Rabu, 17 September 2008

Seperti di Dasar Telaga yang Membeku

                              
Hal remeh-temeh sepertinya memang tidak perlu dibicarakan panjang lebar baginya. Sementara begitu banyak orang yakin, bahwa sekadar berbicara ala kadarnya atau berbasa-basi sekalipun itu dirasakan memang perlu. Setidaknya untuk memecah kecanggungan yang ada atau sekadar memenuhi etika sopan santun bermasyarakat. Tetapi ia begitu menikmati kesunyiannya. Bergumul sendiri dengan hal-hal yang berseliweran di dalam benaknya. Terbawa larut dalam kesunyian yang seolah-olah menyatu dengan dirinya. Tanpa harus menghiraukan kehadiran orang lain disekitarnya.

    Dengan kesunyian itu, Ia telah hadir dalam kehidupanku begitu lama. Namun bersamaan dengan itu pula aku benar-benar tidak mengenal dirinya. Semakin lama, semakin sering ia hadir, semakin buram juga gambaran utuh mengenai dirinya. Gambar yang tertangkap olehku hanyalah gambar-gambar yang kasar. Menyerupai sketsa. Dalam kertas putih itu hanyalah garis-garis kasar dan arsiran-arsiran mentah yang hanya merefleksikan sebuah kerangka yang belum selesai. Dalam sketsa itu aku hanya menangkap ia yang sedang membaca surat kabar, termenung sendirian, duduk di depan layar komputer dan kebiasaannya ketika makan. Bagiku, itulah gambaran yang tidak utuh dan belum selesai mengenai dirinya.

    “Begitulah ia,” beberapa orang berkata padaku, “engkau yang harus memahaminya. Engkaulah yang harus memiliki insiatif untuk bertanya, karena engkau tidak akan mendapatkan apapun darinya bila engkau tidak memulainya lebih dulu.”

    Dari dulu dunia memang berputar seperti itu, dalam hati nyeletuk setiap kali orang-orang mengatakan demikian tentang dirinya. Di obrolan sehari-hari juga, apalagi kalau ada kawan yang curhat tentang masalah kawin-mawin, pasti ada makna-makna yang mirip seperti itu: “ada aksi, pasti ada reaksi, bleh”, blah-blah-blah. Tapi tidak bagiku, ketika berada dekat dengannya. Aku tidak berusaha memahaminya dan juga tidak berusaha memulai lebih dahulu seperti yang disarankan orang-orang. Rasa-rasanya, aku malah meleburkan diri dengan kesunyian yang dibawanya. Walaupun sebelumnya tidak ada niatan dariku untuk larut bersama kesunyiannya itu. Aku sadar ikut seret dalam alirannya menuju muara yang entah kapan tercapai. Tidak memulai aksi dan tidak menunggu reaksi. Seperti musik, mengalun.

    Suatu waktu di masa yang sudah lewat lama lampau, tidak sengaja aku pernah melihatnya tiba-tiba menangis. Pemandangan yang baru pada masa itu. Aku duduk di belakangnya. Sejenak melihat kedua telapak tangannya menutupi muka sambil menyeka air mata. Kualihkan pandangan ke sekitar, karena sebenarnya aku tidak ingin melihatnya menangis. Orang-orang hilir mudik tak hirau disekitar kami. Orang-orang yang tiba-tiba terasa seperti manekin berjalan bagiku saat itu: terasa tanpa emosi apalagi air mata, mereka hanya hilir mudik. Ku tunggu hingga ia selesai menangis, tanpa mengeluarkan sepatah-kata atau sekadar menenangkannya melalui isyarat non-verbal. Seperti Ia berenang dan aku di sisi aliran sungainya. Melihat sambil menunggunya menepi.

    Tidak beberapa lama, ia menoleh kepadaku. Sejenak aku membalas tatapannya, namun mataku kembali menuju lantai. Menunduk. Aku tidak ingin lama-lama melihat dirinya dalam keadaan seperti itu. “Ayo, kita pergi,” suaranya terdengar berat dan serak melalui telingaku.

  Ia telah menepi dari sungainya dan penungguanku pun usai.

Siapapun tahu Alun-alun kota Bandung begitu padat oleh jejalan manusia. Ada pengemis, penjual, pengangguran, pengamen. Beragam jenis profesi dan manusia tumpah ruah di situ. Begitu ramai di Alun-alun. Namun, baru kurasakan bagaimana kesunyian itu pekat. Riuh hingar-bingarnya manusia melenyap. Sementara aku dan dirinya berjalan tanpa suara, tanpa pertanyaan tentang peristiwa yang telah terjadi tadi. Namun begitu, tidak ada kecanggungan. Hanya senyap antara aku dan dirinya. Menara Mesjid Agung begitu tinggi seakan-akan menusuk hitamnya langit yang ditinggal cahaya matahari. Lampu mobil dan motor menyorot. Lampu gedung bernyalaan. Kota ini menawarkan peluang bagi manusia yang ingin mengejar ambisinya. Namun, gedung dan gangnya memberikan keterasingan bagi yang mendiaminya. Di kota ini, ada kesepian yang tak terperi di ruas jalannya yang ramai.

Kami berjalan di antara lampu kota yang kerlap-kerlip itu. Menyusuri jalannya yang riuh dan rasa-rasanya seperti kota ini menunjukkan nyawanya yang dipenuhi hiburan-hiburan dan impian yang tercapai. Namun nasib manusia-manusia yang mendiaminya – Tuhan Maha Mengetahui – tidaklah semua seirama dengan hembusan nafas perkotaan. Denyut jantung kota pada malam hari itu membuktikan hal tersebut. Seperti para pedagang kaki lima yang mengemasi dagangannya, pengemis yang tertidur di trotoar, pengamen yang duduk tetirah di halte bus. Denyut jantung kota di malam itu membawa manusia-manusia yang mendiaminya untuk kembali ke kesunyiannya masing-masing. Memeluk keterasingan dan kesepian seorang diri. Begitu juga kami. Hanya diri sendiri dan Tuhanlah yang mengetahui apa yang berkecamuk di alam pikiran masing-masing orang.

        Saat ini, bila kuingat lagi momen di Alun-alun itu, terbayang fragmen puisi Chairil Anwar. ‘Nasib adalah kesunyian masing-masing’, begitu bunyinya. Fragmen itu rasa-rasanya seperti mewakili setiap detil momentum yang hadir di Alun-alun pada masa lampau itu. Potongan puisi itu menggambarkan manusia, seorang individu seutuhnya: Sang Manusia ditakdirkan untuk memeluk kesunyian dalam kesendiriannya hingga liang lahat. Seperti aku dan dirinya, dua manusia yang jelas-jelas berjalan beriringan, namun -Tuhan Maha Mengetahui- bagaimana kesunyian yang tergurat dikeduanya tidak dimaksudkan untuk dibagi. Sunyi adalah perkara yang dimulai, diakhiri dan diterima oleh setiap bagian tubuh manusia, hingga bagian yang terkecil sekalipun. Dibawanya hingga liang lahat seorang diri. Bila telapak tangan itu membuka untuk menerima, maka telapak tangan itu pulalah yang akan menggenggamnya. Namun, seringkali Sang Manusia melepaskan genggamannya. Lari darinya. Manusia, begitu seseorang pernah berkata, tidak menginginkan kesunyiannya sendiri. Manusia ingin bersama dengan sesamanya dan menjadi sama. Melebur dalam kerumunan tanpa nyawa yang seringkali banal. Padahal, kesunyian itu membuatnya otentik.


Catatan tambahan:
Foto oleh Praga saat di Bromo dan editing foto oleh o))) ketika berada di Panoptikon.

7 komentar:

sharifa ainie mengatakan...

bo. naha nya urg tara ngarti mun maca tulisan maneh. asa bareuraaaaat. atawa urg na nu belegug. hahahaha

afwan albasit mengatakan...

bo nu Sunyi teh ngenaheun euy,,,

abo si eta tea mengatakan...

ati-ati, ah. hehe.

abo si eta tea mengatakan...

Teu, Peh...jigana masalahna di urang. Biasalah. Sok nyieun masalah sorangan, haha.

sahrul sahrul mengatakan...

abo naha selalu berada di balik awan hitam?

abo si eta tea mengatakan...

perasaan awanna putih, Lur, mun di foto mah? heu.

sahrul sahrul mengatakan...

ah dik Jimmy ini pandai bergurau! hahaha