Sebuah catatan kecil tentang percakapan tidak betul yang terjadi antara dua orang yang, sayangnya, tidak betul juga. Semuanya terjadi di penghujung senja. Di ujung tanduk harapan dan ketakutan.
Di bawah ini adalah percakapan-percakapan yang masih bisa diingat. Karena masih mengkonsumsi ganja dan nonton film porno, jadi sori-dori kalo ada pihak yang merasa ditipu karena kalimatnya ada yang hilang atau ga tepat susunan katanya. Maklum, manusia biasa yang masih berusaha menegakkan sholat lima waktu.
KAMAR BERANTAKAN DENGAN ASAP ROKOK MENGEPUL SEPERTI DI DALAM MEIN KAMPF. PENGHUNI KAMAR, JIM MORRISON DAN SISIFUS, DUDUK MENJULURKAN KAKI MENGHADAP RADIO. SISIFUS MENGOCOK GITAR KOPONG. NADA-NADA ANCUR DAN SUMBANG KELUAR DARI GITAR KOPONG LADUK YANG KEENAM SENARNYA MATI. MUSIK PUNK ROCK DENGAN SOUND RAW NAMUN MELODIUS KELUAR DARI SPEAKER RADIO.
WALAUPUN PUNK ROCK, HATI TETAP MAWAR. KARENA YANG DINYANYIKAN BUKANLAH TENTANG REVOLUSI, MELAINKAN: AMONG EVERY BITTERNESS, LONELINESS HURT ME MOST. STILL I'M NOT AWARE AND FALL THERE'S SO MUCH I HAVE LOST…
JIM MORRISON:
Rokok?
SISIFUS:
Kalem. Nanti dulu…. (masih ngocok gitar, tak perduli suaranya busuk tiada dua).
JIM MORRISON:
Udah lama Bandung ga hujan.
SISIFUS:
Iya. Kangen juga…emh…
JIM MORRISON:
Kenapa?
SISIFUS:
Hah? Ga. Ga ada apa-apa.
JIM MORRISON:
Hahah (garuk-garuk kepala).
SISIFUS:
Kenapa ketawa?
JIM MORRISON:
Kenapa? dirimu itu tuh, kenapa. Selalu seperti itu. Tipikal. Kalau ada sesuatu yang mau diucapkan, ya, tuntaskanlah. Jangan didorong lagi ke tenggorokan. Haha, dasar (menyambung lagi sam soe).
SISIFUS:
(Berhenti ngocok gitar. Mengambil sebatang sam soe dan menghisapnya) lho, emang ga ada yang harus diucapkan, kok?!
DIAM. HUJAN MENGGUYUR DI LUAR KAMAR. ASBAK PENUH DENGAN ABU DAN PUNTUNG ROKOK. AIR KOPI DI GELAS TINGGAL SEPEREMPAT. SMS MASUK KE HP JIM MORRISON; WOI..GI NGAPAEN LO? NEBENG GRTIS M3 UY…BTW, KMH KBRNA DUNIAMU KAWAN?PLES. TIDAK DIBALAS OLEHNYA.
JUDUL LAGU BERGANTI. BEAT-BEAT PUNK ROCK MASIH KERAS MENGGEMPUR. TAPI, KALI INI VOKALISNYA BENAR-BENAR BERADA DALAM SUASANA YANG, SAYANGNYA, MENDEKATI KOLAPS. …PASSING HOURS, SAME OLD PICTURES CROWDING ALL MY DAY. TAKE MY LESSON IN EVERY SECOND BUT I WILL NEVER LEARN, KELUAR DARI KERONGKONGANNYA.
SISIFUS & JIM MORRISON:
Every time I try to look back. Try to find what went so wrong. Cuz I don't wanna turn my face from every whining faces in my world…
SISIFUS:
Lagunya enak-enak.
JIM MORRISON:
Haha, iya (lalu menenggak kopi). Jadi inget lagu 'Nina'.
SISIFUS:
Haha, iya. Sweet good old song.
JIM MORRISON:
(ngambil gitar kopong dari tangan Sisifus) jadi…tadi mau ngomong apa?
SISIFUS:
Ngomong? Ga…ga ada yang mau diomongin, kok. Masih dipikirin yang tadi? Udah, ga ada apa-apa, kok. Jadi dianggap serius gini?!
JIM MORRISON:
Ga sih, ga nganggep serius (Jim Morrison mengocok gitar. Memainkan lagu entah apa dengan bunyi yang masih busuk)…hanya saja kita berteman udah lama. Dari jaman kita sembunyi-sembunyi ngerokok di wc sekolah. Jadi…kalo ada sesuatu yang pengen diomongin, omongin aja. Dari dulu kamu kan gitu, selalu menyimpan segala sesuatunya di benakmu sendiri. Bagilah dengan orang lain, jangan didiemin sendiri.
SISIFUS:
(menyimpan rokok di asbak lalu merewind kaset) heheh…
JIM MORRISON:
Gimana, masih suka ngedorong batu ke atas bukit, lalu menggelindingkannya kembali?
SISIFUS:
Masih.
JIM MORRISON:
Bagaimana rasanya, melakukan pekerjaan itu setiap hari?
SISIFUS:
Entahlah. Hal kaya gitu udah seperti tuntutan profesionalisme. Bukan sesuatu yang harus dipertanyakan lagi. Hanya tinggal menjalaninya saja. Apapun yang terjadi.
JIM MORRISON:
Pasti membosankan.
SISIFUS:
Mungkin, sudah tidak bisa membedakannya lagi.
JIM MORRISON:
Sebenarnya apa pekerjaanmu itu?
SISIFUS:
Apa yang saya kerjakan ini tidak lebih sebagai cermin dari keabsurdan manusia, jadi…ya, itu.
JIM MORRISON:
Keabsurdan manusia?
SISIFUS:
Ya, seperti yang terjadi pada teman saya, Momen.
JIM MORRISON:
Kenapa dia?
SISIFUS:
Ya…entahlah, hanya saja, dia pernah ngomong, tiap kali bertemu temannya, Memori, mendadak segala peristiwa yang selama ini memutarinya membeku seperti es. Bagi teman saya, Momen, semua peristiwa yang bergerak memutarinya itu sudah seperti generator bagi dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa ada (aku ada karena kau ada, selip Jim Morrison, meniru judul lagu RADJA) hehe, iya…nah, sekarang bisa dibayangkan bila tiba-tiba peristiwa itu berhenti memutarinya. Ibaratnya, sesuatu hal yang selama ini berjalan dengan sangat biasanya hingga menjadi suatu rutinitas yang tidak disadari, mendadak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola yang selama ini berputar teratur dengan sistematis dalam hidupnya, menjadi kacau. Momen jadi kelabakan karenanya. Setiap peristiwa yang tadinya hanya berbentuk kilasan sesaat dan tidak terlihat, sekarang terpampang dengan jelas dihadapannya dan dengan terpaksa ia harus memelototi semua itu. Segala kecemasan, ketakutan, harapan dan keberanian yang ada dalam setiap peristiwa yang selama ini mengelilinginya begitu saja mencuat keluar. Menukik tepat menuju dirinya. Menamparnya.
JIM MORRISON:
Cih! Jatuh cinta maksudmu? Sepele.
SISIFUS:
Entahlah, saya hanya seseorang yang mendorong batu ke bukit dan menggelindingkannya kembali. Buram bagi saya berurusan dengan hal diluar itu. Lagipula, mudah bagimu mengatakan sepele. Kau adalah penyanyi terkenal. Mempunyai lagu yang kelak akan dikenang sepanjang masa. Semuanya akan mendatangimu; popularitas, ketenaran, kemewahan, bahkan mungkin, apa namanya…ng…yang menimpa teman saya tadi (cinta, sambung Jim Morrison) ya, cinta itu sendiri.
JIM MORRISON:
Ah, saya prefer mabuk. LSD adalah cinta. Penyanyi terkenal hanyalah tempelan yang diberikan oleh media (lalu menghembuskan asap rokok) …jadi, gimana temen kamu itu nasibnya sekarang?
SISIFUS:
Belum pernah ketemu lagi.
JIM MORRISON:
Memori. Seperti apa dia?
SISIFUS:
Belum pernah melihatnya. Tapi, ya begitulah, menurut teman saya, ia membuka suatu celah dan ruang tersendiri diantara rentetan peristiwa yang berputar mengelilinginya. Sebelumnya teman saya itu tidak pernah sadar bahwa setiap kepingan-kepingan peristiwa itu selama ini mengelilinginya. Tidak berbeda dengan pekerjaanku sebenarnya, selama ini segala peristiwa terlalu menjadi hal biasa baginya. Momen telah melebur bersama peristiwa dan menjadikannya sebagai rutinitas belaka. Baginya selama ini, semua berjalan serba apa adanya. Hingga Memori berpapasan dengannya. Hingga Memori menghentikan putaran peristiwa dan membentangkan ribuan gambar yang selama ini tak terlihat didalam setiap peristiwa kehadapan Momen. Menyadarkannya, bahwa dalam setiap peristiwa yang mengelilinginya itu tidak seharusnya dilewatkan begitu saja. Setiap kepingan yang membentuk peristiwa itu ternyata menyimpan sebuah makna.
JIM MORRISON:
Wow…sepertinya sakti…
SISIFUS:
Begitulah yang dikatakan Momen. Absurd memang, padahal semuanya bermula dari hal remeh-temeh. Berpapasan.
JIM MORRISON:
Jadi, dengan pekerjaanmu itu sekarang, menunjukkan pada manusia bahwa sebenarnya mereka adalah makhluk absurd. Makhluk yang segala tindak-tanduknya tidak bisa dipisahkan lagi antara mana yang logis dan tidak logis? Begitu? Seperti yang terjadi pada temanmu itu? Bagaimana dalam satu titik tertentu perilakunya, entah bagaimana, sudah tidak bisa dijelaskan oleh pikiran yang logis lagi?
SISIFUS:
Kurang lebih begitu. Dewa ku, Sartre, yang mengintruksikan seperti itu.
JIM MORRISON:
Ya, cukup menjelaskan sih. Dari dulu kamu emang absurd, hehe. Ga beres.
SISIFUS:
Haha, kamu juga sama aja. Apalagi pola hidup kamu, abstrak. Belum lagi wajahmu itu, artistik!
JIM MORRISON:
Wah, bercandanya udah nyambung ke fisik…dasar Edi Suseno!
SISIFUS:
Hei, jangan bawa-bawa nama Ayah saya! (mendegungkan kepala Jim Morrison dengan tangannya)
JIM MORRISON:
Hehe, disitu, menyulut pertempuran.
DIAM. RANTING POHON DI LUAR BERGOYANG KARENA DORONGAN ANGIN. GESEKAN ANTAR DAUN KERAS TERDENGAR. HAWA DINGIN MERAYAP MELALUI CELAH JENDELA YANG SEDIKIT TERBUKA. AIR KOPI DI GELAS HABIS. JIM MORRISON MENGOCOK GITAR. SISIFUS MENGANGKAT TUBUH, MENGINTIP SUASANA DILUAR KAMAR DARI BALIK JENDELA.
SISIFUS:
Hujan yang lebat. Udah lama ga hujan, sekalinya hujan…(kembali duduk disebelah Jim Morrison) …ah…gimana dengan lagu-lagu dan puisi-puisi mu, ada yang baru?
JIM MORRISON:
Ya, begitulah.
SISIFUS:
Isinya tentang apa kali ini?
JIM MORRISON:
Ah, hal-hal sepele. Seperti yang sudah-sudah, keterbatasan.
SISIFUS:
Keterbatasan? Apa maksudmu, keterbatasan?
JIM MORRISON:
Ya…keterbatasan. Apakah engkau pernah merasakan bagaimana dalam pikiranmu kau mempunyai segudang ide dan cita-cita? Menggenggam setumpuk keinginan di benakmu yang terdalam. Kau sangat tidak sabar ingin merealisasikan semua itu, ingin menghamparkannya di atas bumi. Kau ingin menunjukkan pada orang-orang, "hei, inilah rencana-rencana yang telah saya susun selama ini."
Kau melangkah tertatih-tatih dan jungkir balik untuk mewujudkan semua itu. Hingga suatu saat, teman lama hadir; waktu dan rutinitas, membuat semua cita-cita dan mimpi itu mentah dihadapannya. Segala langkahmu menjadi terhenti karenanya. Tubuhmu sudah tidak bisa melanjutkannya lagi. Tapi disisi lain, benakmu terus meronta, membutuhkan sebuah realisasi. Ide dan cita-cita yang memenuhi pikiranmu tidak begitu saja mudah surut oleh tekanan waktu dan rutinitas.
Kebutuhan itu terus hadir dalam hidupmu. Kunci-kunci nada gitar kau jalin menjadi sebuah lagu untuk sedikit meredakan mimpi yang meluap-luap dalam dirimu itu. Kertas kosong kau lukis dengan jalinan kata-kata yang paling dekat dengan mimpi yang butuh kau realisasikan. Kau buat semua itu sebagai usaha lain untuk melangkah lebih dekat dengan mimpimu itu. Tapi nyatanya, kau tidak melangkah kemana-mana. Kau hanya berputar-putar dalam kehidupan mu sendiri saja. Hanya berkutat pada cara menjalin nada dan merangkai kata. Seperti itu.
Dari berpuluh-puluh judul lagu dan puisi yang telah saya buat selama ini, semuanya hanya bersumber pada satu titik, keterbatasan. Semua itu seperti menjadi pengingat akan segala keterbatasan yang saya miliki dalam melangkah mencapai mimpi yang selama ini saya butuhkan.
SISIFUS:
Saya tidak sampai berpikir sejauh itu.
JIM MORRISON:
Bagus untukmu.
SISIFUS:
Menurutku semua karyamu selama ini jujur. Kau menyuarakan apa yang ada di dalam benakmu.
JIM MORRISON:
Cih! Bahkan saya sudah tidak bisa membedakan lagi mana yang jujur dan menipu diri sendiri. Garis pembatas yang memisahkannya sungguh buram bagi saya.
SISIFUS:
Setidaknya melalui lagu dan puisi yang kau buat, orang-orang menjadi tahu apa yang selama ini kau impikan.
JIM MORRISON:
(mengambil sam soe, menyulutnya dan menghisapnya dalam. Mendongkakkan kepala keatas sambil menghembuskan asap rokok. diam.)
SISIFUS:
Banyak orang yang terinspirasi oleh karya-karya mu itu.
JIM MORRISON:
Bagus untuk mereka…saya juga membaca dari sebuah tabloid, ada seseorang yang hidupnya begitu terinspirasi oleh karya-karya saya. Oleh tabloid itu Ia sampai dijuluki 'penggemar militan'. Hidupnya berubah total ketika membaca dan mendengar karya saya. Ia menjadi lebih berani melakukan hal-hal yang selama ini tidak pernah terbayang olehnya. Kenekatan-kenekatan yang selama ini terlalu takut untuk ia simpan di benaknya.
SISIFUS:
Dan bagaimana perasaanmu mengetahui ada orang yang terinspirasi seperti itu?
JIM MORRISON:
Bagus untuk dia. Tapi tetap…bagi saya, karya-karya yang saya lahirkan tidak lebih sebagai pengingat keterbatasan, ketidakberdayaan yang saya miliki selama ini. Mimpi yang tertuang dalam setiap karya saya adalah cermin ketidakberdayaan saya sendiri dalam meraihnya. Kasarnya, karya yang saya buat adalah tempat bagi saya untuk menelan ludah sendiri...
Mau teh manis?
JIM MORRISON KE DAPUR MEMBUAT TEH MANIS DAN KEMBALI LAGI KE KAMAR MEMBAWA DUA GELAS THE MANIS YANG MENGEPUL PANAS. HUJAN MEREDA. SENJA TELAH DIGANTIKAN OLEH MALAM TEMARAM. LAMPU-LAMPU RUMAH MULAI MENYALA. SISIFUS MENGGANTI LAGU DENGAN YANG LEBIH SANTAI, LEBIH AKUSTIK; NEIL HASTEID.
SISIFUS:
Mungkin…(ragu-ragu)…mungkin…selama ini kau belum memberikan yang terbaik bagi mimpimu itu. Maksudku, setelah selama ini kau melangkah dan jungkir balik meraih mimpi, penghambat yang sebenarnya bukan terletak pada waktu dan rutinitas seperti yang telah kau sebutkan tadi. Keterbatasanmu sendirilah yang menjadi penghambat sebenarnya. Keterbatasan itu melebur dalam segenap totalitas pikiranmu sendiri. Menjadikannya seakan-seakan semua itu adalah hal yang sudah menyatu dengan dirimu sendiri. Secara tidak sadar, engkau telah menciptakan keterbatasan bagi dirimu sendiri. Mungkin…eng…mungkin selama ini kau belum melangkahi keterbatasan itu. Selama ini kau masih berkutat didalamnya. Kau belum selangkah lebih maju darinya…
(meminum the manis dan mengambil sam soe untuk kemudian menyulutnya)
maksudku, seperti waktu. Ia memang melaju cepat. Tapi, di dunia ini waktu hanyalah kumpulan angka yang terdiri dari 1 sampai 12. Seperti statistik, hanya menunjukkan kuantitas, tidak mencerminkan kualitas. Ng…maksudku, tidak tepat juga bila kita menyalahkan waktu ketika mimpi kita gagal untuk direalisasikan. Mungkin selama ini kita hanya berkutat dengan diri sendiri, sehingga kita lupa untuk melangkah. Kita disibukkan oleh keterbatasan yang kita anggap sebagai darah daging sendiri. Sebaliknya, kita lupa mempercepat langkah agar bisa menyusul waktu…
JIM MORRISON:
Hahah, saran bagus yang keluar dari mulut seseorang yang setiap harinya mendorong batu…
SISIFUS:
Engga-engga…bukan begitu maksudku. Saya bukan berniat menceramahi…hanya saja…
JIM MORRISON:
Ya-ya-ya, saya ngerti. Bercanda, kok. Saya paham maksud kamu. Maksud kamu itu, bisa jadi selama ini saya salah sasaran, gitu kan? Bisa jadi, segala kemampetan ini disebabkan karena saya berkutat dengan diri saya sendiri saja, sehingga-disadari atau tidak-saya ikut bertanggung jawab melahirkan keterbatasan diri saya sendiri, gitu kan maksudmu?
SISIFUS:
…ng…ya, seperti itu…duh, saya bukannya mau nyeramahin kamu ya…
JIM MORRISON:
(merangkul Sisifus) tenang saja, kawan. Sebaliknya, itu adalah saran yang bagus. Boleh juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan, haha. Atau mungkin…akan saya jadikan pokok pemikiran saya dalam membuat karya selanjutnya? Sepertinya ide yang bagus…
SISIFUS:
Ng…ya…baguslah…terserah kamu, sih…
JIM MORRISON:
Hei, tau ga, sebenernya saya iri juga sama apa yang kamu lakukan sekarang. Setiap hari mendorong batu dan menggelindingkannya lagi kebawah. Kau melakukannya seperti tanpa tekanan. Terlihat seperti orang merdeka. Santai. Mendorong batu, menggelindingkannya lagi, mendorong lalu menggelindingkannya lagi. Ingin juga saya seperti itu. Menjalani hari tanpa harus dipusingkan oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu…
SISIFUS:
Ya, udah. Berhenti aja mempertanyakan segala sesuatunya.
JIM MORRISON:
Nah, itu…keterbatasan saya tuh, haha.
SISIFUS:
Haha, iya sih, dari dulu kamu mah kaya gitu. Orang yang selalu terjebak dalam masalah yang dibuatnya sendiri, haha.
JIM MORRISON:
Haha, bisa-bisa. Engga…kadang saya suka mikir gitu, ya. Apakah dunia yang saya tempati sekarang ini ga beres, banyak masalahnya atau saya nya aja yang emang ga beres, terjebak dalam masalah melulu? Soalnya ngeliat kamu tuh, seperti orang santai gitu. Hari-hari dijalanin aja kaya yang ga ada masalah. Everything seem flow on the right track.
SISIFUS:
Nah…yang kaya gitu…yang kaya gitu itu, seharusnya ga perlu dipertanyakan sih, haha.
JIM MORRISON:
Ah, haha. Sia goblok, haha (memoles kepala Sisifus).
HUJAN REDA. SAM SOE HABIS. TEH MANIS KANDAS. LAGU DARI NEIL HASTEID MEMASUKI LAGU TERAKHIR. ESOKNYA, BERITA PAGI MEMBERITAKAN TELAH TERJADI HUJAN BADAI DI DAERAH KOTA SEPERTI CIHAMPELAS, TAMAN SARI DAN JALAN SUNDA. POHON-POHON BANYAK YANG TUMBANG, MENGHANTAM SEGALA YANG ADA DI BAWAHNYA. SEDANGKAN SISIFUS MASIH TETAP MENDORONG BATU DAN MENGGELINDINGKANNYA KE BAWAH SEPERTI SEDIA KALA. JIM MORRISON MABUK. MABUK PARAH. HAMPIR LEWAT. NAMUN BEGITU NYAWANYA MASIH BISA DITOLONG. IA MASUK PANTI REHABILITASI BAGI ORANG-ORANG KETERGANTUNGAN OBAT BIUS DAN TIDAK PERNAH KELUAR LAGI DARI TEMPAT ITU.
====================================================================
* arsip dari 25 Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar