Selasa, 19 Agustus 2008

Pemuda Werther



“I am praying for the raging flood. I am waiting for you to come.”
-Waiting for You, CULT OF LUNA-
Ada pemuda ini, Werther. Seseorang yang diceritakan oleh sastrawan besar Jerman, yaitu Johann Wolfgang Goethe lewat novelnya berjudul Penderitaan Pemuda Werther. Werther ini adalah seseorang yang mempunyai cita rasa yang bagus terhadap alam dan seni. Itu bisa dilihat dari isi suratnya terhadap sahabatnya bernama Wilhelm. Dimana ia selalu menceritakan indahnya alam tempat dimana ia tinggal dan bagaimana dari kekaguman-kekaguman yang ia dapati itu kadangkala selalu dituangkan dalam bentuk lukisan. 

Sebelum dilanjutkan, perlu juga diketahui, bahwa Goethe menuliskan cerita ini dengan gaya yang disebut Briefroman (novel epistoler / roman bersurat). Briefroman merupakan bentuk cerita dengan gaya seperti dua orang yang sedang surat-menyurat. Keseluruhan dari cerita ini memang banyak mengisahkan tentang curahan-curahan hatinya Werther yang ditulis dalam bentuk surat kepada Wilhelm, sahabatnya itu.

Curahan-curahan hati Werther terutama selalu membicarakan tentang gadis ini, Lotte, yang dijumpainya dalam suatu pesta. Semenjak pertemuan pertama kali dengan Lotte di pesta itu, Werther menyadari bahwa ia telah jatuh cinta. Namun, cinta-nya itu termasuk ke dalam genre ‘terlarang’, karena Lotte sudah bertunangan dengan seseorang bernama Albert. Dalam suratmenyurat-nya dengan Wilhelm, Werther selalu berkeluhkesah tentang perasaan cintanya terhadap gadis ini yang begitu kuat menghantam hatinya dan bagaimana kesehariannya yang telah berubah semenjak itu.

Pertama kali membaca surat Werther, terasa bagaimana pemuda itu sangat menikmati pemandangan alam dan suasana kota tempat dimana ia tinggal. Hal itu bisa dibaca dari suratnya yang saya tuliskan kembali di bawah ini:

“ 12 Mei
Aku tak tahu apakah berbagai roh yang mengecohkan berkeliaran di sekitar tempat ini, atau khayalan langit yang mesra dalam hatiku, yang telah membuat segalanya di sekelilingku menjadi sedemikian surgawi. Tepat di depan kota ini ada sebuah sumur, sebuah sumur yang telah membelenggu diriku seperti Melusine dengan saudara-saudara perempuannya. – kauturuni sebuah bukit dan berada di sebuah gua, kemudian meniti sekitar dua puluh anak tangga, di sana kita dapat air terjenih keluar dari cadas marmer. Dinding kecil di atasnya merupakan bingkai, pohon-pohon tinggi yang meneduhi sekitarnya, kesejukan tempat itu, semuanya memiliki semacam daya rangsang dan mencekam….Kemudian datanglah gadis-gadis dari kota untuk mengambil air, suatu pekerjaan paling sederhana dan paling dibutuhkan yang dahulu dikerjakan sendiri oleh putri-putri raja. Jika aku duduk di sana maka bayangan kebapaanku bangkit begitu hidup di sekelilingku, kulihat bagaimana bapak-bapak itu berkenalan dan bercengkrama dan bagaimana roh-roh kebaikan melayang-layang di sekitar sumur itu. Oh, orang yang tak dapat turut merasakan ini, mereka tak pernah menikmati istirahat pada kesejukan sumur ini setelah berjalan-jalan yang melelahkan pada suatu musim panas.”

Werther begitu menikmati segala karunia yang terdapat pada alam dan bagaimana hari-harinya begitu dicerahkan oleh pemandangan-pemandangan alam yang menakjubkan itu. Tetapi setelah perjumpaan dengan Lotte dan mengetahui keadaan diri Werther sendiri dimana tidak memungkinkan untuk bisa bersama Lotte, maka isi suratnya pun menjadi gelap – menjurus putus asa. Hari-hari menjadi tidak berarti baginya. Kekosongan dan kehampaan kini yang mengganti hari-hari pemuda Werther. Keagungan alam yang sebelumnya ia puja-puja, pupus sudah kini keindahannya di mata Werther. Karena ia sendiri telah begitu dibutakan oleh cintanya yang menggebu-gebu terhadap gadis yang sudah bertunangan itu. Coba saja baca suratnya di bawah ini:

“ 30 Nopember
Aku tidak, aku tidak akan sembuh kembali! Kemana saja aku pergi selalu kutemui gejala yang membuatku tak dapat menahan diri. Hari ini! Oh, nasib! Oh, manusia!
Aku pergi ke sungai di siang hari, aku tak bernafsu makan. Segalanya gersang, angin malam yang dingin dan basah bertiup dari gunung, dan awan hujan yang kelabu bergerak ke arah lembah….”

Suram.

Tidak sanggup menahan beban penderitaan yang begitu berat karena mencintai seseorang, akhirnya pemuda Werther membunuh dirinya sendiri dengan senapan yang ia pinjam dari tunangan Lotte. Sebelum membunuh dirinya sendiri, Werther menulis surat yang ditujukan kepada Lotte dan tunangannya, Albert. Berikut isi surat tersebut:

“pistol ini sampai kepadaku melalui tanganmu (Lotte yang memberikan pistol ini kepada pelayan Werther - SILUMAN TULEN), engkau telah membersihkan debunya, aku menciumnya seribu kali, engkau telah menyentuhnya! Dan engkau, roh surga, memudahkan keputusanku! Dan engkau, Lotte, menyerahkan perkakas itu kepadaku. Engkau, dari tangannya aku menginginkan menerima kematianku, dan ah, sekarang aku menerimanya. Oh aku mengorek segala sesuatu dari pesuruhku. Engkau gemetar ketika menyerahkan pistol itu kepadanya, engkau tidak mengucapkan selamat tinggal! – Awas! Awas! Tak ada kata selamat jalan! – Dapatkah hatimu tertutup bagiku, demi saat-saat yang telah mengikatku kepadamu selama-lamanya? Lotte, seribu tahun tak akan dapat menghapus kesan! Dan aku rasakan itu, kau tak dapat membencinya, seseorang yang hatinya membara untukmu.”

****

Dari keseluruhan cerita, sebenarnya yang terjadi adalah salah tafsir yang terjadi di antara keduanya. Konon, bahasa pria dan wanita itu berbeda (Yeah, shit happens all the time, y’all useless fukk!). Lotte yang memang mempunyai karakteristik luwes dan mudah bergaul disalahtafsirkan oleh Werther yang menganggap bahwa perilaku Lotte itu sebagai isyarat untuk mengembangkan hubungan ke arah cinta (sounds familiar, anyone?). Selama ini Lotte masih menerima baik-baik pemuda Werther dengan harapan agar bisa menjadi sahabat. Tetapi tidak begitu halnya dengan Werther, ia masih tetap menggebu-gebu untuk bisa memiliki Lotte. Semakin keras Werther berusaha, semakin tegas pula penolakan Lotte terhadap tuntutannya itu. Akibatnya, semakin terbebani pula lah jiwa Werther. Apalagi kehidupan keseharian pemuda Werther ini juga menemui banyak kegagalan, misalnya ketidakcocokannya dengan atasannya yaitu sang Duta Besar yang berujung pada keluarnya Werther dari pekerjaannya. Pada akhirnya, rasa putus asa dan senapan mendominasi pikiran pemuda Werther. Bunuh diri yang dilakukan oleh Werther itu, seperti yang saya baca di kata pengantar novelnya, ditafsirkan sebagai perwujudan frustasinya dan juga sebagai ancaman kepada Lotte.

Ceritanya terdengar picisan, ya? Novel ini sebenarnya diilhami dari pengalaman Goethe sendiri. Pujangga yang dilahirkan pada 28 Agustus 1749 di Frankfurt am Main, Jerman, ini berkenalan dengan Charllote Buff, tunangan Johann Christian Kestner, di sebuah pesta dansa. Setelah perkenalan itu Goethe akrab dengan Charlotte Buff dan J.C. Kestner, namun dalam hati Goethe memendam rasa cinta juga pada ‘Neng Charllote ini. Karena merasa bakal ‘bangkar’ kalau terus-terusan memendam rasa yang teu pararuguh juntrungannana, maka Goethe meninggalkan kota Wetzlar setelah tinggal di sana sekitar empat bulan (Mei – September 1772).

Sebulan setelah kepergian Goethe dari Wetzlar ia mendengar berita bahwa salah seorang kenalannya di Wetzlar bernama Carl Wilhelm Jerusalem, bunuh diri. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Wetzlar ini akhirnya menjadi motif karya Goethe “Die Leiden des jungen Werthers” alias “Penderitaan Pemuda Werther” .

Novel Penderitaan Pemuda Werther ini digemari di Jerman sendiri. Setidaknya dari yang pernah saya baca, cara berpakaian Werther menjadi mode di kalangan remaja Jerman pada masa novel itu banyak dituruti orang pada zamannya. Dapat dikatakan juga bahwa di Eropa citra tentang kehidupan Goethe dan karya-karyanya itu dibentuk oleh “Die Leiden des jungen Werthers”. Karya ini merupakan karya penting Goethe pada masa muda Goethe sebagai sastrawan.

****

Ada perasaan yang menggelitik ketika membaca kelakuan pemuda Werther ini. Terutama setelah membaca salah satu suratnya yang ditujukan kepada Lotte. Salah satu surat yang sempat ditulis menjelang kematian Werther. Saya tidak bisa menahan senyum setiap kali membaca isinya. Berikut isi suratnya:

“semua telah berlalu; tapi tak ada keabadian akan menghilangkan kehidupan yang menyala-nyala, bahwasannya aku menikmati bibirmu kemarin (secara sengaja Werther mencium Lotte dan diikuti oleh Lotte yang marah dan meminta padanya untuk tidak menemuinya lagi - SILUMAN TULEN), yang kurasakan dalam diriku! Ia mencintaiku! Lengan ini dipeluknya, bibir ini gemetar pada bibirnya, mulut ini meronta-ronta pada bibirnya. Ia milikku! Kau adalah milikku! Ya, Lotte, selama-lamanya.
Dan apa itu, bahwa Albert adalah suamimu? Suami! Ini seakan hanya untuk dunia ini – dan untuk dosa dunia ini, bahwa aku mencintaimu, bahwa aku ingin merampasmu dari tangannya? Dosa? Baiklah, dan aku menghukum diriku untuk itu; aku boleh menikmatinya dalam keseluruhan kenikmatan surgawi, dosa ini, aku telah menyerap balur kehidupan dan tenaga dalam hatiku. Dari saat ini kau adalah miliku! Milikku, oh Lotte! aku mendahuluimu! Aku pergi menemui Bapaku, menemui Bapamu. Kepada-Nya aku akan mengadu, dan Ia akan menghiburku sampai engkau datang, dan aku akan terbang menyambutmu dan menangkapmu dan tinggal bersamamu di hadapan belas kasih yang tak terhingga dalam pelukan abadi.
Aku tidak bermimpi, aku tidak melamun! Dekat makam akan tampak lebih terang bagiku. Kita akan demikian! Kita akan bertemu lagi! Bertemu dengan ibumu! Aku akan bertemu dengan dia, kau akan menemukannya, ah dan di hadapannya aku akan mencurahkan seluruh isi hatiku! Ibumu, suri tauladanmu.”

Saya merasa (rarasaan hungkul ieu mah!) mencium aroma narsistik ketika baca isi surat di atas. Pemuda satu ini jatuh cinta dengan membawa karakter narsistik di dalamnya. Mungkin, biar ada kesamaan referensi, perlu juga dicantumkan tulisan dari Sawitri Supardi Sadarjoen tentang kepribadian narsistik. Menurutnya kepribadian narsistik adalah "mereka yang terpaku pada kepentingan diri dan dikuasai oleh fantasi akan kesuksesan diri serta kekuasaan yang diperoleh. Mereka juga menilai diri sebagai seseorang yang lebih daripada yang lain. Dalam relasi dengan lingkungan, mereka akan selalu menuntut orang lain memenuhi keinginannya walaupun lingkungan harus mengorbankan kebutuhannya."

Nah, saya lihat di sini, pemuda yang satu ini menganggap bahwa ia merasa Lotte mencintainya, terlebih-lebih sesudah Werther menciumnya. Werther merasa bahwa Lotte memiliki semacam ‘reaksi kimia’ persis sama seperti yang Werther rasakan padanya. Hehe, lucu. Udah jelas-jelas si Lotte ini merasa terganggu, sampai mengusir Werther pula. Menyuruh dia agar tidak perlu bertemu lagi. Tapi Werther bersikukuh bahwa setelah kejadian itu, Lotte mempunyai hasrat juga kepadanya. Belum cukup sampai disitu, si Werther ini juga punya fantasi yang berlebih terhadap si ‘Neng. Pemuda yang suka melukis ini mempunyai fantasi, bahwa Lotte ini adalah miliknya seorang. Lotte ini akan menjadi miliknya seorang, terlebih-lebih ketika Werther mati nanti. Ia mempunyai pikiran seperti itu, karena ia menganggap “aku mendahuluimu! Aku pergi menemui Bapaku, menemui Bapamu. Kepada-Nya aku akan mengadu, dan Ia akan menghiburku sampai engkau datang, dan aku akan terbang menyambutmu dan menangkapmu dan tinggal bersamamu di hadapan belas kasih yang tak terhingga dalam pelukan abadi”. Tukang lukis ini begitu terobsesi dengan Lotte. Ia menganggap di akhirat nanti akan dipertemukan dengan Lotte oleh Tuhannya. Ya, tentu, kau mati bunuh diri-kau masuk surga-dan kau minta sama Tuhanmu itu untuk dipertemukan dengan kecengan-kecengan kamu semasa masih hidup dulu…enak juga.

Kata Sawitri, kepribadian narsistik ditandai juga dengan “kecenderungan untuk mengeksploitasi lingkungan demi menambah kekuasaannya sangat besar, mereka arogan sekaligus merendahkan lingkungannya”. Nah, sekarang kita lihat bagaimana anggapan Werther terhadap Albert, tunangan yang kemudian menjadi suaminya Lotte. Coba lihat lagi bagaimana Werther ini memandang suaminya Lotte. Perhatikan penekanan pada kata-kata yang ia gunakan dan emosi yang terkadung di dalam kata-kata tersebut. Pemuda yang suka liat-liat pemandangan alam ini menganggap status Albert sebagai ‘suami’ si ‘Neng itu hanya berlaku di dunia saja. Sedangkan di akhirat tidak berlaku itu status. Karena apa? Karena di akhirat hanya Werther lah yang ‘sah’ memiliki itu si ‘Neng yang cantik dan bageur. Toh, Werther yakin (dalam benaknya saja) bahwa Tuhan telah mengatur segalanya bagi dia untuk dipertemukan dengan si geulis sholehah Lotte ini. Sekarang lengkap sudah, arogansi, khayalan yang keluar dari kontrol, fantasi berlebih, frustrasi dan senapan hasil pinjaman, semua numpuk di benak Werther. Kelanjutannya, tinggal bagian eksekusi aja si pelukis itu maunya kaya gimana. Cepat tanpa rasa sakit atau kebalikannya. Heu, jadinya ngerepotin orang lain ini mah.

Ah, lama kelamaan, pusing juga mikirin orang. Namanya orang yang lagi jatuh cinta. Cocok juga peribahasa jaman melayu kuno dulu buat ngegambarin situasinya: “tai kucing berasa coklat toblerone!”. Hehe. Si sayah jadi bertanya-tanya…jadi yang narsis siapa? Werther atau pengarangnya?

Ah, sudahlah. Sebagai penutup, cuman pengen ngomong ini aja…jadi, kalau ada orang yang datang ke saya dan mengatakan, bahwa kisah Werther ini adalah kisah cinta yang romantis. Maka saya akan mengatakan kepada orang itu bahwa kisah tersebut adalah kisah cinta narsistik yang pernah saya baca selama hidup saya.


Catatan Kecil:
Buat Bung Kono yang sudah meminjamkan buku Penderitaan Pemuda Werther: Buku bagus, No, terima kasih.


4 komentar:

afwan albasit mengatakan...

cerita seru nih,,werther seorang yg optimis tp narsis teuing...
tapi ngomong2 bung kono-nya udah ktmu blom?

abo si eta tea mengatakan...

kayanya lagi di Laut, Wan? di sawah ato di rumah?haha. who knows. who knows.

Andi Suriadi mengatakan...

mmpir...

ari wibawa mengatakan...

udah ada filmnya tuh