Sewaktu sekolah dulu, Bapak
sering memaksa untuk berangkat ke masjid tiap Minggu pagi. Mesjidnya
terletak di Jl. Citarum, Bandung. Istiqamah nama masjidnya. Tiap akhir
pekan, Masjid Istiqamah memang sering mengadakan semacam ceramah
keagamaan.
Sebenarnya
saya tidak terlalu senang mendengarkan ceramah keagamaan. Apalagi kalau
ceramah itu diadakan jam 6 pagi. Di jam-jam seperti itu, tidur pulas
adalah sesuatu kenikmatan yang nampol ketimbang mendengarkan orang
memberi khotbah.
Tapi
saya tidak enak untuk menolak ajakan Bapak. Masalahnya, uang jajan
masih berasal dari kantong beliau. Akhirnya, mau tidak mau, saya
memaksakan diri untuk bangun subuh, dan mengikuti kemauan beliau.
Walaupun harus merutuk ribuan kali di dalam hati.
Di
masjid yang kami kunjungi itu biasanya selalu ada pedagang-pedagang
buku dadakan. Khusus hari Minggu, pedagang-pedagang buku itu biasanya
membuka lapak di depan pelataran masjid. Jenis-jenis bukunya sudah bisa
ditebak. Kebanyakan bertema masalah keagamaan. Tema yang tidak terlalu
menarik perhatian saya.
Suatu
waktu, sehabis mendengarkan ceramah, Bapak melihat-lihat buku di salah
satu lapak pedagang. Saya sedikit ingat sosok pedagang buku yang
dikunjungi Bapak waktu itu. Dia sudah tua (sekitar 55-60 tahun), memakai
kacamata tebal, rambutnya beruban dan sedikit acak-acakan. Setelan
busananya pun sangat “1970”: celana kain berwarna coklat tua yang
sedikit ‘cutbray’, dan kemeja ketat yang kerahnya berukuran cukup besar.
Satu hal lagi yang saya perhatikan, orang tua itu duduk di trotoar dan
seringkali menundukan kepala, seperti sedang merenung. Seolah-olah tidak
begitu perduli dengan orang-orang yang melihat lapaknya. Lalu lapaknya
pun paling terlihat sederhana, terutama bila melihat sedikitnya buku
yang dijajakan olehnya.
Saat
melihat-lihat buku yang dijajakan oleh orang tua itu, Bapak melihat
sebuah buku berjudul “Kiat Jadi Penulis dan Wartawan”. Buku yang
dipegang oleh Bapak itu ukurannya sangat kecil. Mungkin tepat bila
disebut dengan buku saku. Halamannya pun tidak terlalu tebal, sekitar 60
halaman.
Saat
ku melihat halaman belakangnya, ternyata foto penulisnya adalah si
orang tua itu. Roesli Lahani Yunus, nama penulis buku itu. Di halaman
biografi tentang penulis buku itu tertulis, bahwa Roesli Lahani Yunus
adalah seorang wartawan, penulis lepas, dan pendiri Balai Pendidikan
Jurnalistik (BPJ)-semacam tempat kursus menulis jarak jauh. Selain itu,
di halaman biografi itu juga tertulis, bahwa beliau memiliki hobi
mengkliping koran dengan berbagai tema yang dia senangi.
Bapakku
ternyata tertarik dengan buku itu, dan dia berniat untuk membelinya.
Tapi, saat Bapakku menanyakan harganya, Roesli malah menanggapinya
dengan sikap yang bisa dibilang skeptis.
“Kalau tak punya niat menulis lebih baik jangan dibeli saja, Pak. Kalau memang ingin menulis, harus punya tekad,” katanya.
Itu
orang tua memang aneh. Setiap pedagang pasti senang bila ada orang yang
tertarik dengan jajaannya. Tapi orang tua itu malah bersikap seperti
demikian. Rada eksentrik.
“Ga apa-apa. Ini buat anak saya, Pak. Biar dia baca-baca,” balas Bapakku.
Akhirnya
orang tua itu melepaskan bukunya untuk dibeli oleh Bapak. Saya lupa
berapa harganya. Pastinya tidak melebihi Rp 15.000,00. Di perjalanan
pulang ke rumah, Bapak memberi buku yang baru dibelinya itu kepadaku.
Mau tidak mau, kuterima saja buku itu. Lumayan.
Sebenarnya
saya tidak pernah memiliki niat serius dalam dunia kepenulisan atau
semacamnya. Menulis cerpen itu susah. Apalagi novel. Jangankan menulis
non-fiksi. Menulis fiksi saja susah. Saya pernah belajar menulis
artikel. Dan saya mendapat nilai D untuk pelajaran itu. Dan nilai itu
tidak pernah diperbaiki olehku. Terlalu malas untuk kuperbaiki. Jadi
kubiarkan saja nilai D itu terpampang jelas di ijazah. Begitulah. Saya
tidak pernah berniat mendalami dunia kepengarangan.
Hanya
saja, saya ingat sosok orang tua yang duduk di pelataran Masjid
Istiqomah itu. Hidupnya sepertinya serba sederhana. Kalau melihat secuil
profil di buku yang dia buat, disitu tercatat dia berpengalaman sebagai
wartawan daerah, dan telah cukup malang melintang di dunia surat kabar,
seperti Harian Indonesia, Bandung Pos, dan Pedoman. Lalu
tulisan-tulisan lepasnya pun sudah banyak dimuat di surat kabar, seperti
Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Kompas, dan Panji Masyarakat.
Dalam
sebuah wawancara dengan majalah Ummi, sempat disinggung mengenai sosok
Roesli Lahani Yunus yang kurang dikenal oleh orang-orang, walaupun
beliau telah begitu aktif dalam dunia pers, dan tulis menulis. Waktu itu
majalah Ummi menyinggung dengan mengaitkannya juga kepada faktor
geografis tempat dimana Roesli tinggal, yakni Bandung.
Dalam majalah Ummi tertulis:
“Nama
Roesli Lahani Yunus, mungkin, tidak terlalu banyak orang tahu, padahal
ia telah malang melintang puluhan tahun di dunia pers. Mungkin, lantaran
pria kelahiran Kumango, Batu Sangkar, Sumatra Barat, 17 Oktober 1931,
ini memilih Bandung sebagai tempat tinggal, sekaligus tempat
mengembangkan karirnya. Menurut pengakuannya, seorang temannya pernah
menyarankan pindah bekerja ke Jakarta untuk kemajuan karirnya, namun ia
menolak. “Hawanya panas. Saya sudah betah di Bandung,” tuturnya ringan.” (Sumber: Majalah Ummi edisi 7/XIV/2002, halaman 6-7 dan 40).
Entah
apakah memang ada kaitannya antara faktor ‘terkenal’ dengan letak
geografis, seperti yang Majalah Ummi itu sebut, atau tidak. Tetapi bila
melihat pada sisi tingkat perputaran ekonomi yang ada di Jakarta, bisa
jadi kaitan itu benar. Di saat investasi semuanya bermuara di Jakarta,
dan pada saat yang bersamaan, hal itu menumbuhkan beragam sektor
produksi baru, maka pada saat itu juga akan tumbuh beragam aktivitas,
dan gelombang jumlah penduduk yang semakin naik tiap tahunnya. Pada
titik itu juga akan muncul beragam akses (walaupun kecil) bagi “kemajuan
karir”, seperti yang Majalah Ummi itu singgung.
Tapi, tak tahu juga. Hanya perkiraan ku saja.
Hanya
saja kadang aku suka tertawa sendiri bila mengingat Roesli Lahani Yunus
dan kemudian membandingkannya dengan wartawan, seperti Goenawan
Mohamad, misalnya. Roesli dan GM sama-sama wartawan, tapi nasibnya beda.
Membicarakan GM, pasti banyak orang yang mengetahui dia. Dia terkenal.
Bersama media yang dikembangkannya dulu, GM memiliki sejarah tersendiri.
Bahkan sejarah itu terpakai hingga ke kelas-kelas bangku perkuliahan.
Pesonanya masih ada, walaupun dia sendiri sudah menua, dan pemikirannya
serba tidak jelas (setidaknya bagi ku).
Berbeda
dengan Roesli Lahani Yunus. Sosok yang kulihat di pelataran masjid dulu
saat ku masih SMA. Bila aku tidak melihat halaman belakang bukunya,
mungkin aku tidak akan pernah tau kalau orang tua itu bernama Roesli
Lahani Yunus. Kalau aku tidak melihat halaman belakang bukunya, mungkin
aku tidak tahu kalau pedagang tua itu adalah juga seorang wartawan,
penulis lepas, dan membuat balai pendidikan jurnalistik di rumahnya.
Perbandingannya
sungguh jomplang. Ibaratnya, bila kamu melewati loper koran dan melihat
koran atau majalah Tempo, seolah-olah ‘ruh’ GM beserta sejarahnya di
era ’90 menempel di dalamnya. Sehingga, ibarat ‘meme’, imaji tentang GM
beranak-pinak di dalam benak. Tanpa muncul ke depan publik pun,
sepertinya imaji tentang GM dan medianya itu akan selalu bersemayam
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama kehidupan media massa
Indonesia. Dengan begitu, dia akan selalu menjadi sosok yang dikenal
atau terkenal.
Lalu,
bagaimana dengan Roesli Lahani Yunus, penulis buku dengan beragam tema
yang penjualannya tidak meledak di pasaran? Seorang wartawan yang juga
sama seperti GM?
Kupikir,
mungkin memang tidak tepat bila melakukan perbandingan seperti itu.
Mungkin untuk melihat sosok Roesli Lahani Yunus seharusnya tidak dilihat
dalam kerangka “terkenal atau tidak terkenalnya” beliau dalam dunia
kepenulisan atau pers. Mungkin yang harus kulakukan, ketika melihat
sosok seperti Roesli Lahani Yunus adalah melihat melalui kerangka
aktivitasnya dalam tulis-menulis. Bukan masalah dia yang menjadi
terkenal atau tidak terkenal. Pun tidak melulu masalah “kemajuan karir”.
Menulis
adalah masalah menuangkan gagasan atau ide dari hasil pencerapan atas
realitas kehidupan. Dengan begitu, menulis menjadi permasalahan
aktualisasi diri ditengah-tengah kehidupan yang manusia jalani. Di sini
menjadi tidak penting apakah seseorang harus terkenal atau tidak, karena
dia menulis.
Dari
pengertian seperti ini, aku bersimpati terhadap Roesli Lahani Yunus.
Seorang penulis tua yang berjualan buku di pelataran masjid. Seorang
penulis yang juga pernah menjadi tukang loper koran. Seorang penulis tua
yang masih meninggali sebuah rumah sewaan bersama istrinya. Walaupun
aku bukanlah penulis, dan memang tidak memiliki niat untuk berkarir
sebagai penulis. Tetapi bila ku mengingat sosok Roesli Lahani Yunus, aku
memetik pelajaran, bahwa menulis bukanlah permasalahan materi, seperti
kekayaan, dan prestise.
Menulis
adalah ibarat jeda. Ibarat sebuah ruang tak bergeming di tengah
derasnya arus kehidupan. Dimana di dalam ruang itulah segala hal yang
mengendap selama diri terbawa arus kehidupan dituangkan dalam bentuk ide
atau gagasan. Sehingga hal itu memunculkan interaksi secara tidak
langsung antara manusia dengan alam semesta: manusia tidak menjadi tidak
sadar akan keberadaannya di muka bumi, tetapi ia justru memikirkan
keberadaannya.
Sesungguhnya
di jaman seperti ini, menyediakan ruang jeda bagi diri sendiri seperti
itu teramat sulit. Setiap orang tergesa-gesa. Setiap orang ketakutan
akan masa depan yang tak kunjung jelas dan kesendirian yang harus dia
jalani dalam kehidupan. Setiap orang merasa tidak aman dengan ancaman
kemiskinan yang setiap saat dapat menggerogoti kehidupannya. Setiap
orang secara membabi buta mencari uang untuk menghindari malapetaka
kemiskinan. Dalam situasi seperti ini, secara konstan menyediakan ruang
jeda, terutamanya dalam bentuk tulis-menulis menjadi hal yang teramat
sulit.
4 komentar:
laik dis lah
Ceurik urang mang maca tulisan ieu, heuheu asa dijenggut jurig, menohok.
roesli lahyani yunus, penulis ini masih misterius
(kutipan dari 'cerpen KOMPAS pilihan 1970-1980, dua kelamin bagi midin)
Halo penulis, salam kenal
Sedang iseng2 searching di google, dengan kata kunci "Lahani Yunus". Lahani Yunus adalah nama kakek buyut kami. Ternyata muncul artikel dengan nama anak pertama Lahani Yunus dari istri yang pertama yaitu Roesli Lahani Yunus.
Sebagai anggota keluarganya saya ucapkan terimakasih atas tulisan anda, semoga segala kebaikan dari Almarhum Roesli Lahani Yunus menjadi bernilai pahala yg bermanfaat di akhirat, amin. Terimakasih penulis.
Posting Komentar