Senin, 24 Desember 2012

Music Is My Altar




Aku ingat saat jaman SD. Dari siang hingga sore, sehabis dari sekolah, mataku tidak pernah lepas dari layar kaca. Mataku terus memelototi program musik dari Amerika yang disiarkan di salah satu TV nasional. 

Aku teringat bagaimana begitu kecanduannya mata dan telinga ini terhadap program musik itu. Apalagi, saat itu waktu penayangannya seharian penuh. Setiap harinya, aku selalu berusaha agar tidak melewatkan program-program musik tersebut. Telingaku tidak pernah lepas dari nada-nada musik yang dilantunkan Bush, The President of The United States of America, White Zombie, No Doubt,  Oasis, Guns and Roses, etc, etc, etc. 


Saat ini, aku tidak pernah melihat lagi program musik tersebut. Menginjak kuliah, program itu masih ada, tetapi waktu penayangannya tidak seharian penuh seperti ketika ku masih SD. Pada beberapa waktu, ku ingat, program musik itu hanya ditayangkan pada tengah malam saja. Isi acaranya pun, menurut penilaianku, tidaklah sebagus masa-masa awal. 

Bahkan sekarang, saat ku sudah lulus dari kuliah dan bekerja, aku tidak pernah melihat lagi tayangan program musik itu. Apakah masih ada atau memang sudah berhenti ditayangkan. Aku tidak tahu. 

Hanya saja, aku ingat, dari kebiasaan menonton program musik itu, aku mulai menabung uang jajan sekolah. Menabung antara Rp 2.000-Rp 3.000/hari. Dari hasil menabung itu, aku mulai membeli kaset di toko musik di kotaku. Aku ingat kaset-kaset awal yang ku beli dari hasil menabung, seperti Pesta Alternatif (Kompilasi band-band alternatif Indonesia), Pesta Rap (Kompilasi grup-grup rap Indonesia), Dog Eat Dog, Madball, Sepultura, Biohazard, Sick Of It All, etc, etc, etc.

Sebagian besar kaset yang kubeli saat itu memang bergenre rock/metal.  Aku menyenangi musik hingar-bingar. Benar kata sebagian orang: musik cadas membangkitkan semangat seseorang dan membuatnya melupakan sejenak setiap masalah. Itu sangat benar, setidaknya bagiku.

Aku ingat, dari kebiasaan membeli kaset-kaset cadas itu, aku memiliki hobi baru: headbanging sendirian di kamar. Aku ingat ketika mendapatkan kaset Sepultura album Roots Bloody Roots. Aku menutup pintu kamar, kemudian memasukan kaset itu ke pemutarnya, dan menaikkan volume hingga setengahnya. Begitu hingar bingar di dalam kamar itu. Aku pun headbanging. Berloncatan ke sana ke mari, sambil berlagak seolah-olah diriku adalah Andreas Kisser¸ gitaris Sepultura

Aku berlagak bermain gitar di depan ribuan penonton. Tentu saja tidak ada gitar saat itu, dan juga penonton. Aku hanya berfantasi bahwa aku memiliki gitar Gibson Les Paul, dan dielu-elukan oleh fans. Faktanya, yang ku lakukan hanyalah bermain air guitar, dan tanpa penonton. Kecuali poster-poster band yang terpampang di kamar, seperti Guns N Roses, Ugly Kid Joe, dan Sepultura, di mana para personelnya seolah-olah melihatku headbanging sendirian. 

Berimajinasi. 

Tapi, dari kebiasaan-kebiasaan itu, aku mulai teradiksi oleh musik. Ia menjadi semacam altar bagiku. Tentu saja aku tidak pernah mempraktikkan lagi headbanging di kamar sendirian, kecuali di konser musik (dan itu pun sudah jarang). 

Hanya saja, kembali lagi ke pernyataan sebagian orang (dan yang kuyakini), bahwa musik bisa mentransformasikan emosi negatif, seolah-olah mendetoksifikasi hal-hal yang berdampak buruk dan menentramkan pikiran-pikiran yang paling semaput. Itulah yang kurasakan saat ini, semenjak ku berpikir tetang musik sebagai altar pelarianku dari masalah-masalah yang paling membebani dan tak logis sekalipun….ia adalah altar satu-satunya yang kumiliki.

Tidak ada komentar: