Minggu, 16 Januari 2011

"subkultur"


Penampilan dia dalam memainkan musik saya kira cukup membuat mereka yang berada di Common Room malam itu terheran-heran. Bagaimana tidak, alat musik yang Justice Yieldham pakai tidaklah lazim. Dia menggunakan pecahan kaca sebagai instrumen utamanya. Potongan kaca yang cukup besar dan berbentuk seperti gergaji (namun tanpa gerigi) itu ditempeli semacam mikrofon. Kabel dari mikrofon itu lalu tersambung ke efek. Ada kira-kira empat efek yang digunakan. Saya tidak mengerti efek apa saja, karena saya menonton cukup jauh jaraknya dari dia.

Untuk memainkan nadanya, Yieldham menempelkan hidung beserta mulutnya ke pecahan kaca tersebut. Dan dengan cara yang cukup aneh, dia terlihat seperti menarik nafas, menghembuskan nafas, atau bahkan terdengar seperti sedang kumur-kumur. Rupanya mikrofon yang ditempelkan di potongan kaca itu sangat sensitif terhadap bebunyian. Suara yang dihasilkan pun jadinya terdengar cukup aneh pula. Kadang terdengar seperti suara gerungan motor, atau seperti back sound suatu film yang berlatar perperangan di luar angkasa (suara desingan laser, suara jet turbo dari suatu pesawat tempur luar angkasa...entahlah). Saya kira, teknik pernafasan yang dilakukan oleh Yieldham beserta potongan kaca yang ditempeli oleh mikrofon yang tersambung ke efek adalah kunci utama penampilan musik Yieldham malam itu. Pastinya, aksi dia membuat penonton terheran-heran.

Aksi yang lebih gila lagi adalah, ketika dalam suatu momen, potongan kaca itu dibenturkan oleh Yieldham ke kepalanya hingga potongan kaca itu pecah dan ukurannya mengecil. Aksi itu lantas membuat penonton kaget sekaligus antusias. Beberapa, mayoritas perempuan, bahkan memandang dengan ekspresi yang terlihat jijik.

"Itu belum seberapa. Dulu saya liat dia pernah maen di Yogyakarta. Sekitar tahun 2008. Pas ngebenturin tu kaca, mukanya sampe berdarah-darah," ujar temanku.

"Wah, absurd pisan!" jawabku yang juga kaget melihat aksinya itu.

"Itu aksinya belum selesai. Sebelum potongan kaca itu habis, dia bakal terus mainin musiknya," lanjut temanku sambil terkekeh, seolah dia sudah hafal pola dari aksi Yieldham.

Perkataan temanku itu ternyata benar. Dihitung-hitung, tiga kali Yieldham membenturkan potongan kaca itu ke kepalanya. Pecahan kaca terserak di lantai tempat dia tampil. Seolah sedang trance, Yieldham seperti tidak merasakan bagaimana perihnya menginjak serpihan kaca itu. Walaupun dia bergerak kesana-kemari di tengah-tengah serpihan kaca, dia justru terlihat tidak acuh. Malah seperti khusyuk mengeluarkan bebunyian dari potongan gelas yang masih tersisa. Bahkan sesekali Yieldham mengambil sebotol bir bintang ukuran besar dan meminumnya dengan enteng, lalu memulai lagi mengeluarkan bebunyian aneh melalui 'instrumen'-nya itu.

Dari apa yang kubaca di internet mengenai penampilannya, Yieldham bahkan pernah memakan serpihan kaca itu. Mengunyahnya. Tentu dengan kucuran darah disana-sini. Tak terbayang bagaimana absurdnya. Pada malam itu memang tidak terlalu banyak darah yang mengucur dari muka Yieldham. Bila diumpamakan, mungkin aksi Justice Yieldham ibarat perpaduan antara musik 'surealis' dan atraksi debus. Entahlah.

Melihat perawakannya sekilas, Yieldham nampak cukup 'tua'. Berumur kira-kira pertengahan tiga puluh. Dia datang dari Australia dan dikenal sebagai seorang musisi 'noise-art'. Tentunya kita akan mengetahui apa artinya bila menghadapi kata 'noise' seperti itu dalam dunia musik. Itu artinya lupakan harmonisasi, karena kekacauan dan keabsurdan adalah elementer.

Tetapi, ada rasa salut juga melihat aksi Yieldham malam itu. Setidaknya untuk yang berumur di sekitar tiga puluhan, dia masih memiliki hasrat dan tenaga mengeluarkan 'bebunyian aneh'. Dan yang lebih salutnya lagi, dalam bereksperimentasi musik noise, dia menggunakan seminimal mungkin teknologi. Tidak seperti musisi-musisi sebelumnya, dimana begitu berlimpah efek serta teknologi digital lainnya yang dimainkan. Dibandingkan mereka, Yieldham justru terlihat paling minimalis (walaupun aksinya bagi saya tidak bisa dibilang minimalis juga).

Musik 'Kompleks' dan Golongan 'Elit'

Saat potongan kaca itu sudah mencapai bentuk yang terkecilnya, maka itu menjadi pertanda dari aksi yang akan segera berakhir. Dan tepuk tangan yang riuh menutup performa Justice Yieldham malam itu seiring potongan terkecil dari kaca itu ia benturkan ke wajahnya. Setelahnya, Yieldham sendiri masih terlihat enteng. Seperti tidak merasa nyeri atau apapun. Seperti biasa, dia mengambil botol birnya dan menenggaknya dengan enteng pula. Setelah itu nampak senyum tipis terhias di wajahnya. Pada saat yang bersamaan, penonton mendekatinya dan mengambil fotonya. Beberapa ada yang merekamnya melalui kamera dari pertama kali Yieldham tampil.

Saat itu aku hanya duduk-duduk di sebuah tangga bersama temanku. Tidak memiliki minat untuk mendekatinya seperti yang lain. Terlalu malas bagiku untuk beranjak. Lagipula, keadaan di sekeliling Yieldham terlihat sumpek oleh kerumunan penonton yang mengerubunginya.

Saat itu tiba-tiba saja terbayang bagiku bagaimana bila aku memperdengarkan musik Yieldham kepada mereka yang tidak terbiasa mendengarkan musik noise. Sepertinya kebanyakan dari mereka akan memalingkan muka. Beberapa bahkan akan marah dan mengeluarkan fatwa, bahwa apa yang Yieldham lakukan itu sama sekali bukan musik.

Saat duduk-duduk di tangga itu, muncul juga pertanyaan-pertanyaan didalam benakku. Pertanyaan-pertanyaan tidak penting, seperti mengapa seseorang bisa terpikirkan dan tergerak untuk bermain musik seperti itu? Mengapa bisa sampai muncul seseorang yang memainkan musik noise dan semacamnya itu? Fenomena seperti musik noise itu sebenarnya menunjukkan kondisi masyarakat yang seperti apa?

Begitulah, pertanyaan-pertanyaan tak penting yang berseliweran dan terselip di antara hembusan rokok dan perbincangan bersama teman di sebuah tangga.

Lantas aku juga menjadi teringat perkataan seorang temanku yang lain mengenai musik beberapa waktu lalu. Saat itu dia melihat sebuah video musik dari musisi yang memainkan musik yang, bisa dibilang, cukup absurd juga, walaupun bukan noise. Video musik yang ditonton temanku itu adalah video dari band bernama Isis. Isis lebih merupakan band rock, namun dengan aransemen yang rumit dan berdurasi panjang. Mungkin struktur musiknya bisa disebut 'kompleks'. Dibandingkan Yieldham, Isis tergolong masih bisa dicerna. Sebutlah, masih memiliki 'nada yang harmonis'.

Saat melihat video Isis itu temanku berpendapat, bahwa jenis-jenis musik seperti yang ada di video itu, dalam artian musik yang 'rumit dan berat', adalah jenis musik yang berasal dari golongan sosial yang bisa dikategorikan sebagai golongan 'elit'. Saya masih belum paham pendapat temanku itu mengenai golongan yang disebutnya sebagai 'elit' itu. Tetapi, nampaknya apa yang didefinisikan sebagai golongan elit adalah golongan yang secara finansial di atas rata-rata, dan tidak perlu bekerja penuh waktu, karena sudah di back-up oleh kondisi finansialnya itu.

Pendapat temanku itu, di satu sisi, cukup masuk akal pula. Untuk menciptakan sebuah aransemen musik yang 'kompleks' itu membutuhkan waktu yang cukup lama serta konsep yang cukup mendalam juga. Masalah konsep yang mendalam ini tentunya memerlukan waktu berpikir yang mendalam juga (baca: lama). Seseorang yang dalam kesehariannya disibukkan oleh waktu kerja (diluar bermusik) selama 8-12 jam per hari, mungkin akan menemukan dirinya kesulitan bila harus mengaransemen lagu kompleks seperti itu. Apalagi bila seseorang itu tinggal di negara dunia ketiga, seperti di Indonesia ini. Dimana industrialisasi sedang gencar-gencarnya digalakkan, dan semua pekerjaan kasar di dunia pertama dipindahkan ke dunia ketiga ini, karena upahnya yang murah.

Dengan kondisi seperti itu, saya pikir untuk hal-hal yang berbau kesenian dan kebudayaan akan menjadi nomor dua, dibandingkan hal-hal yang berbau 'industri berat'. Hal itu membuat kehidupan bermusik akan menjadi sulit. Sehingga tidak jarang mereka yang memiliki minat bermusik harus membagi waktunya dengan bekerja di luar musik. Dan tidak jarang pula, banyak dari mereka yang akhirnya melebur total dalam dunia kerjanya itu, alih-alih bermusik. Dapat dipahami, karena kerja, bagaimanapun juga, melelahkan. Sangat menyita energi fisik, dan otak.

Itu baru dari kondisi produsen musik. Belum kondisi konsumennya. Dari sisi konsumen ini, bila dikontekskan lagi pada kondisi dunia ketiga, bagiku cukup masuk akal untuk mengatakan, bahwa musik yang 'kompleks' merupakan musik yang berasal dari golongan 'elit', yakni golongan yang secara finansial di atas rata-rata, dan tidak perlu bekerja penuh waktu. Karena golongan inilah yang biasanya memiliki waktu luang untuk beraktivitas di luar kerja, dan berpikir secara reflektif.

Berbeda dengan mereka yang dalam kesehariannya telah disibukkan oleh pekerjaan yang menyita waktu. Mereka yang bekerja seharian penuh, tentunya memerlukan suatu hiburan yang ringan dan mudah dicerna untuk melepas penat. Musik pop adalah hiburan yang memiliki karakter seperti itu. Berbeda dengan musik yang seringkali disebut musik 'kompleks' ini. Setidaknya untuk menikmati musik yang 'kompleks', membutuhkan waktu yang khusus pula untuk mencernanya (baca: lama). Terlepas dari masalah selera yang tipikal. Dilihat dari cara pandang seperti itu, masuk akal juga pendapat temanku itu.

Sebenarnya saya mengiyakan sekaligus tidak mengiyakan pendapat temanku itu mengenai musik 'kompleks' yang selalu dikaitkan dengan golongan 'elit'. Menurutku, masalah seperti demikian adalah kontekstual. Di dunia pertama, seperti Eropa dan Amerika, musik yang disebut 'kompleks', dan digolongkan sebagi musik bagi kaum 'elit', justru lahir dari lapisan masyarakat yang tidak 'elit'. Dalam artian, berada di lapisan paling bawah dari hirarki masyarakat modern. Seperti fenomena kelahiran punk rock di Inggris, kelahiran heavy metal awal dari lapisan kelas pekerja di Kota Birmingham, Inggris. Lalu, musik hip-hop, funk, soul, dan blues di Amerika. Saya pikir, penggolongan musik 'kompleks' yang diasosiasikan sebagai musiknya golongan 'elit' adalah tidak terlalu benar juga bila merujuk pada konteks dunia pertama.

Tetapi, saya pikir, bila sudah berada di konteks dunia ketiga, pendapat temanku itu bisa jadi benar juga. Apalagi bila merunut kepada awal mula masuknya musik-musik 'kompleks' itu ke Indonesia pada pertengahan '90an. Membaca dari beberapa kisah mengenai perkenalan anak muda di Bandung dengan musik-musik 'kompleks' berikut kulturnya, selalu tidak terlepas dari aspek teknologi internet dan kesempatan seseorang untuk pergi ke luar negeri. Pada pertengahan '90an, saya pikir, tidak setiap orang memiliki akses terhadap internet. Dari situ, terbayang, dari golongan mana orang-orang yang bisa memiliki akses terhadap internet itu.

Lalu selain itu, kesempatan seseorang untuk pergi ke luar negeri. Dimana dari kesempatan itu, mereka berkenalan dengan hal-hal seputar musik-musik kompleks dan kulturnya tersebut. Dan setelah seseorang itu tiba di Indonesia, dia memperkenalkannya lagi kepada teman-temannya. Dari sini juga terbayang, golongan mana orang-orang yang memiliki kemungkinan paling besar untuk terbang lintas kontinental.

Bila memikirkan kondisi-kondisi seperti itu. Saya pikir, setidaknya bisa masuk akal juga bahwa golongan elit (finansial di atas rata-rata, dan memiliki waktu luang) adalah yang pertama kali menikmati musik-musik 'kompleks' beserta kulturnya itu. Setidaknya, bagiku, untuk konteks di Indonesia, musik-musik 'kompleks' bukanlah berada dalam pengertian budaya populer. Budaya yang benar-benar lahir dari kelas pekerja di Indonesia. Tetapi adalah musik impor yang berkembang di lapisan sosial menengah keatas. Walaupun, memang hal itu sepertinya tidak bisa digeneralisir sepenuhnya. Selalu ada kasus mengenai seseorang atau komunitas yang berasal dari lapisan sosial pekerja yang juga aktif dalam dunia seperti itu di Indonesia, khususnya di Bandung.

Subkultur dan Hegemoni Pasar Bebas [?]

"Absurd ya," ujar temanku saat menonton Justice Yieldham.

"Absurd kenapa?"

"Musik berantakan gitu, tapi yang nontonnya kaya yang mau berangkat dugem," ujar temanku sambil tak ketinggalan tawa khasnya yang terkekeh-tekeh itu.

"Haha. Gua kira musiknya yang absurd."

Walaupun penggolongan lapisan sosial masih merupakan hal yang belum jelas, tetapi apa yang kulihat pada malam saat Justice Yieldham tampil, membuatku memikirkan mengenai penggolongan lapisan sosial itu. Setidaknya bila aku melihat pengunjung yang hadir malam itu. Melihat gaya busana mereka, dan juga gadget yang mereka bawa. Saya pikir, membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan semua itu. Dari gaya busana misalnya, saya melihat mereka seperti hendak mendatangi semacam rave party atau pesta-pesta sosialite di sebuah apartemen milik agung podomoro grup, daripada melihat sebuah pertunjukkan musik noise. Belum lagi melihat gadget-gadgetnya. Seperti layaknya seorang pekerja di level eksekutif. Aplikasinya tidak sekadar untuk kepentingan menelepon dan menerima sms saja. Dari situ, pendapat temanku yang telah ditulis di atas, muncul kembali dalam benakku.

Mungkin di Indonesia, khususnya di Bandung, musik-musik surealis seperti Justice Yieldham itu memang dikonsumsi oleh mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas itu. Penyebabnya...entahlah, mungkin karena kalangan itu memang memiliki waktu luang khusus, seperti yang telah disebutkan di atas, atau bagaimana... Tapi, saya pikir, pastinya untuk diterima di kalangan kelas pekerja, dalam artian sebagian besar masyarakat pada umumnya, akan cukup sulit.

Tapi, entah bila membandingkan dengan kondisi seperti yang ada di Yogyakarta. Musik-musik yang berasal dari Yogyakarta juga terkenal dengan kenyelenehannya. Bila membandingkan musik eksperimental yang berasal dari Bandung dan Yogyakarta, kurasa lebih sureal musik yang berasal dari Yogyakarta. Lalu, bila sekilas melihat gaya hidup para musisi-musisi eksperimental dari Yogyakarta juga, mereka nampak seperti bohemian bagiku. Kelompok yang berasal dari lapisan bawah hirarki masyarakat modern, namun memiliki gaya hidup yang nyeleneh. Tapi, entahlah. Itu hanya berdasarkan pengamatanku secara sekilas.

Hanya saja, setelah melihat Yieldham itu, ada beberapa bahan pikiran yang muncul didalam benak. Pikiran-pikiran yang terkait subkultur musik, gaya hidup, dan semacamnya. Subkultur yang konon seringkali disebut alternatif. Subkultur yang di dalamnya konon adalah bentuk ekspresi perlawanan anak muda untuk menjadi berbeda, dan untuk memformulasikan sebuah identitas darinya.

Entahlah, nampaknya, seperti ada masalah dalam beberapa konsepnya. seperti dari beberapa literatur yang pernah kubaca tentang subkultur musik dan gaya hidup di bandung sebagai wadah anak muda untuk menjadi berbeda dan memiliki identitas, misalnya. Menurutku, konsep seperti ini cukup bermasalah. McDonalds dan Kentucky Fried Chicken juga ingin menjadi berbeda. Yomart dan Alfamart juga ingin menjadi berbeda. Saya melihat, konsep menjadi berbeda dalam subkultur anak muda yang terdapat dalam beberapa literatur itu, justru tidak berbeda dengan konsep pasar bebas ala kaum liberal. Dalam hal ini, pembaruan yang seringkali dikampanyekan dalam suatu subkultur justru akan semakin terintegrasi kedalam sistem kapitalisme lanjut. Bila begitu, maka tidak ada sesuatu yang baru dalam basis suatu subkultur. Walaupun, secara 'kampanye', bisa dibilang 'berbeda'.

Emh.

Saya pikir, tulisan tentang subkultur ini harus dilanjutkan di lain kesempatan dengan porsi tersendiri. Bila diteruskan akan menjadi lebih panjang. Lagipula, pikiran-pikiran mengenainya masih terpotong-potong. Masih berupa bentuk-bentuk yang kasar. Untuk sekarang...ngaler-ngidulnya sepertinya dicukupkan dulu sampai disini...sudah kepanjangan. 

1 komentar:

maulana ikhsan mengatakan...

Wah, canggih pengamatannya kang.. Saya jg setuju soal waktu cari makan dan waktu berkarya itu besar dampaknya sama maksimalitas(hehe, maap maksa) karya.
..Ditunggu lanjutannya :)