Sudah cukup banyak kenalanku yang banting setir dari jurnalisme. Seiring
umur bertambah, dan kewajiban-kewajiban baru yang menyertainya, mungkin pilihan
banting setir dari dunia ini bisa dipahami. Butuh ongkos tambahan ketika kamu
mulai berkeluarga, mencicil rumah, atau bahkan menghidupi anak-anakmu yang baru
lahir. Dan mengandalkan penghasilan dari pekerjaan ini, untuk orang yang sudah
tahap seperti itu, sepertinya cukup riskan.
Mungkin tidak melulu karena seseorang sudah berkeluarga saja. Keputusan
untuk banting setir utamanya didasari oleh mencari pekerjaan lain yang lebih mapan.
Bicara mapan, tentunya bicara soal penghasilan. Di negara ini, industri media
massa memang sudah memprihatinkan. Penghasilan yang cukup tinggi, berkisar
antara Rp 6 juta-7 juta bagi reporter pemula, bisa dihitung dengan jari.
Sisanya masih bersinggungan tipis dengan upah minimum. Itu artinya, hidup
sangat pas-pasan dengan kesempatan untuk menabung yang sangat kecil.
Bila dipikir-pikir lagi, mungkin industri media massa masuk ke dalam kasta
“tersier” dibandingkan industri lain, seperti pertambangan misalnya, sehingga
dalam hal upah menjadi yang paling bontot. Eksistensi perusahaan media sangat
bergantung kepada industri lainnya di kasta primer dan sekunder. Perusahaan
media massa sangat tergantung kepada iklan-iklan yang dikeluarkan oleh
perusahaan di kasta primer dan sekunder.
Pada umumnya, orang-orang mungkin ada yang berpikir jatuh-bangunnya media
massa akan bergantung kepada pembacanya, langganannya. Tapi sebenarnya
persentase iklan adalah yang paling banyak menopang keberlangsungan perusahaan
media massa dibandingkan jumlah pelanggan. Adalah iklan yang pertama-tama
dipikirkan media massa, bukan keinginan pembaca yang berlatar belakang warga
biasa.
Posisi kasta media massa yang paling bontot dan (akibatnya) skala upah
pekerjanya yang tidak besar, sudah menjadi permasalahan dasar yang rentetan
dampaknya menyebar kemana-kemana. Sebutlah itu masalah kesejahteraan pekerja,
kualitas berita, dan etika jurnalisme. Masalah-masalah itu, percayalah, sangat
memusingkan bila dipikirkan dari waktu ke waktu. Dan sampai di titik ini,
terhadap mereka yang telah banting setir dari dunia media massa, aku
mengucapkan selamat dan dengan tulus ikut senang bila mereka merasa lega.
Terlepas dari persoalan kondisi media massa yang berantakan di negara ini,
sebenarnya jurnalisme mempunyai kekuatan yang membuatnya terhormat. Terdapat
banyak contoh tulisan jurnalistik yang isinya bisa menggugah semangat,
memancing perdebatan publik, membongkar skandal, sampai mengubah arah kebijakan
pemegang kekuasaan. Di situlah kehormatan karya jurnalisme.
Hanya saja, jalan menuju kehormatan sepertinya memang bukan jalan yang
mulus dan datar. Cara kerja industri ini dan ketekunan orang-orang yang hidup
di dalamnya akan berpengaruh dalam menapaki dunia jurnalisme yang curam,
berlubang, dan berliku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar