Aku ingat saat jaman SD. Dari siang hingga sore, sehabis
dari sekolah, mataku tidak pernah lepas dari layar kaca. Mataku terus
memelototi program musik dari Amerika yang disiarkan di salah satu TV nasional.
Aku teringat bagaimana begitu kecanduannya mata dan telinga
ini terhadap program musik itu. Apalagi, saat itu waktu penayangannya
seharian penuh. Setiap harinya, aku selalu berusaha agar tidak melewatkan
program-program musik tersebut. Telingaku tidak pernah lepas dari nada-nada
musik yang dilantunkan Bush, The President of The United States of
America, White Zombie, No Doubt, Oasis,
Guns and Roses, etc, etc, etc.
Saat ini, aku tidak pernah melihat lagi program musik
tersebut. Menginjak kuliah, program itu masih ada, tetapi waktu penayangannya
tidak seharian penuh seperti ketika ku masih SD. Pada beberapa waktu, ku ingat,
program musik itu hanya ditayangkan pada tengah malam saja. Isi acaranya pun,
menurut penilaianku, tidaklah sebagus masa-masa awal.
Bahkan sekarang, saat ku sudah lulus dari kuliah dan
bekerja, aku tidak pernah melihat lagi tayangan program musik itu. Apakah masih
ada atau memang sudah berhenti ditayangkan. Aku tidak tahu.
Hanya saja, aku ingat, dari kebiasaan menonton program musik
itu, aku mulai menabung uang jajan sekolah. Menabung antara Rp 2.000-Rp
3.000/hari. Dari hasil menabung itu, aku mulai membeli kaset di toko musik di
kotaku. Aku ingat kaset-kaset awal yang ku beli dari hasil menabung, seperti Pesta Alternatif (Kompilasi band-band
alternatif Indonesia), Pesta Rap (Kompilasi
grup-grup rap Indonesia), Dog Eat Dog,
Madball, Sepultura, Biohazard, Sick Of It All, etc, etc, etc.
Sebagian besar kaset yang kubeli saat itu memang bergenre
rock/metal. Aku menyenangi musik
hingar-bingar. Benar kata sebagian orang: musik cadas membangkitkan semangat
seseorang dan membuatnya melupakan sejenak setiap masalah. Itu sangat benar,
setidaknya bagiku.
Aku ingat, dari
kebiasaan membeli kaset-kaset cadas itu, aku memiliki hobi baru: headbanging sendirian di kamar. Aku
ingat ketika mendapatkan kaset Sepultura album
Roots Bloody Roots. Aku menutup pintu
kamar, kemudian memasukan kaset itu ke pemutarnya, dan menaikkan volume hingga
setengahnya. Begitu hingar bingar di dalam kamar itu. Aku pun headbanging. Berloncatan ke sana ke
mari, sambil berlagak seolah-olah diriku adalah Andreas Kisser¸ gitaris Sepultura.
Aku berlagak bermain gitar di depan ribuan penonton. Tentu
saja tidak ada gitar saat itu, dan juga penonton. Aku hanya berfantasi bahwa
aku memiliki gitar Gibson Les Paul, dan dielu-elukan oleh fans. Faktanya, yang
ku lakukan hanyalah bermain air guitar,
dan tanpa penonton. Kecuali poster-poster band yang terpampang di kamar, seperti
Guns N Roses, Ugly Kid Joe, dan Sepultura,
di mana para personelnya seolah-olah melihatku headbanging sendirian.
Berimajinasi.
Tapi, dari kebiasaan-kebiasaan itu, aku mulai
teradiksi oleh musik. Ia menjadi semacam altar bagiku. Tentu saja aku tidak
pernah mempraktikkan lagi headbanging di
kamar sendirian, kecuali di konser musik (dan itu pun sudah jarang).
Hanya saja, kembali lagi ke pernyataan sebagian orang (dan
yang kuyakini), bahwa musik bisa mentransformasikan emosi negatif, seolah-olah
mendetoksifikasi hal-hal yang berdampak buruk dan menentramkan pikiran-pikiran
yang paling semaput. Itulah yang kurasakan saat ini, semenjak ku berpikir
tetang musik sebagai altar pelarianku dari masalah-masalah yang paling
membebani dan tak logis sekalipun….ia adalah altar satu-satunya yang kumiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar