Seseorang pernah berkata, bahwa manusia dalam satu rangkaian hidupnya selalu mengalami keterlemparan keluar dari dunia yang dia diami. Dalam keterlemparan itu manusia akan berhadapan dengan sesuatu yang disebut 'ada'. Lalu orang itu berkata lagi, bahwa ketika sang manusia berhadapan dengan apa yang disebut 'ada', maka manusia sebenarnya mengalami sebuah momentum yang otentik dalam periode hidupnya. Otentik disebabkan manusia berhadapan dengan dirinya sendiri yang substansial, yang bergulat dengan perihal menyangkut pengalaman eksistensial. Dalam hal ini, 'ada' konon menyingkapkan dirinya sendiri kepada manusia.
Secara contoh konkrit, pengalaman keterlemparan itu bisa diartikan, ketika dalam kesibukan sehari-hari, tiba-tiba ada suatu jeda...suatu momen dimana kamu mulai diam, tercenung, dan mempertanyakan apa yang sebenarnya kamu lakukan: kenapa saya melakukan ini? kenapa saya ada disini? siapa saya? dsb, dsb.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keberadaan diri itulah, maka konon, pengalaman keterlemparan diartikan juga sebagai bergulat dengan pengalaman yang bersifat eksistensial. Pengalaman yang menyangkut keberadaan diri di dunia dengan cara yang lebih reflektif dan substansial. Tetapi, karena sifatnya yang bergulat dengan pengalaman eksistensial itu, sang manusia tidak akan kuat berlama-lama berkutat dalam momen keterlemparan. Sang manusia ingin melupakan kenyataan dirinya, maupun pertanyaan-pertanyaan seputar keberadaannya dalam tataran reflektif. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanyalah sumber kegelisahan dan keresahan. Sang manusia tidak ingin terus-menerus selama satu hari penuh dilanda keresahan. Oleh sebab itu, sang manusia lebih memilih mengerjakan hal yang lainnya, daripada tercenung memikirkan siapa dirinya sebenarnya, dan kenapa dia bisa tiba-tiba sampai di dunia yang ga jelas kaya gini. 'Bisa gila', kalau kata bahasa gaul sekarang.
Dalam memilih untuk menghindar dari keterlemparan, sang manusia kembali kedalam keseharian. Sebuah aktivitas dimana dia bergerak selayaknya pola yang biasa dijalani. Sang manusia bekerja, bercanda dengan teman-teman kantor, jalan-jalan bersama orang terdekat sambil membicarakan apa saja: mulai dari nanya udah makan apa belum, sampai ngobrolin film yang baru saja ditonton bareng. Sang manusia larut dalam kesehariannya.
Tapi, momen keterlemparan ibarat milisi yang jago gerilya. Tiba-tiba saja dia bisa menyergap, dan seolah-olah membuat beku dinamika keseharian. Kesepian, kesunyian, dan pertanyaan-pertanyaan dingin seputar kenyataan eksistensial menyeruak. Kembali, sang ajudan keterlemparan semacam kegelisahan dan keresahan ikut juga memeluk dari belakang.
Konon antara momen keterlemparan dan keseharian selalu terjadi ketegangan. Dalam satu sisi, keduanya begitu kontras satu sama lain. Di sisi yang lainnya, kedua-duanya begitu diperlukan oleh sang manusia. Sang manusia begitu berhasrat untuk mengetahui dirinya secara eksistensial, tetapi 'ada' tidak menyingkapkan diri ketika manusia larut dalam kesehariannya. Keseharian membuat manusia terasing dari pemikiran-pemikiran eksistensial, karena dalam keseharian, sang manusia disibukkan oleh berbagai urusannya. Sedangkan 'Ada' itu sendiri menyingkapkan dirinya, disaat-saat kesunyian dan terisolasi dari manusia lainnya. Di titik ini juga terjadi kontradiksi, karena sang manusia tidak bisa terus-terusan terisolasi dari dunia luar. Bila terus terisolasi terus-menerus, sang manusia akan stress. Manusia butuh juga berinteraksi.
Dari keadaan ini, manusia seperti, mengutip Francisco Budi Hardiman, "menyembul dan membenamkan diri dalam keseharian, menemukan 'ada'-nya dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar