Hari-hari terakhir ini seperti komedi yang kering:
Pertama, Ratna dibui karena bualannya sendiri. Ini peristiwa
yang menggelikan, ironis sekaligus absurd. Entah apa yang mendorongnya membual
tentang penganiayaan sehingga menjadi lawakan yang sangat tidak lucu.
Ratna
sendiri sudah mengakui bualannya itu kepada publik luas. Mengakui dengan sangat
menyedihkannya. Bahkan ia mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai pembual
terbaik. Ia kemudian menyatakan alasannya membual dengan membawa-bawa bahasa
mistikal: “entah setan mana yang mendorong untuk membual”. Komplit sudah
lawakan bulan ini, Oktober 2018.
Seorang
kenalan bercerita tentang versi lain dari asal muasal bualan Ratna ini.
Awalnya, kata kenalan ini, Ratna ingin melakukan operasi plastik. Tapi, uangnya
tidak cukup. Lantas ia meminta uang kepada anaknya. Namun tidak diberi.
Akhirnya keluarlah bualan itu dari mulutnya kepada kenalannya yang banyak,
bahwa ia dianiaya, dipukuli dan sebagainya. Mungkin juga sebagai ungkapan
kekecewaan karena tidak diberi uang jajan.
Konon. Entah benar atau
tidak cerita itu. Aku sendiri belum percaya.
Bualan ini semakin tidak lucu karena terkait dengan Pilpres.
Kubu Om Prabs pontang-panting menyelematkan wajahnya sendiri karena sebelumnya
telah mengeluarkan pernyataan publik dan menciptakan buih-buih kegaduhan dan
penafsiran nyerempet-nyerempet kubu sebelah, kubu Om Joks. Tapi, setelah bualan
itu terungkap, berbaliklah kubu Om Joks menyerang. Laporan sana-sini, gugatan
sana-sini. Proses hukum lah, etika pemilu lah, bla-bla-bla. Belum lagi debat
kusir di televisi antara pembela kubu masing-masing. Goks.
Elektabilitas jadi pertaruhan besar karena bualan yang tidak
bermutu.
Ini sedang dalam rangka politik elektoral. Rutinitas yang sudah
terkontaminasi mitos demokrasi (?) representatif (?) egalitarian (?). Pada
dasarnya, kita bisa melihat elit-elit mengambil celah dari peristiwa ini. Bisa
jadi ambil peluang, ngatrol elektabilitas. Bebaslah.
Tapi, bagaimana dengan rakyat kebanyakan?
Yah, yang namanya rakyat bisa jadi konsep imajiner dan abstrak.
Seringnya jadi angka-angka statistik. Agregat yang ditarik dari sampel-sampel
partikular sebuah populasi.
Di peristiwa bualan Ratna, rakyat pasti cukup jadi penonton saja
di berbagai jenis media. Rakyat bisa mengomentari atau membagi-bagi tautan beritanya
dengan menyisipkan status-status maha benar ala warganet. Masyarakat tontonan.
Tapi, bagi yang punya situs berita online pasti senang karena pancingan
tautannya bisa berhasil. Setidaknya jadi punya bekal ongkos buat esok hari.
Yang punya social network system juga tentram karena user budimannya aktif. Itu
artinya bahan presentasi buat pengiklan bisa semakin meyakinkan.
Dipikir-pikir, nontonin dan ngomentarin Ratna mungkin bisa jadi
pelarian bagi Rakyat. Pelarian dari rutinitas kehidupan yang rasa-rasanya
semakin tidak menentu. Hitung-hitungan ongkos sehari-hari kini serasa serba
tidak jelas, kebaruan teknologi juga seperti tidak memudahkan hidup. Malah
rasa-rasanya semakin meresahkan: lembur tidak kunjung hilang, single payment
tapi tetap multitasking, ojol versus opang, grab car versus angkot dan
lain-lain, dan lain-lain.
Di tengah-tengah lawakan elit politik yang tidak lucu itu, alam
baru saja menunjukkan “realitasnya yang objektif”.
Alam menunjukkan hakikatnya tanpa terpengaruh oleh kemauan manusia.
Alam juga menunjukkan ontologinya yang kausalistik dan bebas dari segala macam
interpretasi manusia terhadapnya: aktifitas sesar Palu Koro yang kemudian
menjadi penyebab gempa, tsunami, dan likuifaksi di Palu-Donggala. Ini merupakan
bencana alam yang kesedihannya tidak terperi. Jumlah korban yang mencapai
ribuan membuat perasaan berkecamuk semakin tidak menentu.
Alam tidak menunggu persetujuan kita untuk menunjukkan wajah
yang apa adanya. Ia berjalan dengan prinsip kausalitas, dimana ada sebab, di situ
ada akibat. Dan manusia, pada titik seperti ini, sudah bukan gayanya lagi
berpikir bahwa segala sesuatunya berpusat kepada dirinya seorang: manusia yang
menaklukkan alam sejak abad renaisans, revolusi industri sampai sekarang.
Nyatanya, manusia seringkali pontang-panting ketika “wajah alam” yang apa
adanya seperti tsunami meluluh lantakkan fondasi ekonomi, politik, sosial,
budaya manusia yang telah dibangun sekian lama dalam sekejap saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar