Jumat, 28 November 2008

Pensiun

Oktober lalu saya mengunjungi kampung halaman di Karawang. Sudah lima tahun lebih tidak mengunjungi Karawang. Tentu banyak yang rubah. Apalagi kebun di depan rumah. Sekarang jadi banyak bebek. Ada sekitar dua puluh lebih. Penyebabnya adalah Wa Iban. Seseorang yang wajahnya mirip dengan orang tua yang saya kagumi: Goenawan Muhammad. Bedanya, Goenawan Muhammad itu penyair plus mantan pemred. Sedangkan Wa Iban adalah pensiunan pegawai kelurahan di Jakarta sana.

                Semenjak pensiun, Wa Iban sering menghabiskan waktu di Karawang daripada di Jakarta. “Di Karawang lebih tenang daripada di Jakarta”, kata Wa Iban suatu waktu kepada saya.

Selain mencari ketenangan, ia juga bisa bereksperimentasi ternak bebek di Karawang ini. Begitulah. Suatu waktu ketika nongkrong di teras rumah pagi-pagi, Wa Iban sudah stay tune di kebun. ‘Memonitoring’ situasi bebek-bebeknya. Sebagian lahan kebun dibuat menjadi kolam demi menampung bebek-bebek itu. Saya pun menghampirinya dengan niat agar bisa lebih akrab dengannya. Tetapi, basa-basi yang saya lontarkan seringkali tidak pernah nyambung. Penyebabnya, penyakit budek Wa Iban semakin menjadi-jadi. Jadinya lucu bila melihat kondisi Wa Iban sekarang. Kalo mau nyambung ngobrol, harus teriak keras-keras. Tapi volume suara harus dikontrol juga, karena Wa Iban suka protes kalau ada seseorang yang bicara kepadanya dengan suara yang terdengar seperti marah-marah. “Gua kaga budek-budek amat,” gitu katanya.

Penyakit budek itulah yang kadang membuat rungsing keluarga di Karawang. Suatu waktu Wa Ndas ngomong ke saya, “terkadang suka serba salah ngobrol sama si Iban,” katanya.

“Kalo ngomong keras…disangka marah. Tapi, kalo ngomong pelan…boro-boro nyahut. Kedengeran aja engga,” lalu, tambahnya lagi, “budeknya si Iban itu makin jadi pas pensiun. Waduh, ampun.”

Saya pengen ketawa ngedenger Wa Ndas ngomong gitu. Soalnya, di depan saya, tepatnya di depan rumah, ada Wa Iban yang nongkrong di kebun sedang memperhatikan bebek-bebeknya. Begitu tekun ia memonitor pergerakan bebek-bebeknya itu. Kata Wa Ndas, kelakuan Wa Iban semenjak pensiun makin tidak terprediksi. Tiba-tiba saja ia punya rencana ternak bebek.

“Masalahnya,” kata Bi Atam suatu waktu ketika saya nongkrong di warung kopinya, “Si Iban itu kagak punya pengalaman beternak bebek sebelumnya. Kok, dia ngedadak pengen ternak bebek?”

Bi Atam heran sama kelakuan Wa Iban. Geleng-geleng kepala terus kalau ngomongin Wa Iban si Bi Atam ini. Lucu. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan kelakuan Wa Iban. Saya fokus ngegares bala-bala buatan Bi Atam sama nyeruput teh botol dingin. Sumpah. Karawang panas seperti neraka, walaupun saya belum bertandang ke neraka.  

Kata Bi Atam lagi, selain mendadak ternak bebek, tiba-tiba Wa Iban berniat untuk selamanya menetap di Karawang. Rumah yang ada di Jakarta direncanakan untuk dijual. Padahal, istri serta anaknya tidak mau pindah ke Karawang. Maklum, rumah di Karawang terletak di desa yang sangat terbelakang. Di desa ini, listrik saja baru masuk sekitar enam tahun yang lalu. Jalan pun belum di aspal. Malah, ketika ku jalan-jalan disekitar desa, banyak kutemui rumah yang pada pintunya ditempeli papan bertuliskan ‘keluarga miskin’. Jadi wajar, bila keluarga Wa Iban di Jakarta yang dianugerahi oleh listrik dan segala kemudahan lainnya yang ditawarkan oleh perkotaan, harus mikir dua kali bila ingin pindah ke desa yang tertinggal.

Tapi, intinya tersirat dalam cerita-cerita yang kudengar, bahwa Wa Iban menginginkan sebuah ketenangan dalam menjalani masa pensiun. Namun, penerjemahan ‘pencarian ketenangan masa pensiun’ ini ketika dipraktekkan seringkali menghasilkan cerita-cerita yang, bagiku, terdengar lucu dan terkadang aneh. Saya teringat kepada saudara yang lain, yaitu Wa Nurdin. Ia juga seorang pensiunan polisi. Bila Wa Iban memutuskan untuk berternak bebek semasa pensiunnya. Wa Nurdin lebih kepada pendalaman agama. Tiba-tiba saja buku-buku tentang agama terserak di rak bukunya. Bersanding dengan buku-buku tentang hukum yang selama ini dikoleksinya. Lalu, perilakunya juga ada yang aneh. Jadi, ia selalu mengikuti istrinya kemana-mana. Terkadang istrinya itu sering risih sendiri. Malah istrinya itu suka makin rungsing ketika keluar rumah kelewat batas. Telepon selularnya pasti terus-terusan bunyi. Begitulah. Semenjak pensiun, selain mendalami agama, Wa Nurdin juga mencari kesibukan baru. Kabar terakhir yang kudengar, ia sedang mencoba peruntungan di dunia politik. Baguslah, mungkin dengan begitu, saya bisa dapat koneksi politik.

Wa Iban, Wa Nurdin. Banyak yang rubah dari kedua orang itu. Dulunya gini, sekarang gitu. Sebelum pensiun, Wa Iban sama Wa Nurdin, kelakuannya begitu. Pas pensiun, kelakuannya jadi begini. Jadi, ada dua hal yang saya tangkap melihat kelakuan kedua orang itu. Bila menyangkut pensiun maka ada dua hal yang dibicarakan, yaitu mencari-cari ketenangan dan mencari-cari masalah baru.

  

   

 

               

5 komentar:

astri arsita mengatakan...

wah, sayah belum pernah tuh ke karawang. Boleh atuh kita main ke rumah Wa kamu bo. eits, jangan2 kamu sodaraan sama si ceuceu, diya kan urang karawang oge..

abo si eta tea mengatakan...

kalo kuat sama jalan legok sama gubuk pake rotan tambah bentuk toilet yang old school (pacilingan). Hayu! hehe.

abo si eta tea mengatakan...

si ceuceu mah dulur, Cil.

astri arsita mengatakan...

seriyus bo,
aih aih aku baru tau,
tahniah!

aku belun pernah punya sodara di lingkungan sekolah..

abo si eta tea mengatakan...

eh, heureuy. hehe