Jumat, 12 Agustus 2011

Mengenai Ketidakpastian dan Pikiran-pikiran yang Mengelilinginya

Beberapa minggu kemarin saudaraku pernah mengatakan, bahwa saat ini bukanlah masanya untuk menyepelekan segala sesuatu. Sekecil apapun permasalahan yang dihadapi, kita harus menghadapinya secara serius dan menyelesaikannya hingga tuntas.


Perkataan saudaraku itu kupegang dalam-dalam. Namun, kupikir, perkataan itu tidak kuperlakukan semata-mata sebagai sesuatu kerangka berpikirku yang utama. Ku pikir perkataan saudaraku itu ku anggap sekadar sebuah persyaratan ‘formal’ saat diriku berhadapan dengan masyarakat. Tentu, ‘masyarakat’ disini selalu diiringi konteks. Dalam fase kehidupan ku sekarang, konteks itu berarti dinamika kehidupan industri modern yang dibentuk oleh kapitalisme.

Perkataan saudaraku itu masih terngiang, ketika suatu waktu aku menjalani sebuah tes lamaran pekerjaan. Saat itu aku disuruh untuk membuat berita dari empat buah press release. Namun kukira saat itu aku memang sial, karena saat membuka press release pertama, temanya berkutat di seputar permasalahan promosi acara suatu hotel yang terkenal di kotaku. Perasaan malas seketika menyeruak dari diriku. Hampir setengah jam aku berkutat di press release yang pertama tersebut. Memikirkan apa yang seharusnya kutulis. Otak ku serasa membeku, tidak tahu harus memulai dari mana.

“Coba dibuat saja beritanya. Buatlah dengan gaya jurnalistik, jangan terlalu berpromosi,” kuingat sebelumnya seseorang yang mengawasiku membuat berita berkata saat memerintahkan diriku untuk membuka press release.

Satu hal yang mengangguku saat itu adalah tema press release-nya. Promosi acara? Ini benar-benar sampah, pikirku saat itu. Kenyataannya, informasi yang kugarap memang berkutat di seputar acara dalam rangka promosi, tetapi orang itu menyuruhku untuk membuat beritanya dengan sejurnalistik mungkin?

Sepertinya aku memang harus mencoba mahfum, karena tempatku berada saat itu merupakan sebuah perusahaan media massa yang berorientasi kepada permasalahan ekonomi. Mau tidak mau, bisnis serupa promosi acara ini merupakan salah satu santapannya. Santapan yang jelas tidak kusukai.

Celakanya, ketika ku mengintip press release kedua, temanya pun hampir-hampir mirip. Tentang promosi acara sebuah perusahaan. Perasaan malas akut kini meliputi diriku. Pekerjaan membuat berita pun ku tulis dengan sekenanya. Dari dua jam kesempatan membuat berita, aku hanya membuat tiga. Satu kubiarkan terbengkalai, karena temanya sungguh minta ampun amit-amitnya, yakni tentang profil bisnis keripik goreng.

Tak beberapa lama setelah aku mengumpulkan berita, seseorang yang mengujiku itu lantas mempertanyakan keahlian ku membuat berita. Pertanyaan yang dilontarkan itu juga dibarengi oleh  perbandingan dengan pelamar sebelum diriku. Pelamar itu kebetulan satu kampus dengan ku. “Masa dari dua jam, hanya tiga berita yang diselesaikan? Padahal si anu dulu mampu untuk menyelesaikannya. Bagus lagi tulisannya,” kata dia.

Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa yang lebih pantas agar jawabanku tidak berkembang menjadi sebuah konflik yang tak perlu.

Berbagai macam pikiran saat itu berputar-putar di dalam kepalaku. Salah satunya adalah perkataan saudaraku mengenai tidak pernah menyepelekan segala sesuatu kembali terngiang dalam diriku. Bila aku memang seharusnya tidak menyepelekan segala sesuatu, maka seharusnya keempat berita mampu kutulis dalam waktu empat jam. Namun nyatanya, perkataan saudaraku itu tidak kuturuti, padahal itu merupakan salah satu tips agar “selamat” dalam dunia industri modern ini. Nyatanya, aku takluk dengan kemalasan dan kemuakan diriku sendiri. Sesaat, sikap persetan terbesit dari diriku. Seperti yang sudah-sudah. Lantas beberapa pertanyaan dari diriku sendiri mengemuka: apakah aku melakukan segala sesuatunya untuk pengembangan diriku sendiri dan aku memang benar-benar menginginkannya seperti itu? Ataukah semua ini dijalani hanya karena memang sesuatu di luar dirimu membawamu bertindak seperti demikian, dan engkau, mau tidak mau atau sadar tidak sadar, harus melakukannya seperti yang telah digariskan?

Ini semua masalah ego, memang. Namun semuanya terasa menyebalkan. Masalahnya, yang kuhadapi saat itu adalah suatu bentuk relasi sosial bernama dunia industri. Dalam dunia ini, individualitas menjadi faktor yang dinihilkan. Engkau hanya akan diakui bila engkau produktif menurut standar industri. Bila tidak, dirimu boleh memilih untuk berkubang di kolong jembatan bersama jembel-jembel sampah peradaban. Inilah yang kuhadapi: entitas yang impersonal.


Sesaat ku teringat potongan-potongan dari Erich Fromm. Seorang psikoanalis yang karyanya sempat kubaca suatu waktu. Dalam tulisannya, dia mengemukakan konsep mengenai perilaku yang disebutnya “berorientasi pasar”. Pada intinya, Fromm menganggap, bahwa kecenderungan manusia modern dari segi alam bawah sadarnya menganggap, bahwa dirinya adalah komoditas. Layaknya komoditas, dia akan berguna bila dipertukarkan di dalam pasar. Seperti itulah manusia modern. Manusia modern akan berguna bila daya jualnya berhasil dipasarkan.

Di sisi lain, hal itu justru akan menimbulkan ketergantungan manusia terhadap orang lain. Fromm menulis:

[...] dia (manusia modern) merasa nilainya bergantung kepada kesuksesannya, bergantung kepada daya jualnya, bergantung kepada pengakuan dari orang lain. Dia merasa tidak bergantung kepada yang Anda namakan nilai guna dari kepribadiannya, bukan pada kekuasaannya, tidak pada kapasitasnya untuk mencintai, tidak pada kualitas-kualitas manusianya-kecuali jika dia bisa memasarkannya, kecuali jika dia cukup sukses, kecuali jika dia diakui oleh orang lain. Ini yang saya maksudkan dengan ‘orientasi pasar’” (Fromm, 2007: 153).

Lebih lanjut, Fromm menjelaskan bahwa ketergantungan akan daya jual manusia dapat membuat harga diri manusia menjadi rapuh:

Mereka (manusia modern) tidak merasa diri mereka berharga karena pengakuan mereka sendiri: ‘ini adalah saya, ini kapasitas saya untuk mencintai, ini kapasitas saya untuk berpikir dan merasa’, tapi karena mereka diakui oleh orang lain, karena mereka dapat menjual mereka sendiri, karena orang lain berkata: ‘ini seorang laki-laki yang menakjubkan’ atau ‘seorang perempuan yang mencengangkan’” (Fromm, 2007: 153).

Perkataan-perkataan saudaraku, peristiwa tes untuk bekerja di sebuah media massa ekonomi, pemikiran Fromm, semuanya berputar-putar di dalam benakku. Bagaimanakah harus kupandang diriku saat ini, ketika relasi sosial yang kuhadapi saat ini begitu berdaya untuk mentransformasi individualitas manusia menjadi sosok yang entah berupa seperti apa nantinya? Siapakah saya di tengah-tengah kehidupan yang serba membingungkan ini? 

Pertanyaan itu tidak mampu kujawab saat ini.

Semuanya masih berjalan...semuanya sedang konstan berubah...



Referensi

Fromm, E. 2007. Cinta, Seksualitas, Matriarki, Kajian Komprehensif Tentang Gender.  Yogyakarta: Jalasutra.

2 komentar:

Elfira Arisanti mengatakan...

entitas yang impersonal?
hmm...

siluman mengatakan...

iya, Elfira.