Sebenarnya sore itu tubuh benar-benar sudah rusak. Pengganjal perut hanya kupat tahu di jam 8 pagi dan indomie rebus di jam 1 siang. Sisanya, hanya rute dan jadwal. Rute mulai dari Jalan Pasir Koja hingga jadwal rapat paripurna yang isinya tidak pernah kesampaian oleh otak yang kelewat sederhana ini.
Waktu itu jam 3 sore dengan latar gedung parlemen. Perut kerubukan. Pasokan indomie hanya bertahan dua jam kurang, tapi uang seribu di saku tinggal dua lembar. Kusundut garpit sebagai pengganjal lapar, walaupun hasilnya omong kosong. Malah lebih parah. Tenggorokan kering dan asapnya jadi terasa pahit. Perut masih nyakar.Tapi acuh, terus hisap. Terus hembuskan.
Mata juga sedari pagi susah diajak kompromi. Dihitung-hitung, tidur hanya empat jam. Makanya, beberapa kali cuci muka dan ngucek-ngucek mata, tetap saja terasa seperti ditusuk-tusuk. Jadinya berpengaruh juga ke lutut. Terasa lemas dan tremor. Apalagi salah seorang yang terhormat, karena masuk gedung parlemen, berbicara seadanya. Tidak cukup untuk dijadikan berita. Orang yang terhormat itu juga cepat sekali ngeloyor masuk ke dalam mobil dinasnya yang mewah sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Sialan.
Sudah tidak bisa lagi berpikir. Mengulik bahan agar layak disiarkan. Tapi saya ingin tidur. Ingin ketenangan. Otak juga nampaknya demikian, karena si otak tidak mau diajak kerja sama. Ya sudah, perduli setan berita. Bahan yang didapat tidak diolah. Toh, orang kantor tidak tahu apa yang saya lakukan diluar kantor. Mereka tidak tahu apa-apa, kecuali saya punya kewajiban muter-muter di bandung tengah. Lagipula, ada satu isu pegangan yang didapat tadi pagi. Sudah aman.
Berjalanlah saya ke tempat parkir. Ambil motor dan berpikir sebenarnya akan dibawa kemana kendaraan ini. Jam 5 sore ada reportase yang harus dilakukan. Buat pulang ke rumah, kagok. Ada rentang waktu dua jam yang menyebalkan. Tapi untunglah. Ketika ke luar gerbang gedung parlemen, ada orang ini, si Man. Dia sedang duduk di trotoar depan gedung parlemen. Buat saya, ini pertanda baik. Rentang waktu dua jam bisa dimanfaatkan bareng si Man. Saya hampirilah orang yang kelihatannya sedang khusyuk menelepon di trotoar itu. Man menoleh kearahku sebentar. Tersenyum kecil dan sibuk lagi berbicara lewat telepon dengan tangan kanannya yang sibuk mencatat.
Man duduk di trotoar yang biasa dijadikan tempat nongkrong bagi orang-orang yang suka nodong mikropon di depan wajah orang yang mereka suka. Di tempat itu hanya terlihat Man. Sudah sore memang. Orang-orang yang suka nodong mikropon itu juga memang sudah berkubang di tempatnya masing-masing. Meracik bumbu untuk besok pagi.
Melihat pose duduk si Man di trotoar saat itu, jadi ingin membuat pameran sculpture bertema “orang yang menodong dan menggarap”. Coba saja bayangkan. Kepala miring ke arah kiri. Lalu bahu kiri juga diangkat sedikit untuk menjepit telepon selular. Tangan kiri memegang buku kecil, sedangkan tangan yang satunya lagi menggoreskan tinta di atasnya. Kedua kaki merapat. Indah nian si Man. Begitu khusyuk.
“Aya naon ayeuna, Man?” tanya saya kemudian seusai dia menelepon.
“Ieu…biasa, teknologi tea. Bio gas kitu,” jawabnya sambil merogoh saku sweaternya dan mengeluarkan sebatang rokok kretek.
Ctak. Ceshh…api diujung rokok menyala, disusul hembusan asapnya yang keluar dari mulut Man. Rokok masih menempel di mulut Man. Sementara kedua tangannya sibuk memasukkan buku kecil dan korek api ke dalam saku sweaternya. Man nampak kewalahan. Gumpalan asap rokoknya semakin tebal, tetapi dia tidak ingin melepaskan rokok yang sebenarnya jadi sumber masalahnya sendiri.
“Bluah!!” jeritnya tidak lama kemudian. Tidak kuat juga dia diteror asap dari rokoknya sendiri. Dia jepit rokok yang menempel dimulutnya, lalu melepaskannya.
“Peurih euy, beunang panon,” katanya sambil mengucek-ucek matanya yang berair.
“Heheh. Ripuh, lur,” timpal saya.
Trotoar tempat kami duduk saat itu memang terasa menyenangkan. Setidaknya bagiku. Apalagi bila sedang nongkrong. Mobil berseliweran, manusia lalu lalang. Angin sepoi-sepoi. Tinggallah menyalakan sebatang rokok garpit ditambah es jeruk gelas yang berharga lima ratus perak. Dibumbui dengan sedikit percakapan tentunya juga akan terasa meriah.
Sore itu ada satu jam empat puluh lima menit kesempatan saya untuk nongkrong sambil menunggu waktu reportase rutin jam 5 sore. Kesempatan itu juga saya gunakan untuk ngobrol ngaler-ngidul dengan si Man. Dan memang kami ngobrol ngaler-ngidul. Mulai dari isu bandrek, layout, isu, sampai kerjaan.
“Kumaha gawe di tempat nu ayeuna euy? Resep teu kukurilingan,” kata saya.
“Sebenerna mah teu sih,” katanya sambil geleng-geleng kepala.
“Hehe, kunaon kitu?”
“Teuing…asa kucel we. Jeung asa teu boga waktu jang aktivitas nu lain. Jigana urang teu cocok gawe out door jiga kieu. Hayang na mah jadi dosen.”
Pertama kali saya kenal dengan Man, ketika ada kecelakaan pesawat di Bandara Husein Sastranegara. Saat itu dia baru satu bulan kerja di sebuah surat kabar lokal, dan saya sedang pkl juga di sebuah surat kabar. Pesawat Fokker milik militer yang jatuh di bandara Husein saat itu memang mengejutkan. Begitu pula suasana di Rumah Sakit Selamun, tempat dimana kami ditugaskan untuk memantau. Keluarga korban berdatangan, begitu juga petinggi militer. Suasana tegang sekali saat itu. Selama di RS itu saya kerap berdua dengan Man. Lama-kelamaan, akhirnya kami akrab juga. Sudah lima bulan berlalu semenjak perkenalan di RS Selamun itu.
“Sebenerna, pekerjaan nu ku urang tekuni ayeuna teh pilihan terakhir. Basa lulus kuliah, urang ngalamar gawe ka nu bidangna di luar jurusan urang. Tapi keterimanya di sini. Ya udah,” kata Iman lalu menghisap rokok kreteknya dan menopangkan dagunya.
***
Suatu saat saya pernah berbincang-bincang bersama seorang teman kuliah yang sejurusan denganku. Temanya tentang betapa memuakannya jurusan yang kami tinggali selama kurang lebih empat tahun ini. Teman saya itu orang pintar, dan juga kritis. Tapi ironisnya, dia bekerja untuk jurusan itu. Temanku itu juga menyadari betapa problematisnya hidup dengan pikiran yang berbeda ide dengan sebagian besar orang-orang di dalam jurusan.
Pikiran temanku itu, pada dasarnya sama dengan Man. Dia lebih memilih dunia akademik, dibandingkan dunia lapangan yang tak menentu ini. Alasannya, menurutnya, kenyataan yang dihadapi di lapangan begitu jauh berbeda dengan apa yang dicekoki oleh jurusan kepada para mahasiswanya. Di jurusan saya tersebut, doktrin tentang spesialisasi yang diajarkan memang begitu indah. Idealismenya luhur dan seolah-olah adi luhung. Tetapi, pada kenyataannya, jurusan saya itu hanya seperti mencetak manusia-manusia yang segenap pengetahuan dan tenaganya dipersembahkan untuk kepentingan industri semata dalam mengakumulasi keuntungan. Tidak ada himne, layaknya pejuang yang dikagumi orang. Tidak ada cerita kehidupan mahsyur bak kaisar Romawi. Sebagian besar hanya orang-orang yang berada di jalan sendirian dan kelelahan.
Maka dari itu, temanku memilih dunia akademik, karena bisa mendapatkan lebih banyak waktu luang dan ilmu pengetahuan. “Lagipula, selama ini hidup kita pada dasarnya tidak ada kebebasan. Ya, kita bisa memilih, tetapi hanya dalam koridor yang telah disediakan. Seperti ketika jaman SMA, kamu bebas memilih, apakah akan masuk IPA atau IPS. Ya, kamu bebas memilih, tetapi hanya sebatas pada jalur yang telah di sediakan. Lalu, begitu seterusnya hingga kuliah. Dan ketika kamu memilih, maka kamu hanya menekuni satu jalur pengetahuan yang telah disediakan. Hidupmu sudah dipatok. Tetapi, di dunia ini ‘kan ilmu pengetahuan tidak berada di satu jalur saja. Tetapi tersebar di mana-mana,” jelas teman kampusku itu suatu saat.
Ucapan teman kampusku itu juga ternyata mirip dengan ucapan Man, saat dia mengatakan keinginannya. “Sebenarnya saya ingin berkarya. Bikin buku. Tetapi waktu luang yang saya miliki sekarang habis oleh pekerjaan ini,” kata Man.
Pekerjaan yang Man jalani sekarang memang sangat menyita waktu. Bagaimana tidak, dalam sehari dia dituntut mencari tiga berita. Otaknya harus memutar-mutar waktu tiap hari untuk mendapatkan ketiga berita itu. Kesempatan mencari berita dalam sehari yang dimiliki Man juga sedikit. Jam 5 sore dia harus mengetik berita yang dia dapat, setelah sebelumnya mencari kesana-kemari di lapangan. Setelah itu, beres mengetik rata-rata jam tujuh hingga jam delapan malam. Habis beres segala urusan di kantor, pulang ke rumah sekitar jam sembilan malam. Tentunya otak dan tubuh terlanjur lelah untuk melakukan aktivitas lainnya di jam-jam itu. Makanya, lebih baik tidur dan bangun keesokan harinya dengan kembali melakukan aktivitas seperti kemarin, walaupun ada beberapa variasi yang membuatnya berbeda. Walaupun sedikit.
Man, bagaimanapun juga, berbeda dengan teman kampusku yang pintar dan kritis tersebut bila membanding-bandingkan. Teman kampus ku itu saat ini memasuki dunia yang diinginkannya dan aku memang iri terhadapnya. Bagaimana tidak, aku ingin pintar dan kritis, seperti dirinya. Memiliki pengetahuan yang dapat mengembangkan potensi diri. Di sisi lain, ada Man. Orang yang memilih dunianya sebagai pilihan terakhir dan paling terpaksa. Dan terkadang mengeluh, bagaimana ritme kehidupannya berjalan begitu cepat, sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sepotong-potong dan tidak tuntas bagi dirinya. Tetapi aku kagum kepada orang-orang seperti Man ini. Mengetahui bahwa jalan raya adalah kehidupan yang dijalaninya, walaupun pada dasarnya memang kehidupan yang kesannya terpaksa. Tetapi, mengetahui setiap hari dia kembali ke jalanan dan menghidupinya, menjadi kekaguman tersendiri bagiku…kita memang orang-orang kesepian ditengah riuhnya jalan raya dan bertahan di dalamnya. Dan itu bukanlah perkara mudah. Tidak ada yang mudah.
***
“Mas, mau beli voucher pulsa gak? Lagi promosi nih,” kata seorang perempuan dengan sedikit merajuk. Senyum manisnya terkembang (mungkin disuruh oleh manajer SPG-nya).
Aku dan Man tidak berkata apa-apa. Selain terkejut, karena kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba, kami terpaku cukup lama, mengetahui ternyata perempuan yang menawarkan pulsa itu memiliki paras yang sangat manis. Rambutnya sedikit kuning terurai sampai bahu. Pembawaannya ceria dan ramai. “Ayo dong, Mas. Pada mau ga, mumpung promosi,” katanya kembali merajuk.
Tetap tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku atau Man. Kami hanya memandang perempuan yang manis tersebut sambil meggelengkan lengan pertanda kami tidak tertarik.
“Yahh…ya udah deh. Makasi yaa,” katanya kecewa lalu meninggalkan kami.
Mata saya dan Man masih tertuju ke perempuan yang meninggalkan kami. Tubuhnya memang indah dipandang. Seolah-olah keceriaan dan lekuk tubuhnya yang bohay itu bisa menghilangkan kekucelan kami. Melupakan sejenak perutku yang perih, karena belum disokong sesuatu makanan yang layak.Cukup lama kami memandangi perempuan itu, hingga berjarak sekitar setengah meter.
“Kalau sama Mbak, saya mau,” Man akhirnya buka suara. Terlambat.
“Wahahah, enya Man!”
Perempuan yang manis itu telah pergi jauh (dan tentunya tidak mendengar apa yang diucapkan Man). Jam empat sudah lewat lebih sepuluh menit. Saatnya kembali ke tujuan masing-masing. Man kembali ke kantor untuk mengetik, sedangkan saya kembali ke Pasir Koja untuk reportase. Menaiki motor yang menjadi senjata kami dan menapaki jalan yang lain. Entah kapan kami akan bertemu lagi di jalan raya atau trotoar seperti ini.
Tetapi, sore selalu indah dengan segala keterasingannya dan menjadi sedikit pelipur lara. Seperti saat itu, ketika meninggalkan Gedung Sate.
Catatan akhir:
selama ini aku selalu menyepelekan segala sesuatunya. Menyederhanakan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa disederhanakan. Semuanya hanya karena kepengecutan dan kemalasan. Dan saat ini aku benar-benar ketakutan memikirkan segalanya ternyata tertinggal dan tidak terkejar.
Waktu itu jam 3 sore dengan latar gedung parlemen. Perut kerubukan. Pasokan indomie hanya bertahan dua jam kurang, tapi uang seribu di saku tinggal dua lembar. Kusundut garpit sebagai pengganjal lapar, walaupun hasilnya omong kosong. Malah lebih parah. Tenggorokan kering dan asapnya jadi terasa pahit. Perut masih nyakar.Tapi acuh, terus hisap. Terus hembuskan.
Mata juga sedari pagi susah diajak kompromi. Dihitung-hitung, tidur hanya empat jam. Makanya, beberapa kali cuci muka dan ngucek-ngucek mata, tetap saja terasa seperti ditusuk-tusuk. Jadinya berpengaruh juga ke lutut. Terasa lemas dan tremor. Apalagi salah seorang yang terhormat, karena masuk gedung parlemen, berbicara seadanya. Tidak cukup untuk dijadikan berita. Orang yang terhormat itu juga cepat sekali ngeloyor masuk ke dalam mobil dinasnya yang mewah sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Sialan.
Sudah tidak bisa lagi berpikir. Mengulik bahan agar layak disiarkan. Tapi saya ingin tidur. Ingin ketenangan. Otak juga nampaknya demikian, karena si otak tidak mau diajak kerja sama. Ya sudah, perduli setan berita. Bahan yang didapat tidak diolah. Toh, orang kantor tidak tahu apa yang saya lakukan diluar kantor. Mereka tidak tahu apa-apa, kecuali saya punya kewajiban muter-muter di bandung tengah. Lagipula, ada satu isu pegangan yang didapat tadi pagi. Sudah aman.
Berjalanlah saya ke tempat parkir. Ambil motor dan berpikir sebenarnya akan dibawa kemana kendaraan ini. Jam 5 sore ada reportase yang harus dilakukan. Buat pulang ke rumah, kagok. Ada rentang waktu dua jam yang menyebalkan. Tapi untunglah. Ketika ke luar gerbang gedung parlemen, ada orang ini, si Man. Dia sedang duduk di trotoar depan gedung parlemen. Buat saya, ini pertanda baik. Rentang waktu dua jam bisa dimanfaatkan bareng si Man. Saya hampirilah orang yang kelihatannya sedang khusyuk menelepon di trotoar itu. Man menoleh kearahku sebentar. Tersenyum kecil dan sibuk lagi berbicara lewat telepon dengan tangan kanannya yang sibuk mencatat.
Man duduk di trotoar yang biasa dijadikan tempat nongkrong bagi orang-orang yang suka nodong mikropon di depan wajah orang yang mereka suka. Di tempat itu hanya terlihat Man. Sudah sore memang. Orang-orang yang suka nodong mikropon itu juga memang sudah berkubang di tempatnya masing-masing. Meracik bumbu untuk besok pagi.
Melihat pose duduk si Man di trotoar saat itu, jadi ingin membuat pameran sculpture bertema “orang yang menodong dan menggarap”. Coba saja bayangkan. Kepala miring ke arah kiri. Lalu bahu kiri juga diangkat sedikit untuk menjepit telepon selular. Tangan kiri memegang buku kecil, sedangkan tangan yang satunya lagi menggoreskan tinta di atasnya. Kedua kaki merapat. Indah nian si Man. Begitu khusyuk.
“Aya naon ayeuna, Man?” tanya saya kemudian seusai dia menelepon.
“Ieu…biasa, teknologi tea. Bio gas kitu,” jawabnya sambil merogoh saku sweaternya dan mengeluarkan sebatang rokok kretek.
Ctak. Ceshh…api diujung rokok menyala, disusul hembusan asapnya yang keluar dari mulut Man. Rokok masih menempel di mulut Man. Sementara kedua tangannya sibuk memasukkan buku kecil dan korek api ke dalam saku sweaternya. Man nampak kewalahan. Gumpalan asap rokoknya semakin tebal, tetapi dia tidak ingin melepaskan rokok yang sebenarnya jadi sumber masalahnya sendiri.
“Bluah!!” jeritnya tidak lama kemudian. Tidak kuat juga dia diteror asap dari rokoknya sendiri. Dia jepit rokok yang menempel dimulutnya, lalu melepaskannya.
“Peurih euy, beunang panon,” katanya sambil mengucek-ucek matanya yang berair.
“Heheh. Ripuh, lur,” timpal saya.
Trotoar tempat kami duduk saat itu memang terasa menyenangkan. Setidaknya bagiku. Apalagi bila sedang nongkrong. Mobil berseliweran, manusia lalu lalang. Angin sepoi-sepoi. Tinggallah menyalakan sebatang rokok garpit ditambah es jeruk gelas yang berharga lima ratus perak. Dibumbui dengan sedikit percakapan tentunya juga akan terasa meriah.
Sore itu ada satu jam empat puluh lima menit kesempatan saya untuk nongkrong sambil menunggu waktu reportase rutin jam 5 sore. Kesempatan itu juga saya gunakan untuk ngobrol ngaler-ngidul dengan si Man. Dan memang kami ngobrol ngaler-ngidul. Mulai dari isu bandrek, layout, isu, sampai kerjaan.
“Kumaha gawe di tempat nu ayeuna euy? Resep teu kukurilingan,” kata saya.
“Sebenerna mah teu sih,” katanya sambil geleng-geleng kepala.
“Hehe, kunaon kitu?”
“Teuing…asa kucel we. Jeung asa teu boga waktu jang aktivitas nu lain. Jigana urang teu cocok gawe out door jiga kieu. Hayang na mah jadi dosen.”
Pertama kali saya kenal dengan Man, ketika ada kecelakaan pesawat di Bandara Husein Sastranegara. Saat itu dia baru satu bulan kerja di sebuah surat kabar lokal, dan saya sedang pkl juga di sebuah surat kabar. Pesawat Fokker milik militer yang jatuh di bandara Husein saat itu memang mengejutkan. Begitu pula suasana di Rumah Sakit Selamun, tempat dimana kami ditugaskan untuk memantau. Keluarga korban berdatangan, begitu juga petinggi militer. Suasana tegang sekali saat itu. Selama di RS itu saya kerap berdua dengan Man. Lama-kelamaan, akhirnya kami akrab juga. Sudah lima bulan berlalu semenjak perkenalan di RS Selamun itu.
“Sebenerna, pekerjaan nu ku urang tekuni ayeuna teh pilihan terakhir. Basa lulus kuliah, urang ngalamar gawe ka nu bidangna di luar jurusan urang. Tapi keterimanya di sini. Ya udah,” kata Iman lalu menghisap rokok kreteknya dan menopangkan dagunya.
***
Suatu saat saya pernah berbincang-bincang bersama seorang teman kuliah yang sejurusan denganku. Temanya tentang betapa memuakannya jurusan yang kami tinggali selama kurang lebih empat tahun ini. Teman saya itu orang pintar, dan juga kritis. Tapi ironisnya, dia bekerja untuk jurusan itu. Temanku itu juga menyadari betapa problematisnya hidup dengan pikiran yang berbeda ide dengan sebagian besar orang-orang di dalam jurusan.
Pikiran temanku itu, pada dasarnya sama dengan Man. Dia lebih memilih dunia akademik, dibandingkan dunia lapangan yang tak menentu ini. Alasannya, menurutnya, kenyataan yang dihadapi di lapangan begitu jauh berbeda dengan apa yang dicekoki oleh jurusan kepada para mahasiswanya. Di jurusan saya tersebut, doktrin tentang spesialisasi yang diajarkan memang begitu indah. Idealismenya luhur dan seolah-olah adi luhung. Tetapi, pada kenyataannya, jurusan saya itu hanya seperti mencetak manusia-manusia yang segenap pengetahuan dan tenaganya dipersembahkan untuk kepentingan industri semata dalam mengakumulasi keuntungan. Tidak ada himne, layaknya pejuang yang dikagumi orang. Tidak ada cerita kehidupan mahsyur bak kaisar Romawi. Sebagian besar hanya orang-orang yang berada di jalan sendirian dan kelelahan.
Maka dari itu, temanku memilih dunia akademik, karena bisa mendapatkan lebih banyak waktu luang dan ilmu pengetahuan. “Lagipula, selama ini hidup kita pada dasarnya tidak ada kebebasan. Ya, kita bisa memilih, tetapi hanya dalam koridor yang telah disediakan. Seperti ketika jaman SMA, kamu bebas memilih, apakah akan masuk IPA atau IPS. Ya, kamu bebas memilih, tetapi hanya sebatas pada jalur yang telah di sediakan. Lalu, begitu seterusnya hingga kuliah. Dan ketika kamu memilih, maka kamu hanya menekuni satu jalur pengetahuan yang telah disediakan. Hidupmu sudah dipatok. Tetapi, di dunia ini ‘kan ilmu pengetahuan tidak berada di satu jalur saja. Tetapi tersebar di mana-mana,” jelas teman kampusku itu suatu saat.
Ucapan teman kampusku itu juga ternyata mirip dengan ucapan Man, saat dia mengatakan keinginannya. “Sebenarnya saya ingin berkarya. Bikin buku. Tetapi waktu luang yang saya miliki sekarang habis oleh pekerjaan ini,” kata Man.
Pekerjaan yang Man jalani sekarang memang sangat menyita waktu. Bagaimana tidak, dalam sehari dia dituntut mencari tiga berita. Otaknya harus memutar-mutar waktu tiap hari untuk mendapatkan ketiga berita itu. Kesempatan mencari berita dalam sehari yang dimiliki Man juga sedikit. Jam 5 sore dia harus mengetik berita yang dia dapat, setelah sebelumnya mencari kesana-kemari di lapangan. Setelah itu, beres mengetik rata-rata jam tujuh hingga jam delapan malam. Habis beres segala urusan di kantor, pulang ke rumah sekitar jam sembilan malam. Tentunya otak dan tubuh terlanjur lelah untuk melakukan aktivitas lainnya di jam-jam itu. Makanya, lebih baik tidur dan bangun keesokan harinya dengan kembali melakukan aktivitas seperti kemarin, walaupun ada beberapa variasi yang membuatnya berbeda. Walaupun sedikit.
Man, bagaimanapun juga, berbeda dengan teman kampusku yang pintar dan kritis tersebut bila membanding-bandingkan. Teman kampus ku itu saat ini memasuki dunia yang diinginkannya dan aku memang iri terhadapnya. Bagaimana tidak, aku ingin pintar dan kritis, seperti dirinya. Memiliki pengetahuan yang dapat mengembangkan potensi diri. Di sisi lain, ada Man. Orang yang memilih dunianya sebagai pilihan terakhir dan paling terpaksa. Dan terkadang mengeluh, bagaimana ritme kehidupannya berjalan begitu cepat, sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sepotong-potong dan tidak tuntas bagi dirinya. Tetapi aku kagum kepada orang-orang seperti Man ini. Mengetahui bahwa jalan raya adalah kehidupan yang dijalaninya, walaupun pada dasarnya memang kehidupan yang kesannya terpaksa. Tetapi, mengetahui setiap hari dia kembali ke jalanan dan menghidupinya, menjadi kekaguman tersendiri bagiku…kita memang orang-orang kesepian ditengah riuhnya jalan raya dan bertahan di dalamnya. Dan itu bukanlah perkara mudah. Tidak ada yang mudah.
***
“Mas, mau beli voucher pulsa gak? Lagi promosi nih,” kata seorang perempuan dengan sedikit merajuk. Senyum manisnya terkembang (mungkin disuruh oleh manajer SPG-nya).
Aku dan Man tidak berkata apa-apa. Selain terkejut, karena kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba, kami terpaku cukup lama, mengetahui ternyata perempuan yang menawarkan pulsa itu memiliki paras yang sangat manis. Rambutnya sedikit kuning terurai sampai bahu. Pembawaannya ceria dan ramai. “Ayo dong, Mas. Pada mau ga, mumpung promosi,” katanya kembali merajuk.
Tetap tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku atau Man. Kami hanya memandang perempuan yang manis tersebut sambil meggelengkan lengan pertanda kami tidak tertarik.
“Yahh…ya udah deh. Makasi yaa,” katanya kecewa lalu meninggalkan kami.
Mata saya dan Man masih tertuju ke perempuan yang meninggalkan kami. Tubuhnya memang indah dipandang. Seolah-olah keceriaan dan lekuk tubuhnya yang bohay itu bisa menghilangkan kekucelan kami. Melupakan sejenak perutku yang perih, karena belum disokong sesuatu makanan yang layak.Cukup lama kami memandangi perempuan itu, hingga berjarak sekitar setengah meter.
“Kalau sama Mbak, saya mau,” Man akhirnya buka suara. Terlambat.
“Wahahah, enya Man!”
Perempuan yang manis itu telah pergi jauh (dan tentunya tidak mendengar apa yang diucapkan Man). Jam empat sudah lewat lebih sepuluh menit. Saatnya kembali ke tujuan masing-masing. Man kembali ke kantor untuk mengetik, sedangkan saya kembali ke Pasir Koja untuk reportase. Menaiki motor yang menjadi senjata kami dan menapaki jalan yang lain. Entah kapan kami akan bertemu lagi di jalan raya atau trotoar seperti ini.
Tetapi, sore selalu indah dengan segala keterasingannya dan menjadi sedikit pelipur lara. Seperti saat itu, ketika meninggalkan Gedung Sate.
Catatan akhir:
selama ini aku selalu menyepelekan segala sesuatunya. Menyederhanakan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa disederhanakan. Semuanya hanya karena kepengecutan dan kemalasan. Dan saat ini aku benar-benar ketakutan memikirkan segalanya ternyata tertinggal dan tidak terkejar.
4 komentar:
wartawan harian. so, berminat untuk terus di profesi ini bo?
aaaahh...ga tau. belum bisa jawab sekarang euy.
ah.. urang mah guru les wae lah bo.. ahahaha
teruskan juragan. mantap. banyak waktu luang.
Posting Komentar