Selasa, 26 April 2011

Spiritual

Suatu kehidupan digerakan oleh tindak-tanduk manusia dalam dunianya, bukan sesuatu yang lain disana yang tak terjangkau, dan tiba-tiba ada begitu saja tanpa sabab-musabab yang jelas. 

*** 
Sebetulnya saya tidak terlalu fasih membicarakan hal-hal berbau spiritualitas. Terlebih karena sebenarnya saya memang tidak berminat mendalaminya betul. Benar apa yang dikatakan orang-orang suatu waktu, bahwa dunia spiritual merupakan dunia yang berkabut. Maksudnya, terdapat hal-hal yang berada di luar jangkauan berpikir manusia dalam dunia spiritual, dan seringkali hal itu membuat suatu tabrakan yang tidak terelakan dengan cara berpikir manusia yang apa adanya; cara berpikir yang cenderung rasional, logis, dan bersandar pada cara pandang empirik. 


Apalagi bila tabrakan antara cara berpikir manusia tersebut dengan dunia spiritual tidak dapat didamaikan lagi, jawaban akhirnya biasanya dapat ditebak, yakni kembali lagi kepada sesuatu yang disebut keimanan. Tetapi, sekali lagi saya tidak yakin bila sudah berurusan dengan yang namanya keimanan dalam konteks spiritual seperti itu. Bagiku, masalah keimanan ini tetap saja masih berkabut. Seperti apakah keimanan itu? Bagaimana cara mempercayai keimanan bagi orang awam seperti saya? Apalagi, di sisi lain, selalu terdapat contoh bagaimana orang-orang selalu saling serang dengan mengatasnamakan keimanan ini. Sehingga hal itu membuatku berpikir, bahwa keimanan itu sendiri pada akhirnya tidaklah ‘murni’ atau ‘tetap’ bila berada dalam hubungan sosial suatu masyarakat. Dengan kata lain, keimanan itu bahkan dapat dipengaruhi, dapat berubah-ubah, dan bahkan dapat dipermainkan, tergantung pada penafsiran tertentu kelompok-kelompok yang ada di masyarakat itu.

Lalu, bila misalnya melihat kepada kelompok-kelompok penafsirpun, mereka juga ternyata bukanlah pihak yang ‘steril’, tetapi dipengaruhi oleh kepentingan, serta kekuatan-kekuatan tertentu. Pada titik inilah, permasalahan keimanan ini selalu kutinggalkan. Kupikir dalam hal ini, yang lebih utama dilihat bukanlah masalah keimanan yang digaung-gaungkan oleh suatu kelompok. Namun adalah kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan yang menjadi latar belakang yang menggerakan kelompok-kelompok itu. Keimanan pada akhirnya merupakan suatu perwujudan dari kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan yang akan mewujudkan keutamaan mereka sendiri. Jadi masalahnya disini bukanlah tentang suatu nilai-nilai dalam keimanan, seperti hubungan dengan Ilahi ataupun penyelamatan dalam dunia akhirat. Namun hubungan manusia yang dibentuk oleh kepentingan, kekuatan, serta kekuasaan. Semua itu terjadi dalam dunia manusia, tidak di dunia manapun diluar nalar maupun indera manusia. Dengan perkataan lain; semuanya bergerak dari bawah ke atas, bukan sebaliknya.

Pada akhirnya, keimanan dalam konteks dunia spiritual hanyalah kuanggap sebagai cara manusia memaknai dunia tempatnya tinggal; sebagai salah satu usaha manusia dalam merasionalisasikan keberadaannya di dunia. Terlepas dari apakah rasionalisasi itu masih berada dalam jangkauan berpikir manusia, atau tidak, sehingga rasionalisasi itu bahkan menjadi irasionalitas itu sendiri.... atau terlepas dari apakah keimanan itu merupakan alat kepentingan belaka, atau tidak. Karena selebihnya, saya tidak ingin mempermasalahkan sesuatu yang berkabut dalam masalah keimanan ini.

Dalam hal memaknai dunia, sayapun memiliki alat tersendiri untuk memakainya. Namun, alat yang kupakai itu tidak berada dalam koridor spiritual seperti itu. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, dalam memaknai dunia tempatku hidup, aku merasa lebih cocok menggunakan inderaku. Mengamati dunia dalam lingkup realitas materil yang jelas, karena aku percaya, bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam dunia manusia selalu merupakan rangkaian sebab-akibat. Dengan begitu, maka segala hal ihwal mengenai sesuatu pasti memiliki dasarnya yang berangkat dari realitas yang dihidupi oleh manusia itu sendiri. Bukan semata-mata sudah ditakdirkan, ghoib, atau tiba-tiba saja ada sebagai berkah dari antahberantah yang diluar lingkungan manusia, dan ahistoris pula, sehingga seseorang harus mengimaninya.

Cara seperti inilah, melihat dunia sebagai rangkaian gerak sebab-akibat, yang sekarang membuatku merasa tentram menjalani hidup yang dari awal sesungguhnya serba tidak jelas ini. Setidaknya dengan mengetahui, bahwa sesuatu yang tidak jelas dalam kehidupan itu bisa terjadi, karena ternyata ada hal-ihwalnya, dan hal ihwal itu muncul dari alam materil manusia, bukan sesuatu yang ghoib, membuatku setidaknya bisa memahami dan meresapi kehidupan itu sendiri. Dan dari situ pula aku belajar mensyukuri dan ‘mengimani’ kehidupan itu sendiri. 

Tidak ada komentar: