Rabu, 05 Oktober 2016

Membaca Metamorfosis Kafka






I

Mengisahkan seseorang menjadi sebuah kecoa akan tampak absurd. Tapi, membaca kisah seperti itu, ternyata juga meninggalkan kesan. 
Entah bagaimana tercetus ide dalam benak Franz Kafka untuk menulis kisah seorang salesman yang berubah menjadi kecoa. Kisah yang dia tuliskan dalam cerpen berjudul "Metamorfosis" cukup aneh, unik, dan suram.

Di satu sisi, kisah itu memang bukan main kepalang absurdnya. Tapi di sisi yang lain, Kafka seperti sedang berupaya menuliskan sebuah dunia pekerja rendahan dalam lingkungan industri yang suram dan menjadi menjijikan karenanya. Menjijikan, terutama ketika memikirkan pilihan Kafka yang jatuh kepada kecoa sebagai salah satu elemen sentral cerpennya. Alih-alih memilih musang, anoa, atau komodo, Kafka lebih memilih serangga yang dikenal hidup di tempat-tempat kotor, jorok, dan tergelap dari sudut sebuah bangunan atau jalanan sekalipun. Tempat-tempat yang bagi kebanyakan manusia seringkali dianggap menjijikan.

"Metamorfosis" menceritakan seorang salesman bernama Gregor Samsa yang, entah bagaimana, suatu pagi terbangun menjadi kecoa. Awalnya Gregor mengira itu hanya mimpi, tapi ternyata bukan. Singkat cerita, perubahan itu telah membuat Ayah, Ibu dan Kakaknya, panik. Seisi keluarga menjadi gempar.

Drama yang paling menentukan adalah pekerjaan Gregor sebagai sales yang terpaksa harus dilepas. Padahal, sudah sekitar 10 tahun Gregor bekerja di sebuah perusahaan dimana Ayahnya memiliki hutang. Gregor sebelumnya telah membuat janji kepada dirinya sendiri, bila waktu kerja selama 15 tahun sudah dibayar tuntas olehnya sebagai penebusan hutang sang ayah, dia akan mengundurkan diri. Namun metamorfosis aneh yang menimpa dirinya itu terpaksa membuatnya membuang jauh-jauh segala janji. Begitu juga janji yang  dia ikrarkan kepada dirinya sendiri untuk menyekolahkan kakaknya di sebuah sekolah musik (kakaknya memiliki bakat bermain biola).

Namun kenyataan yang dihadapinya kemudian, Gregor harus bersusah payah, memakan waktu berjam-jam, hanya untuk bisa bangkit dari kasur (setelah berubah menjadi kecoa, punggungnya tidak seluwes seperti sedia kala). Dia hanya bisa mengurung diri di dalam kamar. Seluruh anggota keluarganya merasa terlalu jijik untuk bisa melihat dirinya secara langsung. Ikatan darah dan daging dengan anggota keluarga adalah satu-satunya alasan Gregor masih bisa bersembunyi di kamarnya, meskipun dalam rasa sunyi yang dalam dan dengan keadaan yang terasing.

Setiap hari, Grete (kakak Gregor) masih cukup baik untuk mau menyediakan makanan untuknya. Meskipun dengan cara yang cukup aneh (Gregor kerap bersembunyi di dalam kasur bila terdengar suara Grete masuk ke kamar untuk menaruh makan dan minum). Hanya kakaknya lah yang tidak terlalu takut memasuki kamar Gregor. Tidak demikian dengan ibu dan bapaknya. Pernah, suatu waktu ibu Gregor masuk ke kamar untuk beres-beres, tapi dia langsung histeris dan pingsan ketika secara tidak sengaja melihat wujud Gregor.

II

Suasana kisah Gregor ketika berubah menjadi kecoa sebenarnya cukup datar. Satu-satunya pengikat bagiku untuk terus membaca hanya karena penasaran mengetahui kisah akhirnya. Dan ketika ku membaca sampai kisah akhir, kesannya cukup membingungkan. Ada beragam warna di sana, di satu sisi aku merasa ceritanya masih terasa datar, tapi seperti ada nuansa kegetiran dan hal-hal kelam lainnya.

Dalam detik-detik menjelang kematiannya, Gregor saat itu terbangun pukul tiga pagi. Dengan berbagai hal yang berputar di dalam benaknya dan perasaan hampa yang bergelayut, Gregor melihat keluar jendela kamarnya. Cahaya pagi sedikit-sedikit sudah mulai terlihat dari jendela. Di sana, di tengah-tengah perenungannya, Gregor menghembuskan nafas terakhir.

“”What now?" Gregor asked himself and looked around him in the darkness. He soon made the discovery that he could no longer move at all. He was not surprised at that. On the contrary, it struck him as unnatural that up to this point he had really been able up to move around with these thin little legs. Besides he felt relatively content. True, he had pains throughout his entire body, but it seemed to him that they were gradually becoming weaker and weaker and would finally go away completely. The rotten apple in his back and the inflamed surrounding area, entirely covered with white dust, he hardly noticed. He remembered his family with deep feelings of love. In this business, his own thought that he had to disappear was, if possible, even more decisive than his sister's. He remained in this state of empty and peaceful reflection until the tower clock struck three o'clock in the morning. From the window he witnessed the beginning of the general dawning outside. Then without willing it, his head sank all the way down, and from his nostrils flowed out weakly his last breath.” (terjemahan Ian Johnston, www.kafka.org).

Kematian Gregor saat itu disebabkan oleh akumulasi luka yang dialaminya. Luka yang berawal dari kejadian ketika Mrs Samsa (Ibu Gregor) yang pingsan karena histeris melihat penampakannya. Mr Samsa (Ayah Gregor) rupanya marah. Dia kemudian masuk ke kamar Gregor untuk melampiaskan kekesalannya. Sebuah apel busuk pun melayang dan menancap di tubuh Gregor. Kekisruhan itu tidak berlangsung lama, seiring Mrs Samsa dan Grete (kakak Gregor) menarik Mr Samsa keluar kamar.

Namun Gregor tetap  di kamar sendirian. Sampai akhir hayatnya, apel busuk yang menancap di tubuh Gregor itu tidak tercabut. Tidak ada pengobatan yang diberikan kepadanya, bahkan oleh anggota keluarganya. Mereka semua tetap cukup takut dan jijik untuk mau berhadapan langsung 
dengan Gregor. 

III

Bila sebuah tulisan merupakan refleksi penulisnya, apakah seperti demikian Kafka merefleksikan dunia industri? Dunia yang absurd, menjijikan bak kecoa dan seolah-olah tanpa harapan?

Pertanyaan itu masih kusimpan sampai kini bila mengingat cerpen Kafka. Sembari pada saat bersamaan, aku seperti merasakan adanya sebuah keterwakilan ketika membaca keseluruhan cerpen itu.

Ada nilai-nilai sederhana yang terasa dekat dengan keseharian ketika melihat Metamorfosis. Dibalik keabsurdannya, ada persoalan sehari-hari yang dekat. Sebutlah itu tumpukan hutang yang menggelayuti pikiran Gregor sehingga dia bersikeras meyakinkan pegawai Tata Usaha agar tidak memecatnya hanya karena dia berubah menjadi kecoa (betapa absurd!). Kemudian bagaimana Ayah Gregor yang staminanya mengendur oleh umur terpaksa kembali mengenakan baju kerjanya karena kondisi keuangan keluarga yang semakin morat-marit setelah metamorfosis Gregor. Sebuah potret keluarga miskin yang ripuh.

Mengingat potongan cerita itu, seperti merasakan sesuatu yang miris, sebenarnya. Di satu sisi, kamu harus rela mengemis kepada atasanmu di kantor hanya untuk tidak dipecat. Ada ketergantungan yang sangat besar, sebuah “perasaan” ketidakberdayaan akut, yang diselimuti oleh kekhawatiran terhadap fakta bahwa ketiadaan uang bisa menjatuhkanmu ke gelapnya jurang kemiskinan.  Sementara di sisi lain, ada nilai-nilai yang dekat—kalau tidak ingin dibilang merefleksikan-- suasana psikologis para pekerja, karyawan, atau apapun istilahnya, pada saat ini.

Dan berbicara keabsurdan, mungkin segala hal yang berjalan di dunia nyata saat ini juga absurd. Hanya mungkin kita tidak pernah memikirkannya. Seperti yang sudah-sudah, kita hanya menjalani hari demi hari, menyelesaikan rutinitas yang ada dan akhirnya kita hilang dalam keramaian.

Namun pernahkah kita dengar, belum lama ini sembilan perempuan dari Rembang, Jawa Tengah mengecor kaki mereka? Pernahkah kita dengar, setiap hari kamis, sekelompok ibu-ibu berdiri di depan istana negara, mengenakan baju hitam dan memegang payung hitam? Pernahkah kita dengar, seseorang bernama Salim Kancil dari daerah Desa Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur?

Apa yang dilakukan mereka akan “absurd” bila disandingkan dengan rutinitas sehari-hari orang kota yang selalu mengalami pengulangan dan cenderung sama polanya selama 5 hari dalam sepekan. Mengutip definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang absurd, apa yang menimpa orang-orang itu “tidak masuk akal; mustahil”. Namun apa yang tertera dalam definisi, sering hanya mencerminkan puncak sebuah gunung di lautan. Di balik definisi, dalam hal ini definisi absurd, terkadang bisa ada persoalan yang inheren, yakni penindasan.   

Tidak ada komentar: