Jumat, 21 Oktober 2016

Banting Setir




Sudah cukup banyak kenalanku yang banting setir dari jurnalisme. Seiring umur bertambah, dan kewajiban-kewajiban baru yang menyertainya, mungkin pilihan banting setir dari dunia ini bisa dipahami. Butuh ongkos tambahan ketika kamu mulai berkeluarga, mencicil rumah, atau bahkan menghidupi anak-anakmu yang baru lahir. Dan mengandalkan penghasilan dari pekerjaan ini, untuk orang yang sudah tahap seperti itu, sepertinya cukup riskan.
 
Mungkin tidak melulu karena seseorang sudah berkeluarga saja. Keputusan untuk banting setir utamanya didasari oleh mencari pekerjaan lain yang lebih mapan. Bicara mapan, tentunya bicara soal penghasilan. Di negara ini, industri media massa memang sudah memprihatinkan. Penghasilan yang cukup tinggi, berkisar antara Rp 6 juta-7 juta bagi reporter pemula, bisa dihitung dengan jari. Sisanya masih bersinggungan tipis dengan upah minimum. Itu artinya, hidup sangat pas-pasan dengan kesempatan untuk menabung yang sangat kecil.

Bila dipikir-pikir lagi, mungkin industri media massa masuk ke dalam kasta “tersier” dibandingkan industri lain, seperti pertambangan misalnya, sehingga dalam hal upah menjadi yang paling bontot. Eksistensi perusahaan media sangat bergantung kepada industri lainnya di kasta primer dan sekunder. Perusahaan media massa sangat tergantung kepada iklan-iklan yang dikeluarkan oleh perusahaan di kasta primer dan sekunder.  

Pada umumnya, orang-orang mungkin ada yang berpikir jatuh-bangunnya media massa akan bergantung kepada pembacanya, langganannya. Tapi sebenarnya persentase iklan adalah yang paling banyak menopang keberlangsungan perusahaan media massa dibandingkan jumlah pelanggan. Adalah iklan yang pertama-tama dipikirkan media massa, bukan keinginan pembaca yang berlatar belakang warga biasa.

Posisi kasta media massa yang paling bontot dan (akibatnya) skala upah pekerjanya yang tidak besar, sudah menjadi permasalahan dasar yang rentetan dampaknya menyebar kemana-kemana. Sebutlah itu masalah kesejahteraan pekerja, kualitas berita, dan etika jurnalisme. Masalah-masalah itu, percayalah, sangat memusingkan bila dipikirkan dari waktu ke waktu. Dan sampai di titik ini, terhadap mereka yang telah banting setir dari dunia media massa, aku mengucapkan selamat dan dengan tulus ikut senang bila mereka merasa lega.

Terlepas dari persoalan kondisi media massa yang berantakan di negara ini, sebenarnya jurnalisme mempunyai kekuatan yang membuatnya terhormat. Terdapat banyak contoh tulisan jurnalistik yang isinya bisa menggugah semangat, memancing perdebatan publik, membongkar skandal, sampai mengubah arah kebijakan pemegang kekuasaan. Di situlah kehormatan karya jurnalisme.

Hanya saja, jalan menuju kehormatan sepertinya memang bukan jalan yang mulus dan datar. Cara kerja industri ini dan ketekunan orang-orang yang hidup di dalamnya akan berpengaruh dalam menapaki dunia jurnalisme yang curam, berlubang, dan berliku. 

Tidak ada komentar: