Kamis, 29 Juli 2010

Relasi Media Massa dan Iklan (Studi Kasus Disney)

"The final buyer choice is only one link in a longer commodity chain of which the most important for the newspaper and television industries is the purchase of media space or time by advertisers in order to get access to media consumers"
- Mike Wayne -


Bagi kita yang terbiasa berhadapan dengan sajian informasi dari media massa cetak atau elektronik, pasti sudah familiar dengan perdebatan seputar tayangan-tayangan di tivi yang konon tak penting, tapi nyatanya tayangan itu tetap hadir, bahkan terus bertambah jumlahnya.
Sebutlah tayangan-tayangan yang sempat diperdebatkan itu seperti tayangan yang bertema mistis, reality show, sinetron, hingga program semacam gosip selebritis.

Secara garis besar, perdebatan yang terjadi itu berpusat pada masalah efek dari tayangan yang disajikan. Beberapa pihak, terutama dari pihak audiens, protes dengan pilihan etikanya sendiri mengenai efek tayangan tersebut. Ada yang mengaitkannya dengan pengaruh terhadap akhlak, psikologis perkembangan mental individu, hingga ketidaksesuaian dengan nilai-nilai ketimuran.
Lalu ada juga yang berargumentasi mengenai tayangan-tayangan tak penting itu sebagai tanda jatuhnya kepedulian terhadap kepentingan publik. Hal itu ditandai dengan mutu tayangan yang tidak mendidik. Hanya tertarik terhadap keuntungan semata, dengan mengabaikan kualitas isi tayangan.

Argumentasi-argumentasi dari pihak audiens itu diperlawankan lagi dengan argumentasi dari pihak produser program yang bersangkutan, sehingga membuat perdebatan semakin kompleks. Pihak produser memiliki 'bukti'-nya sendiri mengenai kenapa tayangan-tayangan yang diprotes oleh pihak audiens tetap dipertahankan, bahkan terus diproduksi, dan direproduksi. Mereka (produser) bersikukuh dengan mengasongkan
segomplok data penelitian mengenai bagaimana audiens menggemari tayangan-tayangan tersebut. Dalam gomplokan data itu ada semacam persentase, bahwa acara yang bertemakan reality show, mistis, atau sinetron, memang tinggi. Hal itu berarti, bahwa masyarakat sebagian besar menyukainya. Dan oleh sebab itu, media massa sebagai "cermin kebutuhan masyarakat", akan terus menayangkannya.

Kalau sudah begini, seolah-olah keluhan pihak audiens jadi tidak relevan. Bagaimana mereka (audiens) bisa menyebut sebuah tayangan tidak bermutu, dan tidak mendidik, sementara survey penelitian menunjukkan justru tayangan seperti inilah yang paling digemari oleh audiens? Jangan-jangan audiens yang berkeluh kesah itu hanya segelintir orang saja? Dan segelintir tentu saja tidak sama dengan sebagian besar. Oleh sebab itu, media massa sebagai saluran yang "mengakomodasi kebutuhan masyarakat", akan memilih sebagian besar, alih-alih segelintir.

Namun demikian, biarpun suatu tayangan digemari atau tidak digemari oleh masyarakat, tetapi kebutuhan masyarakat bukanlah yang pertama-tama dipikirkan oleh industri media massa yang berada dalam mode produksi kapitalisme. Melainkan bagaimana mengundang para pengiklan sebanyak-banyaknya. Alasannya simpel saja, dan sangat ekonomis: ongkos produksi tidak mungkin tertutupi, tanpa kehadiran pengiklan. Jadi alasan yang diajukan pihak produser yang membawa-bawa persentase audiens serta membawa-bawa argumen media sebagai cerminan kebutuhan masyarakat patut dicurigai. Bagaimanapun balik modal adalah perkara yang sakral dalam kapitalisme. Apalagi bikin program tivi yang ongkos produksinya besar dibawah kapitalisme. Tentu saja tidak mau rugi. Tanpa balik modal, perusahaan tidak bakal selamat, karena tuntutan persaingan yang ketat sebagai dampak dari gerak kapitalisme. Dalam hal ini, iklan adalah sumber pemasukan yang berpengaruh besar bagi sebuah perusahaan media massa agar bisa terus berada dalam proses akumulasi kapital.

Audiens tidak bisa menyelamatkan stasiun televisi swasta hanya dengan duduk di depan tivi sambil menonton program tivi kesayangannya. Tidak. Kecuali ada pengiklan yang juga "melihat" audiens itu menonton.

Relasi Media Massa dengan Iklan

Terkait isu relasi antara industri media massa dan iklan ini, Mike Wyne dalam
salah satu bab di bukunya "Marxism and Media Studies, Key Concept and Contemporary Trends", memaparkan tentang bagaimana korporasi media massa lebih memerioritaskan pengiklan ketimbang masyarakat. Mike Wayne melakukan sebuah studi kasus, mengenai suatu program tayangan tivi yang dipasang dalam waktu siaran utama (prime time). Program tayangan tersebut secara statistik tidak memiliki persentasi audiens yang besar. Tetapi, justru minat pengiklan yang masuk lebih besar ketimbang persentasi audiens yang menonton program tersebut. Hal ini membuat program siaran sebelumnya, yang jelas-jelas secara persentase memiliki jumlah audiens lebih besar daripada aliran iklan yang masuk, harus dihentikan tayangannya.

Untuk menggambarkan bagaimana media massa "takluk" terhadap iklan itu, Wayne mengambil contoh kongkrit mengenai intervensi yang dilakukan oleh Disney, sebuah perusahaan yang bergerak dalam sektor perfilman dan pertelevisian di
Amerika Serikat (AS). Intervensi Disney itu dilakukan sekitar tahun 2001 terhadap anak perusahaannya, yakni stasiun tivi berita ABC.

Sekitar tahun 2001, marjin profit yang diperoleh oleh divisi iklan stasiun ABC menurun hingga $ 566 juta. Jumlah sekian sepertinya terlihat besar. Tetapi jumlah itu sebenarnya belum seberapa dibandingkan keseluruhan pemasukan yang diterima stasiun ABC per tahunnya. Wayne mencatat, bila dihitung secara total, pada tahun 2001 pemasukan stasiun ABC berjumlah $ 5,7 miliar. Turun dari $ 6,2 miliar pada keseluruhan pemasukan tahun sebelumnya (Mike Wayne: 2003, 77).

Namun demikian, Michael Eisner, yang saat itu menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Disney, melakukan pembenahan manajemen dengan mengganti program tayangan bertajuk "Nightline". Sebuah program talkshow yang fokus terhadap isu-isu politik nasional di AS. Program "Nightline" ini telah siaran di waktu siaran utama (
prime time) selama dua puluh tahun. Tetapi, disebabkan oleh kebutuhan untuk meningkatkan kembali marjin profit stasiun ABC, program "Nightline" lantas diganti dengan program bertema bincang-bincang selebriti bertajuk "the Late Show".

Hal yang menarik dicermati dari penggantian program tayangan itu adalah, ketika melihat statistik minat audiens terhadap kedua acara tersebut. Program "Nightline" yang dipandu oleh Ted Koppel itu memiliki 5,6 juta pemirsa. Sedangkan audiens program "the Late Show" sebanyak 4,7 juta pemirsa (Mike Wayne: 2003, 78). Bila mengikuti logika yang seringkali dilontarkan oleh pihak produser suatu media massa mengenai "pemenuhan kebutuhan masyarakat" dalam mempertahankan sebuah program, tentunya program "Nightline" itu sesuai. Setidaknya dilihat dari tingkat audiens yang menontonnya. Tetapi mengapa dalam kasus Disney tersebut, program yang memiliki tingkat audiens yang tinggi itu tetap diganti juga?

Ternyata permasalahannya terletak di segmentasi umur audiens kedua program tersebut dan sasaran konsumen dari pengiklan itu sendiri. Rata-rata umur audiens yang menonton program "Nightline" berkisar 50 tahun. Sedangkan untuk umur audiens program "the Late Show" berada pada kisaran 46 tahun (Mike Wayne: 2003, 78). Perbedaan umur audiens itu ternyata menjadi penting, khususnya bila berhadapan dengan sasaran konsumen yang diburu oleh pengiklan. Dalam studi kasus yang dipaparkan oleh Wayne, aliran iklan yang besar ternyata mengalir ke program yang audiensnya berumur rata-rata 46 tahun, dibanding ke program yang rata-rata umur audiensnya 50 tahun. Iklan yang pangsa pasarnya adalah konsumen yang berumur rata-rata 40 tahun secara kuantitas ternyata lebih banyak, daripada iklan yang pangsa pasarnya adalah konsumen yang berumur rata-rata 50 tahun. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa program “Nightline” harus didepak dan diganti dengan program “the Late Show”. Ternyata ada untung dibalik segmentasi audiens.

Dari studi kasus di atas, kita dapat melihat secuil fenomena tentang bagaimana praktik media massa tidak selamanya bertujuan mulia demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Tetapi tuntutan balik modal yang diprioritaskan. Dampaknya, berkaca pada kasus Disney, kita melihat bagaimana program yang concern terhadap kepentingan publik harus didepak dan digantikan dengan acara remeh-temeh yang berkutat diseputar kehidupan orang-orang elit yang memiliki privilese tertentu, namun tidak bersangkut paut dengan kepentingan publik yang lebih luas. Semuanya dilakukan hanya untuk menaikan marjin profit perusahaan.

Media Massa Didalam Mode Produksi Kapitalisme

Studi kasus yang dilakukan oleh Wayne itu dilakukan di AS. Negara yang jauh jaraknya dari kita di Indonesia. Secara kultural pun antara AS dan Indonesia tentunya jauh berbeda. Tetapi dari perbedaan itu, ada persamaan yang dimiliki antara Indonesia dengan AS. Persamaan itu, yakni keduanya sama-sama terintegrasi dalam sistem perekonomian kapitalisme global. Dengan begitu, ada kesamaan cara berpikir di masyarakat agar bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya. Dalam mode produksi kapitalisme, penting untuk dijaga agar modal dapat terus diputar. Hal itu dilakukan agar suatu usaha dapat bertahan di tengah ketatnya kompetisi yang menjadi salah satu ekses kapitalisme. Selain juga untuk melebarkan sayap dalam memperbesar kekuasaan demi menjaga arus modal agar tidak terganggu atau tetap stabil nantinya. Namun masalahnya, ketergantungan terhadap modal dalam mode produksi kapitalisme itu melibas setiap hal yang bersifat kualitatif dan mengabstraksikannya menjadi sesuatu yang bersifat kuantitatif semata. Hal ini sangat jelas terjadi diberbagai sektor kehidupan. Dalam kasus program-program media massa, telinga kita sudah jengah mendengar, membaca, atau melihat mutu siaran yang sangat tidak mendidik. Tetapi nyatanya program-program tersebut tetap ada bahkan semakin banyak. Hanya karena program-program itu menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi media massa yang bersangkutan.

Di sini penting untuk ditekankan mengenai keterlibatan audiens dalam hal memajukan dunia media massa, khususnya di Indonesia. Masalahnya, audiens adalah pihak yang tidak memiliki keistimewaan dalam hal produksi komoditi media massa, disebabkan oleh alat-alat produksinya yang mahal serta kompleksitas proses produksinya. Namun demikian, audiens setiap harinya selalu dibombardir oleh berbagai informasi yang keluar dari media massa. Selain itu, audiens juga dimanfaatkan sebagai faktor yang bisa mengatrol tingkat iklan yang masuk ke media massa yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, penulis merasakan pentingnya partisipasi audiens minimal dalam memahami realitas ekonomi-politik Indonesia yang bercorak kapitalisme dan memberi pengaruh terhadap praktik media massa saat ini. Dengan harapan, nantinya akan tumbuh kelompok-kelompok masyarakat kritis yang memiliki kepedulian dan tergerak untuk berkontribusi dalam membentuk dunia media massa di Indonesia agar bisa berjalan lebih baik. Dalam artian, berpartisipasi membentuk praktik media massa yang tidak mengorbankan hak masyarakat untuk mengonsumsi informasi yang berkualitas dan mencerahkan. Bagaimanapun, sesuai fitrahnya, media massa hadir untuk kepentingan masyarakat. Bukan segelintir pemegang saham yang hanya peduli kekayaannya sendiri saja.


Tidak ada komentar: