Seringkali asap ganja memenuhi kamar Roy yang redup dan
pengap itu. Biasanya aku suka menghisap ganja dan berbicara apa saja di kamar
Roy: mulai dari alasan, penyangkalan diri sendiri, melontarkan humor garing,
atau sekadar melamun tak menentu karena efek ganja yang sudah semakin
memberatkan.
Dalam sebuah obrolan, Roy bercerita tentang seorang kawannya
yang kini bekerja di Ibu Kota. Bercerita tentang bagaimana kehidupan kawannya
itu semakin tak menentu setelah bekerja di sebuah firma hukum. Seringkali
sehabis pulang kerja, teman Roy itu menenggak minuman keras, dan meniduri
seorang pelacur. Menghabiskan uang-uangnya yang telah didapatkan dengan kerja
seharian dan sebulan. “Edan,” kata temanku, Roy.
Mendengarnya, aku teringat saat pergi ke Ibu Kota dalam
rangka pekerjaan. Setelah selesai bekerja, seseorang yang baru saja kukenal
mengajakku ke sebuah tempat penari bugil. Kami menghabiskan malam di sana. Beberapa
orang yang ikut dalam rombongan, bahkan ada yang meniduri pelacur di tempat
penari bugil itu. Menghabiskan Rp 250.000, agar sperma bisa keluar.
Di tempat itu, kami mabuk parah. Di tengah perjalanan pulang
ke tempat penginapan, beberapa kawan mulai muntah karena efek alkohol. Saat
itu, kuingat, jam tiga subuh. Untunglah ada seseorang lainnya, yang juga baru
kukenal, dengan sabar mengantarkan kami ke penginapan, dan mengurus mereka yang
mabuk parah.…
Aku tertarik dengan alasan mengapa banyak orang yang
bertindak seperti itu….
Salah satu jawaban yang ada di benakku adalah penat. Itu
analisis gampangannya, dan sangat mudah untuk dirasakan oleh mereka yang
bekerja, termasuk diriku. Setelah seharian, semingguan, sebulanan, tenaga
diperas untuk bekerja. Seseorang butuh sesuatu untuk rileks…
Terlepas dari betapa menyedihkannya segepok uang yang
didapat dengan kelelahan luar biasa, baik itu fisik maupun mental, menguap
begitu saja.
***
Tetapi, bagi mereka yang berada di piramida teratas masyarakat,
produktifitas perekonomian selayaknya Tuhan yang dipuja; barang dan jasa banyak
yang diproduksi dan peredarannya di pasar terus meningkat. Kapital terus berakumulasi dengan putaran semakin mengencang, dan layaknya jantung, denyut nadi perekonomian terus berdetak.
Dengan demikian, ketakutan yang paling menakutkan tidak perlu terjadi, atau minimal bisa ditekan: pengangguran, kemiskinan, dan huru-hara yang menyertainya.
Dengan demikian, ketakutan yang paling menakutkan tidak perlu terjadi, atau minimal bisa ditekan: pengangguran, kemiskinan, dan huru-hara yang menyertainya.
Tetapi, dan tetapi, sebagaimana layaknya perekonomian, tidak ada yang gratis di dalamnya. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang ekspansif mengindikasikan semakin banyaknya kerja yang diperlukan, serta intensitas curahan kerja yang massif untuk menopangnya.
Akhir-akhir ini, intensitas kerja yang dipersembahkan dalam altar pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah waktu yang impersonal. Bukan dirimu yang ada di altar tersebut, tetapi sebuah faktor produksi yang memiliki fungsi. Dia adalah sebuah ‘faktor’ dalam rangkaian produksi yang tunduk pada logika statistik yang dingin.
Tidak ada yang menyenangi dirinya berakhir hanya sebagai
sebuah unit dalam rangkaian proses produksi. Tidak ada yang menyenangi dirinya hilang dalam momen yang ‘dingin’ seperti itu. Setiap orang ingin
aktualisasi, kesenangan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Dan di luar altar pertumbuhan
ekonomi – di luar waktu kerja – seseorang akan mencarinya hingga titik
penghabisan.
Menyedihkan.
Banyak hal yang ingin ku obrolkan di kamar Roy saat itu,
tetapi asap ganja sudah memenuhi otakku. Mengendurkannya, dan membuatku terbuai
tenang… Jalan berpikirku melambat, aku
hanya bisa melongo tolol ke arah patung Bunda Maria yang terpampang di
kamarnya. Asap ganja itu membuatku mengembara ke kekosongan pikiran….dan aku
sudah tak memperdulikan lagi apa yang Roy obrolkan…
3 komentar:
cerita yang udah banyak didenger :)
jadi udah tau gitu, maksudnya?
nggak gitu juga, bo. he he
Posting Komentar