Kalau bicara kenangan, saya menyenangi kenangan. Karena memang saya pemalas. Tetapi pastinya saya akan mengenang yang sudah lewat akhir-akhir ini: jalan raya, perempatan, orang-orang, dan berita. Ada hal yang saya senangi, ketika berkelana di luar, dan tidak seluruhnya sanggup untuk kutuangkan dalam tulisan. Tetapi…begitulah, mencari berita memang melelahkan dan selalu melelahkan. Tetapi ada rasa puas, ketika mengetahui dirimu ternyata telah menyelesaikan sebuah tugas dengan maksimal, walaupun belum baik sama sekali.
Dan selama ini mengelilingi sebuah daerah yang disebut oleh korlip sebagai Bandung Tengah…terbesit sebuah pikiran: mungkin saya memang orang yang kolot. Tidak selalu saya senang dilengkapi peralatan-peralatan canggih yang sanggup memangkas waktu, dan meningkatkan ketergesaan. Dalam hal ini, memuaskan libido orang kantor akan sebuah ekstase kecepatan dalam menyampaikan sebuah berita melalui sinyal dan frekuensi.
Bagaimanapun, tetap saja, saya selalu menyenangi untuk duduk sejenak setelah sebelumnya melewati berbagai macam hal dan peristiwa dari pagi hingga sore. Duduk untuk kemudian merokok dan membuka microsoft words. Mengendapkan segalanya terlebih dahulu, dan berpikir, kira-kira kata apa saja yang paling mendekati sebuah peristiwa untuk dirancang kedalam sebuah narasi besar yang tersusun dalam paragraf demi paragraf. Ada permainan imajinasi, dan tentunya ada kenangan yang dibangkitkan kembali dalam menulis.
Begitulah, mungkin saya memang orang yang kolot atau memang bodoh dari sananya. Tetapi saya tidak senang hadir dalam sebuah peristiwa hanya untuk melihat dan membicarakannya begitu saja melalui teknologi canggih macam telepon selular dan pemancar. Mengemasnya dalam rentang waktu maksimal tiga menit, untuk kemudian menguap begitu saja di udara. Karena bagiku, ada beberapa peristiwa yang otentik. Yang tidak bisa begitu saja dibungkus menjadi sebuah informasi yang serba cepat dan terpotong-potong.
Begitulah, kembali lagi. Saya memang seorang pemalas. Yang saya inginkan hanyalah waktu luang untuk menjernihkan segalanya. Tetapi tentunya waktu luang di jaman kekinian merupakan sesuatu yang percuma, karena konon, kita dikutuk untuk mempercayai kerja sebagai sesuatu yang luhur. Semakin banyak waktu kerja, semakin budiman seorang manusia. Makanya, waktu luang bukanlah teman yang serasi bagi kerja, karena waktu luang bersinonim dengan kemalasan. Berbeda dengan kerja, dia adalah sebuah kegiatan yang konon menghasilkan nilai lebih. Walaupun, Tuhan mengetahui, berapa sekian juta rupiah yang dihasilkan oleh tenaga para pekerja diambil para juragan di atas sana.
Tetapi, demi sebuah kenangan, ku memilih mengenyampingkan dahulu tetek bengek perihal kerja ini. Karena ku ingin mengingat orang-orang di trotoar, gedung, jalan raya, perempatan, dan tempat-tempat yang terasa baru, walaupun sebenarnya kau telah melewati tempat itu sejuta kali. Mengingatnya, karena pagi nanti adalah hari yang lain lagi. Dan peristiwa berdatangan silih berganti, memaparkan potongan-potongan yang berkaitan. Tercecer di setiap jalan.
Dan mungkin saya akan kembali lagi berkelana di jalan itu dan sesekali duduk tetirah di trotoarnya…kuharap tanpa teknologi canggih dan frekuensi. Hanya imajinasi dan kenangan.
Dan selama ini mengelilingi sebuah daerah yang disebut oleh korlip sebagai Bandung Tengah…terbesit sebuah pikiran: mungkin saya memang orang yang kolot. Tidak selalu saya senang dilengkapi peralatan-peralatan canggih yang sanggup memangkas waktu, dan meningkatkan ketergesaan. Dalam hal ini, memuaskan libido orang kantor akan sebuah ekstase kecepatan dalam menyampaikan sebuah berita melalui sinyal dan frekuensi.
Bagaimanapun, tetap saja, saya selalu menyenangi untuk duduk sejenak setelah sebelumnya melewati berbagai macam hal dan peristiwa dari pagi hingga sore. Duduk untuk kemudian merokok dan membuka microsoft words. Mengendapkan segalanya terlebih dahulu, dan berpikir, kira-kira kata apa saja yang paling mendekati sebuah peristiwa untuk dirancang kedalam sebuah narasi besar yang tersusun dalam paragraf demi paragraf. Ada permainan imajinasi, dan tentunya ada kenangan yang dibangkitkan kembali dalam menulis.
Begitulah, mungkin saya memang orang yang kolot atau memang bodoh dari sananya. Tetapi saya tidak senang hadir dalam sebuah peristiwa hanya untuk melihat dan membicarakannya begitu saja melalui teknologi canggih macam telepon selular dan pemancar. Mengemasnya dalam rentang waktu maksimal tiga menit, untuk kemudian menguap begitu saja di udara. Karena bagiku, ada beberapa peristiwa yang otentik. Yang tidak bisa begitu saja dibungkus menjadi sebuah informasi yang serba cepat dan terpotong-potong.
Begitulah, kembali lagi. Saya memang seorang pemalas. Yang saya inginkan hanyalah waktu luang untuk menjernihkan segalanya. Tetapi tentunya waktu luang di jaman kekinian merupakan sesuatu yang percuma, karena konon, kita dikutuk untuk mempercayai kerja sebagai sesuatu yang luhur. Semakin banyak waktu kerja, semakin budiman seorang manusia. Makanya, waktu luang bukanlah teman yang serasi bagi kerja, karena waktu luang bersinonim dengan kemalasan. Berbeda dengan kerja, dia adalah sebuah kegiatan yang konon menghasilkan nilai lebih. Walaupun, Tuhan mengetahui, berapa sekian juta rupiah yang dihasilkan oleh tenaga para pekerja diambil para juragan di atas sana.
Tetapi, demi sebuah kenangan, ku memilih mengenyampingkan dahulu tetek bengek perihal kerja ini. Karena ku ingin mengingat orang-orang di trotoar, gedung, jalan raya, perempatan, dan tempat-tempat yang terasa baru, walaupun sebenarnya kau telah melewati tempat itu sejuta kali. Mengingatnya, karena pagi nanti adalah hari yang lain lagi. Dan peristiwa berdatangan silih berganti, memaparkan potongan-potongan yang berkaitan. Tercecer di setiap jalan.
Dan mungkin saya akan kembali lagi berkelana di jalan itu dan sesekali duduk tetirah di trotoarnya…kuharap tanpa teknologi canggih dan frekuensi. Hanya imajinasi dan kenangan.
6 komentar:
Gokil coy. Setiap orang butuh margin, jeda utk mendapatkan arti. Nice
akhir-akhir ini, seteleh keluar kampus, saya baru sadar, semua orang bekerja, mencari uang, pagi sampai larut malam, sampai tidak karu-karuan. Waktu saya bilang ini sama bapak saya, dia bilang: "orang hidup ya kerja, kalau enggak kerja mau apa? mau makan apa?"
sebenernya udah tau dari dulu, tapi baru sadar, baru betul-betul sadar, orang hidup untuk bekerja, sepertinya begitu. Gatau kenapa ini bikin sedih, mungkin karena saya penakut. kalau kamu malas, saya takut, saya takut tidak bisa makan, say takut tidak bisa hidup, hehe :)
spasi. kata-kata tak akan memiliki arti, tanpa diberi spasi. (kata dewi lestari lho, bukan kata saya ;p)
Iyah cil. kerja buat menuhin kebutuhan hidup...buat aktualisasi diri. penting banget kerja mah.sepakat.
tapi kantor mah, tempat kerja kita nanti, ga pernah perduli siapa kamu, kantor cuman mau apa yang bisa didapetin semaksimal mungkin dari hasil kerjaan kamu. he.
jadi kalau kamu takut, apalagi takut 'tidak bisa hidup'. emang harus takut. hehe.
mari kita menyongsong industri dunia kerja (dan mulai berperang didalamnya). :)
hehe, apalagi pas musim kemarau di jam 2 siang Yas. uh.
aduhh.. enaknya minum cendol tuh atau es pisang ijo. Sueger, Bo
Posting Komentar