Minggu, 04 Desember 2011

Roesli Lahani Yunus

Sewaktu sekolah dulu, Bapak sering memaksa untuk berangkat ke masjid tiap Minggu pagi. Mesjidnya terletak di Jl. Citarum, Bandung. Istiqamah nama masjidnya. Tiap akhir pekan, Masjid Istiqamah memang sering  mengadakan semacam ceramah keagamaan.

Sebenarnya saya tidak terlalu senang mendengarkan ceramah keagamaan. Apalagi kalau ceramah itu diadakan jam 6 pagi. Di jam-jam seperti itu, tidur pulas adalah sesuatu kenikmatan yang nampol ketimbang mendengarkan orang memberi khotbah.

Tapi saya tidak enak untuk menolak ajakan Bapak. Masalahnya, uang jajan masih berasal dari kantong beliau. Akhirnya, mau tidak mau, saya memaksakan diri untuk bangun subuh, dan mengikuti kemauan beliau. Walaupun harus merutuk ribuan kali di dalam hati.

Di masjid yang kami kunjungi itu biasanya selalu ada pedagang-pedagang buku dadakan. Khusus hari Minggu, pedagang-pedagang buku itu biasanya membuka lapak di depan pelataran masjid. Jenis-jenis bukunya sudah bisa ditebak. Kebanyakan bertema masalah keagamaan. Tema yang tidak terlalu menarik perhatian saya.

Suatu waktu, sehabis mendengarkan ceramah, Bapak melihat-lihat buku di salah satu lapak pedagang. Saya sedikit ingat sosok pedagang buku yang dikunjungi Bapak waktu itu. Dia sudah tua (sekitar 55-60 tahun), memakai kacamata tebal, rambutnya beruban dan sedikit acak-acakan. Setelan busananya pun sangat “1970”: celana kain berwarna coklat tua yang sedikit ‘cutbray’, dan kemeja ketat yang kerahnya berukuran cukup besar. Satu hal lagi yang saya perhatikan, orang tua itu duduk di trotoar dan seringkali menundukan kepala, seperti sedang merenung. Seolah-olah tidak begitu perduli dengan orang-orang yang melihat lapaknya. Lalu lapaknya pun paling terlihat sederhana, terutama bila melihat sedikitnya buku yang dijajakan olehnya.

Saat melihat-lihat buku yang dijajakan oleh orang tua itu, Bapak melihat sebuah buku berjudul “Kiat Jadi Penulis dan Wartawan”. Buku yang dipegang oleh Bapak itu ukurannya sangat kecil. Mungkin tepat bila disebut dengan buku saku. Halamannya pun tidak terlalu tebal, sekitar 60 halaman.

Saat ku melihat halaman belakangnya, ternyata foto penulisnya adalah si orang tua itu. Roesli Lahani Yunus, nama penulis buku itu. Di halaman biografi tentang penulis buku itu tertulis, bahwa Roesli Lahani Yunus adalah seorang wartawan, penulis lepas, dan pendiri Balai Pendidikan Jurnalistik (BPJ)-semacam tempat  kursus menulis jarak jauh. Selain itu, di halaman biografi itu juga tertulis, bahwa beliau memiliki hobi mengkliping koran dengan berbagai tema yang dia senangi.

Bapakku ternyata tertarik dengan buku itu, dan dia berniat untuk membelinya. Tapi, saat Bapakku menanyakan harganya, Roesli malah menanggapinya dengan sikap yang bisa dibilang skeptis.

“Kalau tak punya niat menulis lebih baik jangan dibeli saja, Pak. Kalau memang ingin menulis, harus punya tekad,” katanya.

Itu orang tua memang aneh. Setiap pedagang pasti senang bila ada orang yang tertarik dengan jajaannya. Tapi orang tua itu malah bersikap seperti demikian. Rada eksentrik.

“Ga apa-apa. Ini buat anak saya, Pak. Biar dia baca-baca,” balas Bapakku.

Akhirnya orang tua itu melepaskan bukunya untuk dibeli oleh Bapak. Saya lupa berapa harganya. Pastinya tidak melebihi Rp 15.000,00. Di perjalanan pulang ke rumah, Bapak memberi buku yang baru  dibelinya itu kepadaku. Mau tidak mau, kuterima saja buku itu. Lumayan.

Sebenarnya saya tidak pernah memiliki niat serius dalam dunia kepenulisan atau semacamnya. Menulis cerpen itu susah. Apalagi novel. Jangankan menulis non-fiksi. Menulis fiksi saja susah. Saya pernah belajar menulis artikel. Dan saya mendapat nilai D untuk pelajaran itu. Dan nilai itu tidak pernah diperbaiki olehku. Terlalu malas untuk kuperbaiki. Jadi kubiarkan saja nilai D itu terpampang jelas di ijazah. Begitulah. Saya tidak pernah berniat mendalami dunia kepengarangan.

Hanya saja, saya ingat sosok orang tua yang duduk di pelataran Masjid Istiqomah itu. Hidupnya sepertinya serba sederhana. Kalau melihat secuil profil di buku yang dia buat, disitu tercatat dia berpengalaman sebagai wartawan daerah, dan telah cukup malang melintang di dunia surat kabar, seperti Harian Indonesia, Bandung Pos, dan Pedoman. Lalu tulisan-tulisan lepasnya pun sudah banyak dimuat di surat kabar, seperti Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Kompas, dan Panji Masyarakat.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Ummi, sempat disinggung mengenai sosok Roesli Lahani Yunus yang kurang dikenal oleh orang-orang, walaupun beliau telah begitu aktif dalam dunia pers, dan tulis menulis. Waktu itu majalah Ummi menyinggung dengan mengaitkannya juga kepada faktor geografis tempat dimana Roesli tinggal, yakni Bandung.

Dalam majalah Ummi tertulis:

“Nama Roesli Lahani Yunus, mungkin, tidak terlalu banyak orang tahu, padahal ia telah malang melintang puluhan tahun di dunia pers. Mungkin, lantaran pria kelahiran Kumango, Batu Sangkar, Sumatra Barat, 17 Oktober 1931, ini memilih Bandung sebagai tempat tinggal, sekaligus tempat mengembangkan karirnya. Menurut pengakuannya, seorang temannya pernah menyarankan pindah bekerja ke Jakarta untuk kemajuan karirnya, namun ia menolak. “Hawanya panas. Saya sudah betah di Bandung,” tuturnya ringan.” (Sumber: Majalah Ummi edisi 7/XIV/2002, halaman 6-7 dan 40).

Entah apakah memang ada kaitannya antara faktor ‘terkenal’ dengan letak geografis, seperti yang Majalah Ummi itu sebut, atau tidak. Tetapi bila melihat pada sisi tingkat perputaran ekonomi yang ada di Jakarta, bisa jadi kaitan itu benar. Di saat investasi semuanya bermuara di Jakarta, dan pada saat yang bersamaan, hal itu menumbuhkan beragam sektor produksi baru, maka pada saat itu juga akan tumbuh beragam aktivitas, dan gelombang jumlah penduduk yang semakin naik tiap tahunnya. Pada titik itu juga akan muncul beragam akses (walaupun kecil) bagi “kemajuan karir”, seperti yang Majalah Ummi itu singgung.

Tapi, tak tahu juga. Hanya perkiraan ku saja.

Hanya saja kadang aku suka tertawa sendiri bila mengingat Roesli Lahani Yunus dan kemudian membandingkannya dengan wartawan, seperti Goenawan Mohamad, misalnya. Roesli dan GM sama-sama wartawan, tapi nasibnya beda. Membicarakan GM, pasti banyak orang yang mengetahui dia. Dia terkenal. Bersama media yang dikembangkannya dulu, GM memiliki sejarah tersendiri. Bahkan sejarah itu terpakai hingga ke kelas-kelas bangku perkuliahan. Pesonanya masih ada, walaupun dia sendiri sudah menua, dan pemikirannya serba tidak jelas (setidaknya bagi ku).

Berbeda dengan Roesli Lahani Yunus. Sosok yang kulihat di pelataran masjid dulu saat ku masih SMA. Bila aku tidak melihat halaman belakang bukunya, mungkin aku tidak akan pernah tau kalau orang tua itu bernama Roesli Lahani Yunus. Kalau aku tidak melihat halaman belakang bukunya, mungkin aku tidak tahu kalau pedagang tua itu adalah juga seorang wartawan, penulis lepas, dan membuat balai pendidikan jurnalistik di rumahnya. 

Perbandingannya sungguh jomplang. Ibaratnya, bila kamu melewati loper koran dan melihat koran atau majalah Tempo, seolah-olah ‘ruh’ GM beserta sejarahnya di era ’90 menempel di dalamnya. Sehingga, ibarat ‘meme’, imaji tentang GM beranak-pinak di dalam benak. Tanpa muncul ke depan publik pun, sepertinya imaji tentang GM dan medianya itu akan selalu bersemayam dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama kehidupan media massa Indonesia. Dengan begitu, dia akan selalu menjadi sosok yang dikenal atau terkenal.

Lalu, bagaimana dengan Roesli Lahani Yunus, penulis buku dengan beragam tema yang penjualannya tidak meledak di pasaran? Seorang wartawan yang juga sama seperti GM?

Kupikir, mungkin memang tidak tepat bila melakukan perbandingan seperti itu. Mungkin untuk melihat sosok Roesli Lahani Yunus seharusnya tidak dilihat dalam kerangka “terkenal atau tidak terkenalnya” beliau dalam dunia kepenulisan atau pers. Mungkin yang harus kulakukan, ketika melihat sosok seperti Roesli Lahani Yunus adalah melihat melalui kerangka aktivitasnya dalam tulis-menulis. Bukan masalah dia yang menjadi terkenal atau tidak terkenal. Pun tidak melulu masalah “kemajuan karir”.

Menulis adalah masalah menuangkan gagasan atau ide dari hasil pencerapan atas realitas kehidupan. Dengan begitu, menulis menjadi permasalahan aktualisasi diri ditengah-tengah kehidupan yang manusia jalani. Di sini menjadi tidak penting apakah seseorang harus terkenal atau tidak, karena dia menulis.

Dari pengertian seperti ini, aku bersimpati terhadap Roesli Lahani Yunus. Seorang penulis tua yang berjualan buku di pelataran masjid. Seorang penulis yang juga pernah menjadi tukang loper koran. Seorang penulis tua yang masih meninggali sebuah rumah sewaan bersama istrinya. Walaupun aku bukanlah penulis, dan memang tidak memiliki niat untuk berkarir sebagai penulis. Tetapi bila ku mengingat sosok Roesli Lahani Yunus, aku memetik pelajaran, bahwa menulis bukanlah permasalahan materi, seperti kekayaan, dan prestise.

Menulis adalah ibarat jeda. Ibarat sebuah ruang tak bergeming di tengah derasnya arus kehidupan. Dimana di dalam ruang itulah segala hal yang mengendap selama diri terbawa arus kehidupan dituangkan dalam bentuk ide atau gagasan. Sehingga hal itu memunculkan interaksi secara tidak langsung antara manusia dengan alam semesta: manusia tidak menjadi tidak sadar akan keberadaannya di muka bumi, tetapi ia justru memikirkan keberadaannya.

Sesungguhnya di jaman seperti ini, menyediakan ruang jeda bagi diri sendiri seperti itu teramat sulit. Setiap orang tergesa-gesa. Setiap orang ketakutan akan masa depan yang tak kunjung jelas dan kesendirian yang harus dia jalani dalam kehidupan. Setiap orang merasa tidak aman dengan ancaman kemiskinan yang setiap saat dapat menggerogoti kehidupannya. Setiap orang secara membabi buta mencari uang untuk menghindari malapetaka kemiskinan. Dalam situasi seperti ini, secara konstan menyediakan ruang jeda, terutamanya dalam bentuk tulis-menulis menjadi hal yang teramat sulit.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

laik dis lah

TABULARASA mengatakan...

Ceurik urang mang maca tulisan ieu, heuheu asa dijenggut jurig, menohok.

rayi jiwa mengatakan...

roesli lahyani yunus, penulis ini masih misterius
(kutipan dari 'cerpen KOMPAS pilihan 1970-1980, dua kelamin bagi midin)

Arief mengatakan...

Halo penulis, salam kenal
Sedang iseng2 searching di google, dengan kata kunci "Lahani Yunus". Lahani Yunus adalah nama kakek buyut kami. Ternyata muncul artikel dengan nama anak pertama Lahani Yunus dari istri yang pertama yaitu Roesli Lahani Yunus.
Sebagai anggota keluarganya saya ucapkan terimakasih atas tulisan anda, semoga segala kebaikan dari Almarhum Roesli Lahani Yunus menjadi bernilai pahala yg bermanfaat di akhirat, amin. Terimakasih penulis.