

Mendengarnya, aku teringat saat pergi ke Ibu Kota dalam rangka pekerjaan. Setelah selesai bekerja, seseorang yang baru saja kukenal mengajakku ke sebuah tempat penari bugil. Kami menghabiskan malam di sana. Beberapa orang yang ikut dalam rombongan, bahkan ada yang meniduri pelacur di tempat penari bugil itu. Menghabiskan Rp 250.000, agar sperma bisa keluar.

Di tempat itu, kami mabuk parah. Di tengah perjalanan pulang ke tempat penginapan, beberapa kawan mulai muntah karena efek alkohol. Saat itu, kuingat, jam tiga subuh. Untunglah ada seseorang lainnya, yang juga baru kukenal, dengan sabar mengantarkan kami ke penginapan, dan mengurus mereka yang mabuk parah.…

Aku tertarik dengan alasan mengapa banyak orang yang bertindak seperti itu….
Salah satu jawaban yang ada di benakku adalah penat. Itu analisis gampangannya, dan sangat mudah untuk dirasakan oleh mereka yang bekerja, termasuk diriku. Setelah seharian, semingguan, sebulanan, tenaga diperas untuk bekerja. Seseorang butuh sesuatu untuk rileks…

Terlepas dari betapa menyedihkannya segepok uang yang didapat dengan kelelahan luar biasa, baik itu fisik maupun mental, menguap begitu saja.

***
Tetapi, bagi mereka yang berada di piramida teratas masyarakat, produktifitas perekonomian selayaknya Tuhan yang dipuja; barang dan jasa banyak yang diproduksi dan peredarannya di pasar terus meningkat. Kapital terus berakumulasi dengan putaran semakin mengencang, dan layaknya jantung, denyut nadi perekonomian terus berdetak.

Dengan demikian, ketakutan yang paling menakutkan tidak perlu terjadi, atau minimal bisa ditekan: pengangguran, kemiskinan, dan huru-hara yang menyertainya. 

Tetapi, dan tetapi, sebagaimana layaknya perekonomian, tidak ada yang gratis di dalamnya. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang ekspansif mengindikasikan semakin banyaknya kerja yang diperlukan, serta intensitas curahan kerja yang massif untuk menopangnya. 

Akhir-akhir ini, intensitas kerja yang dipersembahkan dalam altar pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah waktu yang impersonal. Bukan dirimu yang ada di altar tersebut, tetapi sebuah faktor produksi yang memiliki fungsi. Dia adalah sebuah ‘faktor’ dalam rangkaian produksi yang tunduk pada logika statistik yang dingin. 

Tidak ada yang menyenangi dirinya berakhir hanya sebagai sebuah unit dalam rangkaian proses produksi. Tidak ada yang menyenangi dirinya hilang dalam momen yang ‘dingin’ seperti itu. Setiap orang ingin aktualisasi, kesenangan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Dan di luar altar pertumbuhan ekonomi – di luar waktu kerja – seseorang akan mencarinya hingga titik penghabisan. 

Menyedihkan.

Banyak hal yang ingin ku obrolkan di kamar Roy saat itu, tetapi asap ganja sudah memenuhi otakku. Mengendurkannya, dan membuatku terbuai tenang…  Jalan berpikirku melambat, aku hanya bisa melongo tolol ke arah patung Bunda Maria yang terpampang di kamarnya. Asap ganja itu membuatku mengembara ke kekosongan pikiran….dan aku sudah tak memperdulikan lagi apa yang Roy obrolkan…

3 komentar:

Anonim mengatakan...

cerita yang udah banyak didenger :)

silumantulen mengatakan...

jadi udah tau gitu, maksudnya?

Iman Purnama mengatakan...

nggak gitu juga, bo. he he