Selasa, 19 Oktober 2010

Tentang, ehm, "Bermusik Alternatif"

"In music the passions enjoy themselves"
(Friedrich Nietzche)

"Hak-milik perseorangan pekerja atas alat-alat produksinya merupakan landasan industri berskala-kecil, dan industri berskala kecil merupakan suatu kondisi keharusan bagi perkembangan produksi masyarakat dan individualitas bebas dari pekerja itu sendiri."
(Karl Marx)



Mungkin, bila dipikir-pikir lagi, bermusik saat ini bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan relatif lebih mudah. Maksudnya, bila kita lihat berbagai macam kecanggihan software yang ada sekarang, misalnya; mulai dari software untuk membuat sampul cd, memperbanyak cd, hingga software untuk merekam lagu yang kita buat. Lalu melihat juga sarana upload maupun download yang tersebar di dunia maya, sepertinya jalur untuk memproduksi karya musik semakin mudah. Software-software serta sarana di dunia maya itu sepertinya telah membuat hambatan produksi hingga distribusi karya musik menjadi lebih ringan.

Berbeda dengan tahun-tahun terdahulu. Tahun-tahun sebelum pertengahan 90an, ketika dunia digital belum menyentuh banyak kalangan. Bermusik masih merupakan sesuatu yang dipandang mewah. Mungkin bila kita ingin serius bermusik di era itu, yang terpikirkan dalam benak, biasanya adalah masalah merekam lagu. Kebanyakan mereka yang hidup di era itu pasti tidak membayangkan akan ada suatu alat yang memungkinkan seorang musisi untuk bisa memproduksi lagunya sendiri dan menyebarkan kepada khalayak dengan sendiri pula. Oleh sebab itu, mengapa hingga pertengahan 90'an, industri rekaman komersial dipandang sebagai kebutuhan bagi mereka yang memiliki hasrat untuk bermusik; karena industri rekamanlah pihak yang memiliki kemampuan untuk masalah produksi dan distribusi. Selain itu, cara kerja industri musik yang khas kapitalisme juga menawarkan sebuah tawaran yang menggiurkan: yakni kekayaan dari hasil profit penjualan sebuah album (bagaimanapun juga, porsi kekayaan yang didapat sang musisi masih jauh lebih kecil daripada kekayaan yang masuk ke pihak industri rekaman itu).

Namun, sekarang sepertinya sudah berbeda. Kita bisa melihat akhir-akhir ini begitu berlimpah musisi-musisi yang memproduksi karyanya dengan usaha sendiri. Sebutlah, mulai dari Sindentosca, Kekal, Koil, Bongripper, dan lain-lain. Kualitas rekaman dari band yang berusaha sendiri itu pun tidak buruk-buruk amat. Malah bisa dikatakan sangat baik untuk sesuatu yang diusahakan sendiri. Lalu, untuk masalah distribusi pun setidaknya mereka bisa atasi sendiri. Mereka bisa mengopi karya kedalam cd dengan mudah, dan juga mencetak sampul albumnya dengan usaha sendiri, lalu menyebarkannya ke khalayak. Walaupun, misalnya ada juga  diantara band-band independen itu tidak mengeluarkan bentuk fisik berupa cd karena masalah pendanaan misalnya, tetapi mereka masih bisa menyebarkan versi mp3nya di dunia maya (dan terkadang, menjadi dikenal karenanya). Mereka bisa menyebarkan lagunya yang berbentuk mp3 sekaligus sampul albumnya yang berbentuk file semacam jpeg. Cara seperti itu relatif meminimalkan biaya produksi serendah-rendahnya bagi musisi/band yang bersangkutan.

Selain itu, di dunia maya sendiri, banyak situs-situs yang memuat fitur untuk mengupload dan mendownload sebuah lagu. Belum lagi situs-situs berbasis komunitas, khususnya komunitas musik, yang juga menyediakan review dan download sebuah karya lagu. Hal seperti itu juga membuat distribusi musik menjadi lebih ringan.

Musisi didalam Industri Musik
Diatas segala kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh software-software itu, ada satu hal yang penting, yakni hubungan antara musisi dan produser sebagai agen industri rekaman. Ketika seorang musisi atau band memutuskan untuk merilis karyanya sendiri, maka hubungan antara musisi dan produser menghilang. Mungkin bisa dibilang juga, itu berarti hubungan ketergantungan antara musisi kepada industri rekaman komersial menjadi hilang. Sebelumnya, hubungan antara musisi dan produser industri musik ini merupakan hubungan yang esensial sekaligus 'panas' dalam sebuah proses bermusik. Khususnya dalam konteks industri musik yang berbasiskan kapitalisme.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, ketika produksi dan distribusi masih menjadi hambatan yang besar bagi musisi dalam berkarya saat itu, maka bergabung dengan industri rekaman komersial menjadi pilihan utama. Seketika pilihan ditetapkan oleh musisi untuk bergabung kedalam industri rekaman, maka ada beberapa konsekuensi yang harus diterima. Konsekuensi itu diantaranya, dan yang paling 'panas', adalah masalah yang biasa disebut 'kompromi' antara keinginan musisi dan industri rekaman yang berbasiskan kapitalisme. Seperti yang sudah diketahui oleh khalayak, industri rekaman di era kapitalisme tidak semata-mata bermurah hati memproduksi dan mendistribusikan sebuah karya lagu dari suatu musisi/band saja, tetapi juga berusaha meraih laba. Dan meraih laba ini diambil dari komponen variabelnya, yaitu dari curahan kerja para musisi yang direkrutnya, dan juga curahan kerja pihak yang berada di sektor-sektor lainnya, seperti sektor packaging dan distribusi. Musisi itu menjadi sekadar 'alat' bersama-sama dengan pekerja di sektor lainnya, menjadi kendaraan untuk mengatasi pencarian laba.

Khusus untuk curahan kerja pihak musisi, pihak industri biasanya memberi jatah sekian jam bagi band untuk merampungkan karyanya, yakni dengan memberi jatah sekian jam untuk bisa merekam lagu. Oleh karena itu, tekanan waktu rekaman bisa menjadi hal yang frustratif baik bagi musisi, dan produser pihak rekaman. Di satu sisi, dalam sekian jam sang musisi dituntut untuk bisa merampungkan karyanya sekaligus memutar otak bila ternyata ada lagu yang harus dirombak atas permintaan produser, di sisi yang lain, produser pun harus mempertimbangkan lagu yang bisa dijual dan tekanan batas-waktu yang ada untuk merampungkan karya tersebut. Dari kondisi itu, kita akan melihat ada dua kepentingan yang bertolak bertolak belakang, namun selalu bersatu dalam ketegangan-ketegangan di dalam sebuah proses pembentukan komoditi; disatu sisi kita akan melihat musisi yang berurusan dengan karyanya, yakni membuat lagu, dan kita juga akan melihat bagaimana produser mempertimbangkan karya musisi itu tidak semata-mata demi kualitas musik semata, tetapi juga untuk tujuan nilai-tukarnya di pasaran.

Dalam hal mempertimbangkan lagu inilah seringkali musisi harus mengalah kepada produser. Bagaimanapun juga, yang memiliki kuasa tentunya adalah industri rekaman yang telah membiayai ongkos produksi dan distribusi para musisi itu (sekaligus merubah musisi itu menjadi alat utamanya dalam skema pencarian laba). Belum lagi tekanan-tekanan seperti target penjualan sebuah album yang harus dipenuhi oleh musisi/band tersebut bila mereka ingin terus bertahan di perusahaan rekaman itu. Oleh sebab itu juga mengapa bergabung dengan industri rekaman berbasis kapitalisme memiliki konsekuensi berupa tidak bebasnya para musisi untuk berkreatifitas. Pertentangan-pertentangan kepentingan seperti itu biasanya 'memanasi' proses kreativitas sebuah musisi dalam industri musik.

Menghindari Keterasingan Dengan Menjadi Produser Independen
Hubungan-hubungan yang selalu berada dalam ketegangan seperti itu, dan dalam banyak kasus, seringkali membuat banyak musisi/band harus mengalah, sepertinya tidak ditemui, ketika sebuah musisi/band memutuskan merilis karyanya sendiri melalui sarana-sarana produksi dan distribusi bermusik yang mudah didapatkan akhir-akhir ini. Tidak ada tekanan waktu akibat ketegangan dengan kepentingan nilai-tukar, bila si musisi/band merekam karyanya melalui software semacam cube. Bahkan, bila misalnya musisi/band bersangkutan memutuskan untuk tidak merekam sendiri melalui software, melainkan memutuskan untuk merekam di studio tertentu dengan biaya sendiri, tekanan yang ada juga bukan dalam konteks pertentangan dengan kepentingan penjualan seperti yang ada dalam industri musik komersial itu. Melainkan sekadar tekanan batas waktu yang tersedia sesuai dengan kemampuan finansial si musisi/band tersebut dalam menyediakan waktu untuk merekam karya mereka di studio.

Lalu untuk masalah distribusi pun, saat ini sudah banyak tersedia situs-situs komunitas musik di internet yang menyediakan review sebuah karya musisi, dan sarana untuk mengunduh karya-karyanya tersebut. Atau bila tidak menyebarkannya melalui internet, sang musisi/band bisa membuat albumnya sendiri dengan menyediakan kepingan cd sendiri dan mencetak kovernya dengan swadaya pula. Bahan baku untuk membuat cd seperti itu saat ini bisa didapatkan dengan mudah.

Bila dulu, sebelum kemudahan yang dibawa akibat perkembangan digital hadir, salah satu pikiran kenapa sang musisi ingin bergabung dalam industri rekaman komersial adalah, bahwa industri rekaman itu sanggup untuk menyebarkan karya mereka seluas mungkin. Maka, sepertinya dengan perkembangan teknologi distribusi musik yang mudah didapatkan seperti sekarang juga sanggup untuk membuat pola distribusi musik seperti layaknya yang pernah dilakukan oleh industri rekaman itu. Dalam artian tersebar ke khalayak luas, asalkan kita mengetahui tempat yang tepat, dan memiliki relasi dalam komunitas-komunitas tertentu.

Intinya adalah, dengan adanya kemudahan teknologi produksi dan distribusi musik sekarang ini, menurut saya, memungkinkan seorang musisi/band menjadi seorang produser independen. Seseorang yang memiliki bahan baku dan alat produksinya sendiri. Dan dengan begitu, seseorang yang bisa menjalani dan mengetahui keseluruhan proses berkarya mereka mulai dari pembuatan lagu, pengemasan lagu, hingga distribusi lagu.

Mungkin menjalani keseluruhan proses itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama, ketimbang ketika kita menyerahkan urusan produksi dan distribusi itu kepada pihak industri rekaman. Bila ditangani oleh pihak industri rekaman, semua proses itu memang bisa dipersingkat, bahkan kuantitas karya yang dihasilkan juga bisa lebih besar. Tetapi intinya bukan masalah cepat-lambat atau kecil-besar. Intinya adalah bagaimana kita tidak menjadi suatu alat belaka yang bisa ditunggangi untuk kerakusan orang lain akan laba. Dengan menghindarkan diri menjadi hanya sekadar alat dalam cara kerja industri rekaman berbasiskan kapitalisme, berarti juga berusaha untuk meminimalisir keterasingan dalam berkarya. Keterasingan seperti, salah satunya adalah, ketika sebuah karya tiba-tiba saja harus dirombak total, karena bukan demi kualitas musik itu sendiri, tetapi pertimbangan abstrak yang seringkali diterjemahkan dengan nama: kepentingan pasar. Sedangkan musisi tidak mempunyai kuasa untuk menolak masukannya itu, karena seketika karya itu nantinya dikemas untuk dijual, karya itu bukan menjadi milik mereka seutuhnya, tetapi juga industri rekaman yang telah bermurah hati "membantu" mereka berkarya.

Atau keterasingan, ketika seseorang disekat-sekat dalam pembagian kerja yang memotong-motong "roh" mereka dalam sebuah hubungan sosial, sehingga nampak tidak berhubungan satu sama lainnya. Musisi hanya tahu beberapa hal: membuat musik dan merombaknya atas permintaan produser (bukan diri musisi sendiri), pergi ke sana atau ke sini untuk urusan tur. Untuk urusan pengemasan, distribusi, dsb: biarkan pihak lain yang mengurusnya, karena itu bukan urusan musisi. Dengan kata lain, nantinya produk yang mereka hasilkan pun bukan seutuhnya dalam kendali mereka, tetapi sebagian besar beralih ke pihak industri rekaman itu.        

Dengan terbukanya kemungkinan menjadi produser independen, maka penyekatan seperti itu nampaknya menjadi hilang. Mereka menghasilkan sesuatu dengan jerih payah mereka sendiri, dan mereka mengetahui secara tepat seperti apa jerih payah yang mereka alami itu dalam proses berkaryanya itu. Dengan begitu, karya yang dihasilkan, tidak serta-merta menjadi sesuatu yang berada di luar mereka, dan oleh karenanya menjadi asing bagi diri mereka sendiri. Karya mereka menjadi curahan jiwa-raga sang musisi/band seutuhnya. Karya itu menyatu dengan pembuatnya.    


Catatan:
Keadaan musisi dan cara produksi independen yang dilukiskan diatas, terlepas dari masalah pemenuhan kebutuhan hidup pokok setiap musisi. Biasanya, konsekuensi yang seringkali dihadapi bagi musisi independen adalah mereka harus mencari kerja utama untuk menafkahi dirinya sendiri (dan keluarganya bila ada). Seringkali kerja utamanya itu di dunia yang sangat berjauhan dengan musik, dan pada saat yang bersamaan, menyita hampir seluruh waktu si musisi yang bersangkutan. Berbeda dengan mereka yang bergabung kedalam industri musik. Biasanya mereka dapat memenuhi nafkahnya dengan total berkonsentrasi di dunia itu. Masing-masing memiliki konsekuensinya sendiri. Namun demikian, itu bukan berarti tidak ada juga musisi yang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dari produksi musik independen seperti itu. Dan tulisan ini bukan mengarah ke arah itu (mungkin di kesempatan yang lain). Intinya, tulisan ini ingin berkutat dalam pikiran, bahwa sebenarnya masih ada cara lain untuk bisa berkarya tanpa berlandaskan kepada cara produksi yang bergantung kepada eksploitasi kerja orang lain. Tidak tertutup kemungkinan, cara lain dalam bermusik itu bisa menjadi cara yang umum digunakan nantinya, seketika cara produksi kapitalisme saat ini mulai rapuh karena kontradiksi-kontradiksi yang menjadi pembawaannya sejak lahir semakin menguat dan akhirnya pecah.

4 komentar:

gupta ganesha mengatakan...

nice post :)

abo si eta tea mengatakan...

thx :)

aal yeah mengatakan...

rimbilll...seperti kata rianti, "i like it good job"

abo si eta tea mengatakan...

edass...