Mungkin yang
membekas sampai saat ini adalah ketika aku mempelajari karya Karl Marx, Das
Kapital Volume 1, sekitar 6-7 tahun lalu. Saat itu aku masih kuliah di
Kabupaten Sumedang. Mempelajari Das Kapital dengan cukup intens sekitar dua
tahun lebih pada saat itu tidaklah mudah. Tapi sepertinya aku cukup beruntung bisa menyelesaikan
pembacaan terhadap Das Kapital; cakrawala pikiran menjadi lebih terbuka.
Bertahun-tahun
setelah mempelajari Das Kapital, aku tidak berpikir tahu segalanya tentang
Marxisme. Masih banyak yang harus kupelajari, baik dari segi filsafatnya, segi
sejarahnya, maupun segi ekonomi-politiknya. Sementara ilmu dan kehidupan sosial
kini berkembang sedemikian rupa, aku merasa masih kepayahan untuk
mengkontekstualisasikan ilmu Marx terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Belum lagi,
keseharian dan rutinitas di dalamnya yang kujalani. Saat aku mempelajari Das
Kapital, aku bertemu dengan orang-orang yang familiar dengan ide-ide di buku
itu. Setidaknya aku bisa bertukar pikiran dengan mereka. Tapi kini, aku bergaul
dengan orang-orang yang mungkin tidak langsung mengenal wajah Karl Marx.
Saat aku banyak
bergaul dengan orang-orang yang mengenal ide Marx, optimisme hadir. Muncul
kesan tentang bagaimana mengubah hidup yang membosankan, mekanistis ini, dengan
berbekal ilmu yang diperoleh dari Marx. Tapi, pikiran itu adalah pikiran semasa
kuliah. Masa ketika ongkos hidup masih disuplai oleh orang tua dan tidak perlu
dipusingkan oleh perkara tagihan dan tuntutan keseharian. Pikiran itu hidup di
masa ketika ujian sesungguhnya bahkan belum dimulai.
Kini, selepas dari
kampus dan memasuki dunia industri, mempelajari atau bahkan menjalani ide Marx
bukanlah perkara mudah. Begitu banyak warna dalam dinamika kehidupan. Bagaimana
mengidentifikasi warna yang ada, lalu mengkontekstualisasikannya dengan
analisis Marx tidaklah gampang. Perkara mengkontekstualisasikan, negatifnya,
bisa jatuh ke dalam dogmatisme. Atau dengan kata lain, pembacaan yang kaku dan
kolot. Bila sudah begini, terkadang dalam pergaulan sehari-hari kita tidak
menjadi fleksibel. Cenderung cepat menghakimi orang lain sebagai benar dan
salah. Mendingan halnya bila ternyata pemikiran yang menjadi dasar kita
menghakimi orang lain benar, tapi bila penafsiran kita terhadap dasar pemikiran
itu ternyata salah--karena pemahaman yang sepotong-sepotong-- bisa repot. Sudah
ngotot, salah.
Terlepas dari
permasalahan seperti itu, dalam keseharian, aku berada di tengah-tengah apa
yang dibicarakan Marx mengenai kapitalisme. Aku dan rekan-rekan kerjaku lainnya
digerakkan oleh target yang ditetapkan perusahaan. Mulai dari kami keluar rumah
sampai pulang kembali ke rumah, setiap pergerakan yang kami lakukan sudah masuk
ke dalam logika-logika akumulasi kapital. Mereka dan juga saya, bergerak di
dalam sebuah sistem yang tersusun sedemikian rupa sejak lama lampau. Tersusun
dengan berlapis, melibatkan begitu banyak orang dengan posisi-posisi kerja yang
berbeda. Kami bekerja dalam satu jaringan yang secara langsung atau tidak
langsung saling mempengaruhi.
Dan hidup di dalam
sistem yang berjaringan seperti itu, lumrah bila kami larut di dalamnya. Larut
di dalam mistifikasi-mistifikasi yang sebenarnya bisa dipertanyakan. Seperti
atasan yang memarahi bawahannya karena dianggap tidak kompetitif, karena memang
hidup di kota besar menuntut keuletan untuk memenangi persaingan. Lantas
bawahan itu pun menelan anggapan atasannya itu. Dia lalu memperbaiki cara
kerjanya dengan lembur sampai larut malam dengan perasaan campur aduk; takut
sanksi sosial di kantor, takut ancaman dipecat atau pemotongan gaji. Semuanya
kemudian menjadi lingkaran setan dan pada gilirannya menimbulkan sebuah
permakluman; hidup di perkotaan memang harus kompetitif.
Tapi kompetitif
untuk siapa dan demi apa sebagai sebuah pertanyaan, setiap orang yang
mengajukan pertanyaan itu mungkin sudah mengetahui jawabannya. Sebagian besar
hasil kerja yang mereka hasilkan, pastinya, bukan buat mereka seluruhnya. Namun
itulah kehidupan, kata orang-orang. Sebuah permakluman.
Tentu saja ada yang
tidak beres di dalam sistem ini. Tapi membicarakan perubahan sistem, bukanlah
perkara gampang. Terdapat banyak hal yang mempengaruhinya; kesiapan massa,
momentum, dan mungkin, sampai kesiapan jaringan lintas kontinental dari setiap
unit-unit pergerakan massa. Belum lagi kesiapan menghadapi konfrontasi dengan
agen-agen penyokong kapitalisme, mereka-mereka yang sudah terbiasa menikmati
keuntungan dari sistem ini. Bila sudah mencapai tahap konfrontasi, itu akan
menjadi hal yang sangat-sangat brutal.
Jadi, di sinilah
kita, berada dalam keseharian. Di tengah-tengah massa yang bersusah payah
mencari nafkah untuk menyokong kehidupannya dan keluarganya, tanpa ingin
dipusingkan oleh hal-hal konseptual yang terdapat dalam marxisme. Persetan
dengan teori, kata mereka, yang penting praktis saja lah, kita dapat duit
dengan cara halal. Sebuah permakluman lain yang semakin mengukuhkan pragmatisme
kita di jaman ini--sebuah kemenangan lain lagi bagi kapitalisme.
Pada saat bersamaan,
hantaman terhadap marxisme pun kembali menunjukkan peningkatan saat ini.
Mungkin berawal dari pemberitaan tentang razia polisi terhadap baju Kreator
yang ada logo palu arit. Dari situ, berkembanglah wacana anti marxisme, komunisme,
leninisme. Phobia yang menyelimuti bangsa ini selama puluhan tahun muncul lagi.
Di lapangan, bermunculan kabar acara diskusi bertemakan marxisme seringkali
diinterupsi ormas-ormas. Iklim mengembangkan marxisme sebagai sebuah ilmu tidak
kunjung membaik di negeri ini.
Hidup di negeri ini
mungkin tergolong parah bila menyangkut marxisme. Tapi setidaknya aku merasa
sepakat dengan ide Lenin; mempelajari marx yang bagus itu adalah ketika berada
dalam situasi yang membosankan seperti sekarang. Situasi dimana pragmatisme
sudah sedemikian akutnya. Setidaknya diri tidak akan terlalu terombang-ambing
dalam kegamangan yang tidak jelas. Meskipun, sekali lagi, untuk mempelajarinya
bukanlah perkara yang mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar