"Religion
is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless people and the
soul of soulless conditions. It's the opium of the people." -Karl
Marx.
Akan selalu ingat ketika sepupuku mengenalkan Dog Eat Dog, sebuah band asal New
Jersey yang menggabungkan genre hardcore dan rap. Aku masih kelas 1 SMP sekitar
tahun 1997 dan momen itu menjadi salah satu gerbang masuk terhadap musik yang
terus terpupuk sampai sekarang.
Saat itu musik underground masih sangat bergairah. Setiap minggu selalu diadakan panggung musik di GOR Saparua. Terkadang, dalam satu acara, bisa manggung puluhan band dengan genre yang berbeda sehingga menghasilkan acara yang campur aduk mendekati chaotic. Punk rock, reggae, black metal, sampai hardcore, bisa bertumpuk sekaligus dalam satu tempat.
Di masa itu juga seakan lumrah bila fans suatu genre mencoba membuat perkumpulan sendiri. Perkumpulan, yang bila dipikir-pikir lagi, nyerempet-nyerempet gangster. Contoh mengenai hal ini adalah ketika teman sekolahku menawarkan sebuah kartu member punk. Aku tidak bisa melupakan gambar kartunya: seorang punk berambut mohawk, dia menjulurkan lidahnya sembari masturbasi. Sungguh visual yang anonoh.
Teman yang menawariku kartu member punk itu, Arif, mengatakan sebaiknya aku membeli kartu member itu bila senang dengar musik punk. Biar diakui, katanya. Saran yang kuterima saja waktu itu. Penerimaan yang cukup bodoh, harus kuakui.
Tak jauh berbeda dengan Arif, sepupuku juga menyarankan aku mendengarkan Dog Eat Dog bila senang mendengarkan hardcore. Bagi sepupuku, menjadi "anak hardcore" saat itu belumlah sah bila tidak pernah mendengarkan Dog Eat Dog. Sarannya kuterima. Dengan menabung beberapa minggu, akhirnya aku berhasil membeli kaset Dog Eat Dog album Play Games di toko musik di daerah Dago yang kini telah bangkrut.
Aku selalu beranggapan masa-masa SMP menjadi masa yang kritikal bagi perkembangan diriku sampai sekarang. Di masa itulah puncak kenakalan remaja terjadi dan yang terutama, kegemaran akan musik berawal. Koleksi kaset secara perlahan semakin bertambah. Selalu muncul rasa tidak puas, penasaran, dan antusiasme, ketika menemukan band unik dan musik aneh.
Sensasi audial itu seakan-akan sudah menjadi candu. Selalu muncul perasaan "ingin lebih dari yang sudah-sudah" bila menyangkut pengalaman audial seperti ini. Kalau album Built to Last-nya Sick Of It All sudah sangat mahabagus dalam katalog hardcore, apakah ada lagi band lain yang menyerupainya atau bahkan melampauinya? Bila album Live at Budokan-nya Stormtroopers of Death sangat super keren, dimana lagi mencari kekerenan seperti ini? Pengalaman batiniah seperti itu, meski menyiksa bila berhadapan dengan "kekuatan kantong", namun ada kenikmatan yang entah-gimana-sukar-didefinisikan ketika mendengarkan musik yang ya-tuhan-anjing-banget-bagusnya.
Bahkan mendengarkan musik pada masa itu, aku seolah-olah seperti sedang membuat altar pemujaan sendiri. Sepulang sekolah, aku mengurung diri di dalam kamar, kemudian menyetel kaset Roots-nya Sepultura. Dengan volume yang sangat kencang saat itu, aku mulai headbang, pogo, jingkrak-jingkrak dengan posisi tubuh menghadap radio...dan sendirian. Memang seperti orang gila, kadang aku membayangkan ada di tengah-tengah moshpit, kadang juga aku membayangkan sedang melakukan shredding di hadapan ribuan massa sekelas penonton konser Pantera tahun 1991 di Moskow.
Pengalaman batiniah seperti itu sampai sekarang masih ada, meski "altar pemujaan" seperti SMP dulu sudah tidak dilakukan lagi. Antara malu sendiri dan fisik tidak sebugar seperti SMP, membuatku lebih memilih berbaring di kasur atau melamun sambil merokok ketika mendengarkan musik. Kesenangan mendengarkan musik kini menjadi semacam ruang kecil di pojokan riuh-rendahnya kehidupan fana. Ruang kecil yang jauh dari siapa-siapa, hanya diisi olehku dan suara dari ratusan musisi masa lalu sampai masa kini. Hanya ada suara yang kadang lembut, kadang memekakkan telinga, dan terkadang tidak tanggung-tanggung memprovokasi.
Secara personal, pengalaman audialku bagai pengalaman meditasi. Sebuah cara untuk sekadar menenangkan diri, mengendurkan syaraf di tengah hiruk pikuk kekacauan duniawi dan kecemasan eksistensi profan umat manusia pada umumnya--entah itu tentang kematian atau hal-hal lainnya yang hilang tergerus waktu.
Terkadang seperti menemukan kanalnya ketika melodi, lirik, dan heaviness yang keluar dari speaker itu terasa pas dengan hal-hal yang telah mengendap sebagai hasil dari pembauran dengan masyarakat. Endapan ampas dari kelelahan luar biasa karena menekan ego, mengganti beberapa hal dari dirimu yang dirasa tidak sesuai dengan lingkungan kerja, lingkungan norma-norma kemasyarakatan.
Musik bagiku sama dengan kutipan Marx tentang agama, sebagai candu. Memang Marx di negara ini sudah dipersetankan sedemikian rupa. Terlebih lagi kutipan seperti itu, bagi kaum antipati, telah menjadi peneguh, pembenar pemberangusan ajaran Marx yang direduksi sebagai ajaran ateis semata.
Saat itu musik underground masih sangat bergairah. Setiap minggu selalu diadakan panggung musik di GOR Saparua. Terkadang, dalam satu acara, bisa manggung puluhan band dengan genre yang berbeda sehingga menghasilkan acara yang campur aduk mendekati chaotic. Punk rock, reggae, black metal, sampai hardcore, bisa bertumpuk sekaligus dalam satu tempat.
Di masa itu juga seakan lumrah bila fans suatu genre mencoba membuat perkumpulan sendiri. Perkumpulan, yang bila dipikir-pikir lagi, nyerempet-nyerempet gangster. Contoh mengenai hal ini adalah ketika teman sekolahku menawarkan sebuah kartu member punk. Aku tidak bisa melupakan gambar kartunya: seorang punk berambut mohawk, dia menjulurkan lidahnya sembari masturbasi. Sungguh visual yang anonoh.
Teman yang menawariku kartu member punk itu, Arif, mengatakan sebaiknya aku membeli kartu member itu bila senang dengar musik punk. Biar diakui, katanya. Saran yang kuterima saja waktu itu. Penerimaan yang cukup bodoh, harus kuakui.
Tak jauh berbeda dengan Arif, sepupuku juga menyarankan aku mendengarkan Dog Eat Dog bila senang mendengarkan hardcore. Bagi sepupuku, menjadi "anak hardcore" saat itu belumlah sah bila tidak pernah mendengarkan Dog Eat Dog. Sarannya kuterima. Dengan menabung beberapa minggu, akhirnya aku berhasil membeli kaset Dog Eat Dog album Play Games di toko musik di daerah Dago yang kini telah bangkrut.
Aku selalu beranggapan masa-masa SMP menjadi masa yang kritikal bagi perkembangan diriku sampai sekarang. Di masa itulah puncak kenakalan remaja terjadi dan yang terutama, kegemaran akan musik berawal. Koleksi kaset secara perlahan semakin bertambah. Selalu muncul rasa tidak puas, penasaran, dan antusiasme, ketika menemukan band unik dan musik aneh.
Sensasi audial itu seakan-akan sudah menjadi candu. Selalu muncul perasaan "ingin lebih dari yang sudah-sudah" bila menyangkut pengalaman audial seperti ini. Kalau album Built to Last-nya Sick Of It All sudah sangat mahabagus dalam katalog hardcore, apakah ada lagi band lain yang menyerupainya atau bahkan melampauinya? Bila album Live at Budokan-nya Stormtroopers of Death sangat super keren, dimana lagi mencari kekerenan seperti ini? Pengalaman batiniah seperti itu, meski menyiksa bila berhadapan dengan "kekuatan kantong", namun ada kenikmatan yang entah-gimana-sukar-didefinisikan ketika mendengarkan musik yang ya-tuhan-anjing-banget-bagusnya.
Bahkan mendengarkan musik pada masa itu, aku seolah-olah seperti sedang membuat altar pemujaan sendiri. Sepulang sekolah, aku mengurung diri di dalam kamar, kemudian menyetel kaset Roots-nya Sepultura. Dengan volume yang sangat kencang saat itu, aku mulai headbang, pogo, jingkrak-jingkrak dengan posisi tubuh menghadap radio...dan sendirian. Memang seperti orang gila, kadang aku membayangkan ada di tengah-tengah moshpit, kadang juga aku membayangkan sedang melakukan shredding di hadapan ribuan massa sekelas penonton konser Pantera tahun 1991 di Moskow.
Pengalaman batiniah seperti itu sampai sekarang masih ada, meski "altar pemujaan" seperti SMP dulu sudah tidak dilakukan lagi. Antara malu sendiri dan fisik tidak sebugar seperti SMP, membuatku lebih memilih berbaring di kasur atau melamun sambil merokok ketika mendengarkan musik. Kesenangan mendengarkan musik kini menjadi semacam ruang kecil di pojokan riuh-rendahnya kehidupan fana. Ruang kecil yang jauh dari siapa-siapa, hanya diisi olehku dan suara dari ratusan musisi masa lalu sampai masa kini. Hanya ada suara yang kadang lembut, kadang memekakkan telinga, dan terkadang tidak tanggung-tanggung memprovokasi.
Secara personal, pengalaman audialku bagai pengalaman meditasi. Sebuah cara untuk sekadar menenangkan diri, mengendurkan syaraf di tengah hiruk pikuk kekacauan duniawi dan kecemasan eksistensi profan umat manusia pada umumnya--entah itu tentang kematian atau hal-hal lainnya yang hilang tergerus waktu.
Terkadang seperti menemukan kanalnya ketika melodi, lirik, dan heaviness yang keluar dari speaker itu terasa pas dengan hal-hal yang telah mengendap sebagai hasil dari pembauran dengan masyarakat. Endapan ampas dari kelelahan luar biasa karena menekan ego, mengganti beberapa hal dari dirimu yang dirasa tidak sesuai dengan lingkungan kerja, lingkungan norma-norma kemasyarakatan.
Musik bagiku sama dengan kutipan Marx tentang agama, sebagai candu. Memang Marx di negara ini sudah dipersetankan sedemikian rupa. Terlebih lagi kutipan seperti itu, bagi kaum antipati, telah menjadi peneguh, pembenar pemberangusan ajaran Marx yang direduksi sebagai ajaran ateis semata.
Namun bagiku kutipan itu tidak menunjukkan sikap ateis. Aku lebih memandang Marx mencoba menunjukkan sikap manusia terhadap agama, bagaimana kita memperlakukan agama: sebagai ungkapan, curahan, keluh kesah, terhadap kesemerawutan hidup di dunia.
Dalam bentuk paling simpel, di episode-episode sinetron kadang kita melihat tokoh protagonis menggunakan mukena sambil berlinang air mata mengungkapkan kesedihannya dijadikan istri simpanan kepada Tuhannya. Bersimpuh di atas sajadah, dengan telapak tangan terangkat sejajar dada dan kepala menengadah, sang protagonis berdoa dengan cucuran air mata yang seakan tanpa henti kepada Tuhan agar nasibnya tidak separah seperti sekarang yang dimadu oleh seorang pengusaha, semua hanya karena orang tuanya memiliki hutang yang tidak mungkin terbayar. Agama menjadi sarana pengungkapan manusia atas hal-hal yang menimpa dirinya. Dalam konteks kutipan Marx, ungkapan dari kondisi yang tertindas.
Kutipan Marx sebenarnya cukup membingungkan, karena dia bisa ditafsirkan dengan sangat luas, dan maknanya terasa ganda. Di satu sisi, ia memberikan hikmah tentang agama yang menjadi ungkapan makhluk yang tertindas. Di sisi lain, agama menjadi sarana penguasa negeri untuk menggiring massa ke dalam perspektif elit penguasa (hegemoni) karena sifatnya yang seperti candu. Contoh sederhana, buaian surgawi serba sakral (dan bidadarinya) yang cukup efektif mengubah manusia menjadi mesin tempur, bukan tidak mungkin dimanfaatkan penguasa untuk agenda politik tertentu.
Terlepas dari kutipannya yang membingungkan, aku jadi membayangkan manusia sebagai gunung volkano aktif. Harus ada sarana agar lava yang terkandung di dalamnya tersalurkan ke luar dan salah satu sarana yang memungkinkan lava itu keluar adalah agama. Ada yang bergejolak di dalam kehidupan manusia dan manusia mengungkapkannya melalui ritus-ritus agama.
Dan setelah gejolak itu kemudian tersalurkan, sejumlah pintu koridor pun terbuka untuk mengarahkannya ke berbagai kemungkinan. Dalam persoalan yang paling sederhana, kemungkinan itu mengarah kepada pilihan-pilihan: melawan balik, mengubah situasi yang ada, atau hanya tenggelam melafalkan ayat-ayat berumur ratusan tahun.
Di titik seperti ini, aku mengandaikan kesan manusia atas kondisinya yang diungkapkan melalui agama telah menjadi bahan bakar penggerak untuk memilih dalam kemungkinan-kemungkinan. Inilah makna ungkapan "religion as the heart of the heartless people". Adanya doa-doa keluh kesah manusia atas kondisi-kondisinya, menunjukkan bahwa dunia ini tidak adem ayem saja. Tapi ada denyut nadi, ada sebuah gejolak dalam kehidupan ini. Gejolak kehidupan, yang dalam konteks Marx, diselimuti oleh sejarah perampasan oleh elit pemegang alat produksi dan pranata politik terhadap mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan akses, yakni kita kebanyakan, para kaum pekerja dan lumpen proletariat.
Tidak ubahnya dengan agama, begitulah aku memperlakukan musik. Ia menjadi ungkapan keluh kesah, menjadi jiwa, menjadi bahan bakar, dan amunisi, meski ia pun rentan menjadi penggiring hegemonik oleh kelas kapitalis.
NB: pertanyaan selanjutnya, bila keadaan kemudian baik-baik saja dan tidak ada lagi manusia yang perlu mengungkapkan keluh kesah, apakah itu menjadi akhir dari agama dan musik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar