I
Mengisahkan seseorang menjadi sebuah kecoa akan tampak absurd. Tapi,
membaca kisah seperti itu, ternyata juga meninggalkan kesan.
Entah bagaimana tercetus ide dalam benak Franz Kafka untuk menulis kisah
seorang salesman yang berubah menjadi kecoa. Kisah yang dia tuliskan dalam
cerpen berjudul "Metamorfosis" cukup aneh, unik, dan suram.
Di satu sisi, kisah itu memang bukan main kepalang absurdnya. Tapi di sisi
yang lain, Kafka seperti sedang berupaya menuliskan sebuah dunia pekerja
rendahan dalam lingkungan industri yang suram dan menjadi menjijikan karenanya.
Menjijikan, terutama ketika memikirkan pilihan Kafka yang jatuh kepada kecoa
sebagai salah satu elemen sentral cerpennya. Alih-alih memilih musang, anoa,
atau komodo, Kafka lebih memilih serangga yang dikenal hidup di tempat-tempat
kotor, jorok, dan tergelap dari sudut sebuah bangunan atau jalanan sekalipun.
Tempat-tempat yang bagi kebanyakan manusia seringkali dianggap menjijikan.
"Metamorfosis" menceritakan seorang salesman bernama Gregor Samsa
yang, entah bagaimana, suatu pagi terbangun menjadi kecoa. Awalnya Gregor
mengira itu hanya mimpi, tapi ternyata bukan. Singkat cerita, perubahan itu
telah membuat Ayah, Ibu dan Kakaknya, panik. Seisi keluarga menjadi gempar.
Drama yang paling menentukan adalah pekerjaan Gregor sebagai sales yang
terpaksa harus dilepas. Padahal, sudah sekitar 10 tahun Gregor bekerja di
sebuah perusahaan dimana Ayahnya memiliki hutang. Gregor sebelumnya telah
membuat janji kepada dirinya sendiri, bila waktu kerja selama 15 tahun sudah
dibayar tuntas olehnya sebagai penebusan hutang sang ayah, dia akan
mengundurkan diri. Namun metamorfosis aneh yang menimpa dirinya itu terpaksa
membuatnya membuang jauh-jauh segala janji. Begitu juga janji yang dia
ikrarkan kepada dirinya sendiri untuk menyekolahkan kakaknya di sebuah sekolah
musik (kakaknya memiliki bakat bermain biola).
Namun kenyataan yang dihadapinya kemudian, Gregor harus bersusah payah,
memakan waktu berjam-jam, hanya untuk bisa bangkit dari kasur (setelah berubah
menjadi kecoa, punggungnya tidak seluwes seperti sedia kala). Dia hanya bisa
mengurung diri di dalam kamar. Seluruh anggota keluarganya merasa terlalu jijik
untuk bisa melihat dirinya secara langsung. Ikatan darah dan daging dengan
anggota keluarga adalah satu-satunya alasan Gregor masih bisa bersembunyi di
kamarnya, meskipun dalam rasa sunyi yang dalam dan dengan keadaan yang
terasing.
Setiap hari, Grete (kakak Gregor) masih cukup baik untuk mau menyediakan
makanan untuknya. Meskipun dengan cara yang cukup aneh (Gregor kerap
bersembunyi di dalam kasur bila terdengar suara Grete masuk ke kamar untuk
menaruh makan dan minum). Hanya kakaknya lah yang tidak terlalu takut memasuki
kamar Gregor. Tidak demikian dengan ibu dan bapaknya. Pernah, suatu waktu ibu
Gregor masuk ke kamar untuk beres-beres, tapi dia langsung histeris dan pingsan
ketika secara tidak sengaja melihat wujud Gregor.
II
Suasana kisah Gregor ketika berubah menjadi kecoa sebenarnya cukup datar.
Satu-satunya pengikat bagiku untuk terus membaca hanya karena penasaran
mengetahui kisah akhirnya. Dan ketika ku membaca sampai kisah akhir, kesannya
cukup membingungkan. Ada beragam warna di sana, di satu sisi aku merasa
ceritanya masih terasa datar, tapi seperti ada nuansa kegetiran dan hal-hal
kelam lainnya.
Dalam detik-detik menjelang kematiannya, Gregor saat itu terbangun pukul
tiga pagi. Dengan berbagai hal yang berputar di dalam benaknya dan perasaan
hampa yang bergelayut, Gregor melihat keluar jendela kamarnya. Cahaya pagi
sedikit-sedikit sudah mulai terlihat dari jendela. Di sana, di tengah-tengah
perenungannya, Gregor menghembuskan nafas terakhir.
“”What now?" Gregor asked himself and looked around him in the
darkness. He soon made the discovery that he could no longer move at all. He
was not surprised at that. On the contrary, it struck him as unnatural that up
to this point he had really been able up to move around with these thin little
legs. Besides he felt relatively content. True, he had pains throughout his
entire body, but it seemed to him that they were gradually becoming weaker and
weaker and would finally go away completely. The rotten apple in his back and
the inflamed surrounding area, entirely covered with white dust, he hardly
noticed. He remembered his family with deep feelings of love. In this business,
his own thought that he had to disappear was, if possible, even more decisive
than his sister's. He remained in this state of empty and peaceful reflection
until the tower clock struck three o'clock in the morning. From the window he
witnessed the beginning of the general dawning outside. Then without willing
it, his head sank all the way down, and from his nostrils flowed out weakly his
last breath.” (terjemahan Ian Johnston, www.kafka.org).
Kematian Gregor saat itu disebabkan oleh akumulasi luka yang dialaminya.
Luka yang berawal dari kejadian ketika Mrs Samsa (Ibu Gregor) yang pingsan
karena histeris melihat penampakannya. Mr Samsa (Ayah Gregor) rupanya marah.
Dia kemudian masuk ke kamar Gregor untuk melampiaskan kekesalannya. Sebuah apel
busuk pun melayang dan menancap di tubuh Gregor. Kekisruhan itu tidak
berlangsung lama, seiring Mrs Samsa dan Grete (kakak Gregor) menarik Mr Samsa
keluar kamar.
Namun Gregor tetap di kamar sendirian. Sampai akhir hayatnya, apel
busuk yang menancap di tubuh Gregor itu tidak tercabut. Tidak ada pengobatan
yang diberikan kepadanya, bahkan oleh anggota keluarganya. Mereka semua tetap
cukup takut dan jijik untuk mau berhadapan langsung
dengan Gregor.
III
Bila sebuah tulisan merupakan refleksi penulisnya, apakah seperti demikian
Kafka merefleksikan dunia industri? Dunia yang absurd, menjijikan bak kecoa dan
seolah-olah tanpa harapan?
Pertanyaan itu masih kusimpan sampai kini bila mengingat cerpen Kafka.
Sembari pada saat bersamaan, aku seperti merasakan adanya sebuah keterwakilan
ketika membaca keseluruhan cerpen itu.
Ada nilai-nilai sederhana yang terasa dekat dengan keseharian ketika
melihat Metamorfosis. Dibalik keabsurdannya, ada persoalan sehari-hari yang
dekat. Sebutlah itu tumpukan hutang yang menggelayuti pikiran Gregor sehingga
dia bersikeras meyakinkan pegawai Tata Usaha agar tidak memecatnya hanya karena
dia berubah menjadi kecoa (betapa absurd!). Kemudian bagaimana Ayah Gregor yang
staminanya mengendur oleh umur terpaksa kembali mengenakan baju kerjanya karena
kondisi keuangan keluarga yang semakin morat-marit setelah metamorfosis Gregor.
Sebuah potret keluarga miskin yang ripuh.
Mengingat potongan cerita itu, seperti merasakan sesuatu yang miris,
sebenarnya. Di satu sisi, kamu harus rela mengemis kepada atasanmu di kantor
hanya untuk tidak dipecat. Ada ketergantungan yang sangat besar, sebuah
“perasaan” ketidakberdayaan akut, yang diselimuti oleh kekhawatiran terhadap
fakta bahwa ketiadaan uang bisa menjatuhkanmu ke gelapnya jurang kemiskinan.
Sementara di sisi lain, ada nilai-nilai yang dekat—kalau tidak ingin
dibilang merefleksikan-- suasana psikologis para pekerja, karyawan, atau apapun
istilahnya, pada saat ini.
Dan berbicara keabsurdan, mungkin segala hal yang berjalan di dunia nyata
saat ini juga absurd. Hanya mungkin kita tidak pernah memikirkannya. Seperti
yang sudah-sudah, kita hanya menjalani hari demi hari, menyelesaikan rutinitas
yang ada dan akhirnya kita hilang dalam keramaian.
Namun pernahkah kita dengar, belum lama ini sembilan perempuan dari
Rembang, Jawa Tengah mengecor kaki mereka? Pernahkah kita dengar, setiap hari
kamis, sekelompok ibu-ibu berdiri di depan istana negara, mengenakan baju hitam
dan memegang payung hitam? Pernahkah kita dengar, seseorang bernama Salim
Kancil dari daerah Desa Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur?
Apa yang dilakukan mereka akan “absurd” bila disandingkan dengan rutinitas
sehari-hari orang kota yang selalu mengalami pengulangan dan cenderung sama
polanya selama 5 hari dalam sepekan. Mengutip definisi Kamus Besar Bahasa
Indonesia tentang absurd, apa yang menimpa orang-orang itu “tidak masuk akal;
mustahil”. Namun apa yang tertera dalam definisi, sering hanya mencerminkan
puncak sebuah gunung di lautan. Di balik definisi, dalam hal ini definisi
absurd, terkadang bisa ada persoalan yang inheren, yakni penindasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar