Senin, 23 Mei 2011

Jagat Maya

Jagat maya. Suatu dunia yang menjadi bagian diriku kini. Berjuta-juta bit yang membentuk gugusan informasi tersaji didepan pelupuk mataku setiap harinya. Dan entah apakah jagat ini merupakan hal yang baik atau buruk bila berada di tataran individu, seperti diriku. Namun seringkali beragam wacana berkembang dikumandangkan oleh para pengkhotbah dunia baru: ini adalah cahaya terang bernama efisiensi yang akan membuat lonceng kematian bergema bagi dunia lama yang selalu berjalan lambat karena kotoran tikus-tikus koruptor di dalam birokrasi. Jagat maya pada saatnya akan membasmi tikus-tikus korup yang menggerayangi gedung kumuh birokrasi dan selalu menjadi penyumbat dalam kanal arus kapital. “Tidak ada alternatif bagi dunia lama, kecuali membuka tangan pada satu-satunya keniscayaan dalam hidup. Suatu keniscayaan yang akan menguapkan negara-bangsa, ras, teritorial, hingga waktu!” ujar sang Pengkhotbah.

Seseorang yang penuh semangat, Thomas L. Friedman (2006), memaparkan kasus yang berkaitan dengan jagat maya ini. Friedman menggambarkan mengenai suatu pelayanan jasa yang disebut dengan “pelayanan asisten pribadi” di Bangalore, India, bagi para eksekutif perusahaan global yang bertempat di Amerika. Pelayanan jasa yang digambarkan Friedman ini mengacu pada salah satu keunggulan dari jagat maya, yakni penekanannya atas daya dobrak terhadap batas ruang dan waktu. Seperti telah diketahui, terdapat perbedaan waktu yang tajam antara Amerika dengan India. Bila di Amerika waktu sudah larut malam, maka di India sebaliknya, dan vice versa. Dan jagat maya, pada gilirannya, mengatasi hambatan ruang dan waktu tersebut.

“Katakanlah sementara memimpin perusahaan, Anda dalam waktu dua hari diminta untuk memberikan pidato dan presentasi Power Point. Dalam waktu satu malam ‘asisten eksekutif jarak jauh’ Anda di India yang disediakan oleh Brickwork akan melakukan pencarian bahan, menyusun presentasi Power Point, dan meng-email semuanya, hingga siap tersedia di atas meja kerja Anda saat akan disampaikan,” papar Friedman, “sebelum meninggalkan kantor pada sore hari di New York City, Anda bisa memberikan tugas kepada asisten eksekutif jarak jauh Anda. Keesokan harinya bahan presentasi sudah siap.”

Jagat yang efisien, memang.

Friedman lantas memaparkan pandangannya mengenai jagat maya yang turut membentuk perubahan pada cara kerja masyarakat ini dengan nama “Globalisasi 3.0”. Penamaan itu dibuat oleh Friedman (2006: 10) untuk menggambarkan sebuah “dunia konvergensi antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optik yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia dengan murah juga secara digital, serta perangkat lunak alur kerja yang memungkinkan individu-individu di seluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun, tanpa menghiraukan jarak antar mereka”.

Pada intinya, Friedman melihat, bahwa berkembangnya jagat maya telah merubah wajah dunia saat ini menjadi lebih datar. Penggambaran ‘datar’ dalam konteks ini lebih kepada penggambaran mengenai bagaimana sekat-sekat (seperti birokrasi, tapal batas geografis, negara-bangsa) yang sebelumnya eksis diandaikan menghilang, dan sebagai konsekuensinya, kegiatan perekonomian, seperti bisnis antar perusahaan akan semakin fleksibel dan efisien. Dengan dunia yang datar ini pula, Friedman beranggapan, bahwa setiap individu maupun kelompok dari beragam suku bangsa dapat berpartisipasi di dalamnya. Dari titik ini, Friedman terlihat menaruh harapan akan suatu benih pemberdayaan bagi individu-individu.

Jagat maya ramai diperbincangkan terkait dengan dampaknya dalam merubah struktur yang ada di masyarakat, dan bagaimana pola kehidupan di level individu berubah karenanya. Mike Wayne (2003), tanpa meremehkan perubahan yang diakibatkan oleh jagat maya terkait pemberdayaan bagi individu maupun kelompok, memiliki pandangan, bahwa jagat maya memiliki posisi didalam kapitalisme itu sendiri. Dalam artian, kemunculannya merupakan bagian dari logika kapitalisme yang terkait dengan krisis overproduksi.

Dalam hal ini Wayne merunut ke masa awal jagat maya mulai diperkenalkan dan berkembang pada awal dekade ‘90an. Setelah browser komersial pertama,  Netscape, diluncurkan di AS, terjadilah suatu investasi besar-besaran dari industri telekomunikasi swasta di AS. Dan mengiringi tingginya skala investasi itu, maka kapasitas serat optik internet pun semakin bertambah. Namun, di sisi lain, investasi dengan skala yang besar itu justru menimbulkan suatu paradoks yang dikenal dengan krisis bernama “dot.com crash” pada pertengahan tahun ‘90an. Ini adalah suatu keadaan dimana suatu tingkat laba yang dihasilkan dari investasi dengan skala besar dari industri-industri telekomunikasi swasta itu terus-menerus mengalami penurunan secara drastis, sehingga menyebabkan banyak perusahaan telekomunikasi yang berinvestasi mengalami kebangkrutan. Tingkat laba menjadi berbanding terbalik dengan tingginya tingkat skala investasi.

Selain itu, Wayne juga memiliki pandangan, bahwa krisis ‘investasi’ ini pula berkaitan dengan tidak selarasnya aktivitas di level produksi dengan level konsumsi. Maksudnya, ketika semua perusahaan telekomunikasi yang berinvestasi dalam bisnis internet ini masing-masing menawarkan layanan telekomunikasi dengan membangun infrastrukturnya sendiri sehingga terjadi keberlimpahan kapasitas internet, namun pada saat bersamaan, tingkat “konsumen on-line” tidak meningkat secara selaras dengan peningkatan di level produksi tersebut.

Turunnya tingkat laba tentu merupakan suatu malapetaka bagi perusahaan yang mengalaminya. Namun dalam beberapa hal, krisis dot.com crash itu justru membawa berkah tersendiri bagi perusahaan-perusahaan yang datang kemudian. Berkah itu berkaitan dengan keunikan kabel serat optik dari internet yang bersifat permanen. Dalam artian, sekali serat optik itu terpasang, maka tidak ada yang membongkarnya kembali, sehingga kelebihan kapasitas dari hasil investasi massif yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang telah bangkrut itu tidak akan hilang.

Pada saat yang bersamaan, aset-aset yang berasal dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang mengalami kebangkrutan itu dijual kembali dengan harga yang murah oleh bank. Dengan begini, ibaratnya perusahaan baru yang akan memberi aset dari perusahaan yang sudah bangkrut itu tentu akan mengalami keuntungan berlipat.

Dari titik ini aku berpandangan, bahwa mungkin inilah yang dimaksud oleh Wayne dengan keberadaan jagat maya yang berposisi di dalam kapitalisme; bahwa segala proses yang digambarkan oleh Wayne menunjukan bagaimana populernya internet di masyarakat didahului dulu oleh sebuah proses krisis yang menjadi ciri kapitalisme, yakni semacam kelebihan ‘beban’ akibat investasi yang terlalu massif dalam sarana kekuatan produksi baru. Dan juga disebut berada di dalam kapitalisme, karena pada gilirannya krisis dot.com crash dapat memberi kemungkinan menuju konsentrasi maupun sentralisasi kapital. Dalam artian, seketika terdapat banyak perusahaan-perusahaan berguguran, pada saat bersamaan pula, berkembang suatu perusahaan yang memiliki sumber daya terkuat dan mampu melebarkan sayapnya tanpa kenal batas ruang maupun waktu demi meraup kapital yang tiada habisnya. Pada intinya, alur perkembangan internet dilihat masih berada dalam dinamika perputaran kapital. Kehadirannya belum mendobrak struktur fundamental kapitalisme secara radikal.

Keseharian: Jagat Maya dalam Sudut Mikro

Akhir-akhir ini aku sering mendengarkan lagu dari band bernama Scale the Summit. Mereka merupakan band yang berasal dari Texas, AS, yang memainkan musik sejenis progresif metal. Seluruh lagu Scale the Summit dimainkan tanpa adanya vokal. Total instrumental. 

Mengapa saya menulis tentang mereka? Karena sudah hampir dua minggu ini saya selalu intens mendengarkan musik yang mereka tawarkan dalam albumnya yang ketiga, the Collective (2011). Pada suatu waktu, saat mendengarkan Scale the Summit, aku mengalami suatu perasaan sentimental yang mungkin terdengar sangat tidak perlu. Suatu perasaan yang terasa hangat sekaligus haru, ketika melodi-melodi megah dan syahdu dari Scale the Summit mampu kutangkap dan kuikuti seolah-olah dengan gerakan lambat. Nadanya yang menyedihkan dibalik tampilan soundnya yang gahar, yang seolah-olah memancarkan suatu ketenangan, ternyata masih mampu kucerna secara jernih. Bahkan setelah kudengarkan berulang-ulang, aku masih tetap menikmati musik mereka. Sesuatu yang jarang sekali kuperoleh akhir-akhir ini dibalik berlimpahnya timbunan mp3 dan informasi lainnya dalam jagat maya.   

Buatku, intensitas dalam mendengarkan musik di jaman sekarang merupakan sesuatu yang istimewa. Dari sekian banyak musik yang bergelimangan di dunia maya dan siap untuk di unduh sebanyak mungkin, mengandaikan pula suatu kelimpahan informasi yang tidak akan bisa diimbangi oleh kemampuan manusia untuk menyerap semua kelimpahan itu sekaligus. Tentu saja semua ini bukan berarti aku menyalahkan tiap band yang ada dalam jagat maya, hanya saja ini semua hanyalah masalah kebingunganku atas jagat maya itu sendiri. 

Sudah menjadi umum sekarang ini bagaimana suatu musik didengarkan secara sambil lalu, karena pada saat bersamaan, begitu banyak sekaligus cepatnya sebuah band muncul dan tenggelam dimungkinkan dalam jagat maya ini. Kondisi seperti ini juga membuatku berpikir mengenai cita-cita seorang musisi pada masa lampau yang memimpikan karyanya bisa dikenal seluas mungkin. Bagaimana perasaan musisi itu sekarang bila melihat kehidupan saat ini, ketika suatu album dapat dengan mudah diproduksi melalui perangkat lundak dan di unduh dari situs yang terdapat dalam internet? Karena industri musik di jaman sekarang kupikir sedang berada di titik terendahnya bersamaan dengan meluasnya penggunaan internet; toko cd/kaset banyak yang ambruk, lagu banyak yang dibajak, bahkan musisi-musisi itu sendiri banyak yang protes terkait masalah pembajakan karya.

Perubahan wajah dunia musik ini membuat pikiranku mengira-ngira tentang wajah jagat maya yang sesungguhnya. Kupikir jagat maya merupakan jagat yang penuh ketidakjelasan didalamnya. Di satu sisi seseorang seperti Friedman menaruh harapan terhadap pemberdayaan individu maupun kelompok, serta efisiensi dalam aktivitas bisnis. Namun kupikir pandangan Friedman tersebut merupakan pandangan yang cocok diterapkan bagi mereka yang saat ini duduk dalam level setingkat CEO. Belum lagi, ketika seringkali kumerasa Friedman hanya melihat peranan internet dalam mengakomodasi perusahaan agar dapat berekspansi ke negara yang masih memiliki tingkat upah rendah sebagai hal nomor dua ketimbang penekanannya terhadap bagaimana internet yang dapat  membebaskan manusia dan menyumbangkan kekayaan pada suatu masyarakat (baca: perusahaan). Mungkinkah Friedman seseorang yang tergolong sebagai determinis-teknologi? Entahlah. Pastinya dia wartawan.

Hanya saja, aku masih mengalami kebingungan ketika memikirkan dunia seperti apa yang kualami saat ini. Seolah-olah semuanya berputar sangat cepat, dan tahu-tahu, segalanya telah hilang dan  digantikan dengan sesuatu yang baru. Sesuatu yang bahkan prosesnya tak kuketahui sedikit pun.  Pada suatu momen, kadang aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Tidak mengetahui apakah sesuatu itu baik ataukah sebaliknya.

10 komentar:

iwan kurniawan mengatakan...

bo, bukannya dengan adanya Luna Maya, ehh... jagat maya, impian para musisi untuk merengkuh pendengar secara luas itu jadi mudah tercapai yah? kalo menurut gw sih, kenapa banyak musik dan musisi cepat berlalu karena itu memang kualitas musik mereka memang kurang, jadi cepet muncul dan tenggelam. Tapi kalau masalah pembajakan karena si jagat maya ini, memang iya itu mematikan toko cd/musik, sehingga para label sekarang ini lebih suka menjual RBT, dan menurut gw musisi lebih aman menjual RBT, 1 lagu, uang pun mengalir.

Kalau masalah menyerap kelimpahan informasi yang beredar di jagat maya, gw sih menerapkan filter dengan menyerap informasi yang gw anggap penting bagi gw.

Sepertinya ini bentuk kegalauan lo terhadap jagat maya.

abo si eta tea mengatakan...

joi. tapi gua pikir dari kemudahan pencapaian itu muncul dilema. dilemanya berkaitan sama penyebaran lagu. ibaratnya sebaran lagu jdi luas, tapi via mp3 atw bajakan yang seringkali ngebuat musisi-musisi protes (kecuali musisi yg emg sengaja ngegratisin karyanya di internet).

abo si eta tea mengatakan...

gua si konteksnya di laman internetnya ya. gua lebih condong ke masalah sarana internetnya yang ngemudahin band ngeakses karyanya dlm bntk digital, sehingga ngebawa dampak berlimpahnya band-band yg mosting di blog2, dsb. jadi gua ngeliatny ga ke kualitas, wlpun kualitas juga mempengaruhi.

abo si eta tea mengatakan...

sip bos. setuju.

abo si eta tea mengatakan...

emg knp tuh klo misalny ini bntuk kegalauan gw?

iwan kurniawan mengatakan...

Itu si kalo kata gw memang cara mereka untuk mencari eksistensi, dan memang itu berdampak melimpahnya band-band berpromosi di web, karena mudah, cukup klik klik klik... musik sdh di upload. Dan tentu, mereka sadar kalau musik mereka sudah dipuload di blog mereka, maka mereka rela kalau lagu mereka di bajak. Dan kalau gw tanya beberapa band baru yang timbul tenggelam itu, mereka sebenernya rela lagu mereka dibajak 1-2 lagu, karena itu meningkatkan popularitas band mereka, dan memang sekarang mereka ga mencari uang di album tapi RBT. Makanya sekarang di kotak setan yang bernama televisi, muncul band-band baru yang timbul tenggelam karena mereka tidak punya album, hanya keluarin single lalu muncul lagi yang baru. Kaset/cd sekarang hanya menjadi simbol atau bukti mereka telah berkarya.

Tapi mungkin, untuk band-band besar, pembajakan mungkin masih menjadi musuh bersama, karena mereka, band-band ternama yang masih mengedepankan kualitas benar-benar menjadikan cd/kaset sebagai simbol karya bercita rasa tinggi.

Gile, lo bener-bener meng-AWK komentar gw. Sorry Bo kalo out of context, namanya juga isenk.

iwan kurniawan mengatakan...

Bagus Bo, berarti masih ada orang yang sadar internet bukan hanya sekedar buat facebook dan memajang foto alaynya.

abo si eta tea mengatakan...

iya wan, prnh gua baca jga liputan ttg RBT ini di Rolling Stone. dampaknya jadi ada sinergi juga antara industri rekaman ma industri telekomunikasi..

abo si eta tea mengatakan...

bisa jadi wan,,,kadang gua pikir, band2 besar itu merintis karir dari jaman internet belum seheboh skrg, jdinya ketika internet merebak dan perlahan menyingkirkan kaset dan cd, mereka kaget jga...

abo si eta tea mengatakan...

bwahah, AWK...emg skripsi...bebas wan,kalem aja soal out of context mah, kan ada option 'quote original message'? hehe. nuhun kanggo apresiasinya ah. cheersh :)