Sabtu, 21 Mei 2016

Panoptikon





Mungkin yang membekas sampai saat ini adalah ketika aku mempelajari karya Karl Marx, Das Kapital Volume 1, sekitar 6-7 tahun lalu. Saat itu aku masih kuliah di Kabupaten Sumedang. Mempelajari Das Kapital dengan cukup intens sekitar dua tahun lebih pada saat itu tidaklah mudah. Tapi sepertinya  aku cukup beruntung bisa menyelesaikan pembacaan terhadap Das Kapital; cakrawala pikiran menjadi lebih terbuka.

Bertahun-tahun setelah mempelajari Das Kapital, aku tidak berpikir tahu segalanya tentang Marxisme. Masih banyak yang harus kupelajari, baik dari segi filsafatnya, segi sejarahnya, maupun segi ekonomi-politiknya. Sementara ilmu dan kehidupan sosial kini berkembang sedemikian rupa, aku merasa masih kepayahan untuk mengkontekstualisasikan ilmu Marx terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Belum lagi, keseharian dan rutinitas di dalamnya yang kujalani. Saat aku mempelajari Das Kapital, aku bertemu dengan orang-orang yang familiar dengan ide-ide di buku itu. Setidaknya aku bisa bertukar pikiran dengan mereka. Tapi kini, aku bergaul dengan orang-orang yang mungkin tidak langsung mengenal wajah Karl Marx.

Saat aku banyak bergaul dengan orang-orang yang mengenal ide Marx, optimisme hadir. Muncul kesan tentang bagaimana mengubah hidup yang membosankan, mekanistis ini, dengan berbekal ilmu yang diperoleh dari Marx. Tapi, pikiran itu adalah pikiran semasa kuliah. Masa ketika ongkos hidup masih disuplai oleh orang tua dan tidak perlu dipusingkan oleh perkara tagihan dan tuntutan keseharian. Pikiran itu hidup di masa ketika ujian sesungguhnya bahkan belum dimulai.

Kini, selepas dari kampus dan memasuki dunia industri, mempelajari atau bahkan menjalani ide Marx bukanlah perkara mudah. Begitu banyak warna dalam dinamika kehidupan. Bagaimana mengidentifikasi warna yang ada, lalu mengkontekstualisasikannya dengan analisis Marx tidaklah gampang. Perkara mengkontekstualisasikan, negatifnya, bisa jatuh ke dalam dogmatisme. Atau dengan kata lain, pembacaan yang kaku dan kolot. Bila sudah begini, terkadang dalam pergaulan sehari-hari kita tidak menjadi fleksibel. Cenderung cepat menghakimi orang lain sebagai benar dan salah. Mendingan halnya bila ternyata pemikiran yang menjadi dasar kita menghakimi orang lain benar, tapi bila penafsiran kita terhadap dasar pemikiran itu ternyata salah--karena pemahaman yang sepotong-sepotong-- bisa repot. Sudah ngotot, salah.

Terlepas dari permasalahan seperti itu, dalam keseharian, aku berada di tengah-tengah apa yang dibicarakan Marx mengenai kapitalisme. Aku dan rekan-rekan kerjaku lainnya digerakkan oleh target yang ditetapkan perusahaan. Mulai dari kami keluar rumah sampai pulang kembali ke rumah, setiap pergerakan yang kami lakukan sudah masuk ke dalam logika-logika akumulasi kapital. Mereka dan juga saya, bergerak di dalam sebuah sistem yang tersusun sedemikian rupa sejak lama lampau. Tersusun dengan berlapis, melibatkan begitu banyak orang dengan posisi-posisi kerja yang berbeda. Kami bekerja dalam satu jaringan yang secara langsung atau tidak langsung saling mempengaruhi.

Dan hidup di dalam sistem yang berjaringan seperti itu, lumrah bila kami larut di dalamnya. Larut di dalam mistifikasi-mistifikasi yang sebenarnya bisa dipertanyakan. Seperti atasan yang memarahi bawahannya karena dianggap tidak kompetitif, karena memang hidup di kota besar menuntut keuletan untuk memenangi persaingan. Lantas bawahan itu pun menelan anggapan atasannya itu. Dia lalu memperbaiki cara kerjanya dengan lembur sampai larut malam dengan perasaan campur aduk; takut sanksi sosial di kantor, takut ancaman dipecat atau pemotongan gaji. Semuanya kemudian menjadi lingkaran setan dan pada gilirannya menimbulkan sebuah permakluman; hidup di perkotaan memang harus kompetitif.

Tapi kompetitif untuk siapa dan demi apa sebagai sebuah pertanyaan, setiap orang yang mengajukan pertanyaan itu mungkin sudah mengetahui jawabannya. Sebagian besar hasil kerja yang mereka hasilkan, pastinya, bukan buat mereka seluruhnya. Namun itulah kehidupan, kata orang-orang. Sebuah permakluman.

Tentu saja ada yang tidak beres di dalam sistem ini. Tapi membicarakan perubahan sistem, bukanlah perkara gampang. Terdapat banyak hal yang mempengaruhinya; kesiapan massa, momentum, dan mungkin, sampai kesiapan jaringan lintas kontinental dari setiap unit-unit pergerakan massa. Belum lagi kesiapan menghadapi konfrontasi dengan agen-agen penyokong kapitalisme, mereka-mereka yang sudah terbiasa menikmati keuntungan dari sistem ini. Bila sudah mencapai tahap konfrontasi, itu akan menjadi hal yang sangat-sangat brutal.

Jadi, di sinilah kita, berada dalam keseharian. Di tengah-tengah massa yang bersusah payah mencari nafkah untuk menyokong kehidupannya dan keluarganya, tanpa ingin dipusingkan oleh hal-hal konseptual yang terdapat dalam marxisme. Persetan dengan teori, kata mereka, yang penting praktis saja lah, kita dapat duit dengan cara halal. Sebuah permakluman lain yang semakin mengukuhkan pragmatisme kita di jaman ini--sebuah kemenangan lain lagi bagi kapitalisme.

Pada saat bersamaan, hantaman terhadap marxisme pun kembali menunjukkan peningkatan saat ini. Mungkin berawal dari pemberitaan tentang razia polisi terhadap baju Kreator yang ada logo palu arit. Dari situ, berkembanglah wacana anti marxisme, komunisme, leninisme. Phobia yang menyelimuti bangsa ini selama puluhan tahun muncul lagi. Di lapangan, bermunculan kabar acara diskusi bertemakan marxisme seringkali diinterupsi ormas-ormas. Iklim mengembangkan marxisme sebagai sebuah ilmu tidak kunjung membaik di negeri ini. 
 
Hidup di negeri ini mungkin tergolong parah bila menyangkut marxisme. Tapi setidaknya aku merasa sepakat dengan ide Lenin; mempelajari marx yang bagus itu adalah ketika berada dalam situasi yang membosankan seperti sekarang. Situasi dimana pragmatisme sudah sedemikian akutnya. Setidaknya diri tidak akan terlalu terombang-ambing dalam kegamangan yang tidak jelas. Meskipun, sekali lagi, untuk mempelajarinya bukanlah perkara yang mudah. 

 

Tidak ada komentar: