Senin, 02 Mei 2011

Kegagalan

"My eyes blurry, my minds heavy..I left Billbao and went to Rome" 
(Sunkilmoon - Tonight in Bilbao)

Satu pertanyaan sempat kulontarkan, "Apa sih maksudnya hidup dimulai pada umur 40 tahun?"

 Beliau lantas menjelaskan, bahwa ungkapan itu dimaksudkan bagi mereka yang telah memasuki fase kemapanan. "Mereka yang biasanya telah memiliki harta yang cukup atau berlebih, memiliki keluarga yang lengkap, dan kondisi dimana segala yang dimiliki atas hasil usaha sebelumnya itu dapat mulai dinikmati oleh yang bersangkutan," jelasnya.




Satu hal yang membuatku teringat jelas ucapannya saat itu adalah ketika dia kemudian mengeluarkan suatu pernyataan yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi, "itulah yang disebut hidup dimulai di umur 40. Suatu hidup yang sukses," katanya, " tidak sepertiku yang tergolong gagal, padahal umurku sudah berada di ambang 50."

 Dari sini aku tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dalam benakku mencuat suatu pikiran, bahwa ternyata ada mereka-mereka yang dilingkupi oleh suatu pikiran mengenai kegagalan dalam kehidupannya. Entah apakah ini adalah hal yang sebenarnya buruk atau tidak, tetapi aku sungguh bersimpati terhadapnya, dan hal itu membuatku berjanji terhadap diri sendiri untuk tidak memikirkan kurang-lebihnya kehidupan seseorang secara personal. Entah janji yang sama buruknya atau tidak.

Pikiranku lantas menerawang ke tepian masa laluku sendiri. Begitu banyak hal yang tak kucapai, begitu banyak hal yang hanya mampu bergerak di batas garis mimpi. Semakin ku ingat segala hal yang gagal kucapai, semakin menyeruak kesedihan dalam diriku sendiri.

Pada saat yang bersamaan, betapa perih saat kupikirkan, bahwa ada suatu batas yang melingkupi keinginan manusia, namun tiada batas yang dapat menghalangi imajinasi dan mimpi yang mengiringinya, sehingga hal itu membuat seorang insan sepertiku mudah diliputi kegundahan yang tak terperi. Semakin besar suatu batas menghalangi keinginan, semakin besar siksaan yang muncul dari imajinasi dan mimpi yang dimiliki.
 

Di umurku yang semakin menua setiap harinya ini, menerawang ke waktu esok menjadi hal yang terasa menakutkan. Terlebih bila kenangan akan kegagalan dari tepian masa lalu turut hadir dan mengingatkan kompromi serta pengingkaran yang berulangkali ditelan dengan pil keterpaksaan yang pahit. Ketakutan menyeruak mengingat apa yang mungkin terpaksa dihilangkan, atau apa yang sebelumnya tak kusadari sepenuhnya telah menjadi bagian diriku hingga ke tulang sumsum, sehingga ketika ku mulai merasa, semuanya telah lama terjadi. Seperti yang sudah-sudah.

Tidak ada komentar: