25 September 2008 ini Kota Bandung merayakan Ulang Tahunnya yang ke-198. Hm, kotaku tercinta lumayan tua. Hampir nyentuh angka dua ratus! Di ulang tahun Kota Bandung ini saya yakin bakal banyak orang Bandung yang mengeluarkan keluhan. Mulai dari ruas jalan yang menjadi tidak sebanding dengan banyaknya jumlah kendaraan, sehingga berdampak pada kemacetan di sana-sini, khususnya pada akhir pekan. Kondisi jalan raya yang tidak layak. Polusi. Sanitasi. Lalu, masalah sampah yang tak kunjung selesai.
Di umur yang mengijak angka 198, Kota Bandung tentunya tidak bisa menghindari berbagai perubahan yang terjadi dan seiring dengan perubahan itu, tentunya ada masalah yang berdatangan. Saya baca Kompas Jabar (06/9), disitu disebutkan, bahwa dari 362 warga Bandung yang dimintai pendapatnya tentang persoalan utama yang paling mendesak untuk diatasi oleh Pemkot Bandung, sebanyak 22 % menganggap sampah adalah persoalan utama dan yang paling mendesak bagi Kota Bandung. Sisa dari responden itu menganggap persoalan utama dari Kota Bandung ada pada kemacetan (11,9%), ketertiban jalan/lalu lintas (9,9%), infrastruktur (8,6%), pengangguran (6,9), pedagang kaki lima (3,9), pendidikan (3,9), keamanan (2,8%), tata kota (2,8%), ekonomi (2,2%), transportasi (2,2%), lain-lain (19,3%) dan terakhir, tidak tahu/tidak jawab (3,6%).
Survey Litbang Kompas itu hanyalah cermin salah satu masalah dari sekian banyak masalah. Jujur, waktu saya baca edisi khusus Kompas Jabar itu yang saya tangkap adalah kesan tentang perkembangan kota ini yang menjadi sedemikian suram. Pelbagai masalah menumpuk. Semua masalah bermuara pada daya kapasitas Kota Bandung untuk memikul beban dari pertumbuhan masyarakatnya yang timpang. Kota Bandung kewalahan memfasilitasi naiknya lonjakan penduduk secara drastis.
Menurut Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, seperti yang telah dikutip dari Kompas Jabar (06/9), menyebutkan, bahwa pada tahun 1950, sebanyak 600.000 jiwa menetap di Kota Bandung seluas 8.000 hektar. Lalu, pada tahun 2008, penduduk kota ini mencapai sekitar 3 juta orang yang menempati wilayah seluas 17.000 hektar. Kenaikan yang sangat drastis. Dari lonjakan penduduk yang drastis tersebut, menurut saya, masalah melebar kemana-mana. Pelebaran masalah itu bisa dicerminkan salah satunya dari apa yang telah dilakukan oleh Litbang Kompas mengenai masalah yang paling mendesak bagi Kota Bandung itu tadi.
Apa yang saya rasakan selama tinggal di kota ini, kita selaku warga Bandung memang tidak bisa mengantisipasi lonjakan penduduk sebagai dampak urbanisasi. Pembangunan yang terjadi selama ini malah seakan-akan menitikberatkan pada sektor pariwisata dan jasa saja. Seperti menjamurnya outlet-outlet busana atau mall-mall terpandang saja, tetapi untuk masalah pranata-pranata kota dan lingkungannya tidak diberi perhatian penuh. Saya memang tidak belajar Planologi, tetapi setidaknya, sebelum membangun sebuah outlet/butik atau apalah, ya, akses penunjang sarana wisata – seperti tata kota dan jalan raya, misalnya – dibenahi dulu. Jangan membangun sarana wisata belanja, seperti outlet atau mall, tetapi jalan raya tetap gitu-gitu aja, sempit dan banyak lobangnya. Jeblog. Saran saya, daripada memusatkan perhatian pada sektor pariwisata, kita seharusnya memusatkan perhatian dulu kepada masalah yang dirasa oleh sebagian besar penduduk Kota Bandung, seperti pembenahan tata kota, masalah penumpukan sampah, perbaikan ruas jalan yang amburadul dan masalah penyesuaian jumlah penduduk dengan karakteristik Kota Bandung. Itu aja dulu. Kita mulai dari dalem dulu. Kalo masalah dari dalem itu udah bisa dibenahi, saya yakin orang-orang yang dateng ke Bandung juga akan merasa nyaman. Kalo orang-orang udah ngerasa nyaman sama keadaan Kota Bandung, income juga ‘kan setidaknya bisa dipancing. Barulah kita bisa memusatkan perhatian pada sektor pariwisata.
Sok aja pikir, gimana mau nyaman, kalo wisatawan dateng mau belanja, tapi jalan utama buat ke butik kondang itu ternyata amburadul? Belum kemacetannya, ya, bau sampah lagi di sepanjang jalan. Yang ada malah gerutuan, suara sumbang kekesalan. Bukan tidak mungkin, si wisatawan itu bakal mengumpat dan janji sama dirinya sendiri gak bakalan dateng lagi ke Bandung seumur hidupnya. Bisa aja kan? Hilanglah itu pemasukan, jadinya.
Selain masalah, setidaknya masih ada hal lainnya yang mengundang decak kagum dan memercikan harapan dari Kota Bandung ini, khususnya bila bicara tentang kreatifitas sebagian penduduknya. Ya, langsung aja disebut: Helarfest. Kata helar itu sendiri diambil dari bahasa Sunda yang artinya ‘menampilkan potensi untuk mendapatkan perhatian dari sekeliling’ (Tubagus Fiki Chikara Satari, Tempo, edisi 11-17 Agustus 2008). Majalah Tempo di edisi itu juga menulis Helarfest sebagai festival yang mirip keramaian rakyat. Di festival ini, berbagai atraksi seni, tradisional sampai eskperimental dijorjorin. Ada pemutaran film, pameran arsitektur, hingga festival jazz. Festival ini diselenggarakan oleh anak muda yang tergabung dalam Bandung Creative City Forum. Helarfest saat ini telah usai diselenggarakan. Waktu penyelenggaraannya jatuh selama bulan Juli-Agustus 2008 kemarin yang memakai tempat secara terpisah, diantaranya di common room, pvj, taman budaya Dago Tea House, Selasar Sunarya, Tahura Juanda, Tegaleva, Purelounge, GOR Saparua, Balai Kota Bandung, PLN, dll.
Saya sendiri memaknai Helarfest sebagai kulminasi dari pergerakan komunitas kreatif (seni, musik, clothing dll) yang telah hadir semenjak era ’90-an. Di tahun-tahun ‘90an pergerakan kreatif ini mulai bertumbuhan dan masih berjalan secara sporadis, menurut saya. Mulai dari Reverse (RIP), 347 yang masih di Dago, Riotic di Cicadas, PI (?)… dan ga tau entah apa lagi usaha kreatif maupun komunitas yang ada di Bandung saat itu. Hanya saja, sejauh yang saya amati pada tahun ’90-an itu, berbagai komunitas memang saling mengenal, namun untuk usaha bisnisnya masih sporadis. Berupa letupan-letupan. Walaupun letupan – bersuara kecil – namun ia masih terdengar. Nah, kalo situasi sekarang, saya liat mereka, komunitas-komunitas itu, sudah berkembang cukup pesat (omzetnya sampe ada yang miliaran) dan yang lebih penting lagi, sudah mulai mengorganisir dirinya masing-masing.
Nah, saya ingin menekankan pada bagian ini: ‘mengorganisir’. Kata ini, ‘mengorganisir’, mengandung sebuah aktivitas yang berbahaya sekaligus kreatif. Maksud dari berbahaya adalah apabila aktivitas tersebut ditempatkan dalam konteks dikotomi antara pemerintah dan penduduk sebuah kota, dimana dalam hal ini, pemerintah adalah pihak yang seringkali mengabaikan potensi yang seringkali terdapat pada sebagian penduduk tersebut.
‘Mengorganisir’ bisa menjadi senjata yang ampuh bagi pihak yang termajinalkan, ketika kekuasaan tidak lagi ambil perduli terhadap keadaan mereka. Dengan ‘mengorganisir’ sebuah kelompok perlawanan atau kreatif atau apapun, maka ada satu keuntungan yang dapat diraih, yaitu kemandirian. ‘Mengorganisir’ berarti bahu-membahu memperkuat geraklaju kelompok atau dalam hal ini bisa disebut self empowerment tanpa tergantung kepada pihak yang memiliki kekuasaan absolut. Kelompok yang ‘mengorganisir’ dirinya akan menciptakan kekuasaan sendiri untuk bisa meraih tujuannya dibandingkan mereka yang berjalan tercerai berai.
Itulah yang saya maknai dari pagelaran Helarfest kali ini, bahwa sebagian penduduk Kota Bandung sedang menuju proses ‘mengorganisasir’ sebuah pergerakan yang akan membawa kepada satu tujuan, yaitu membuat Kota Bandung sebagai kota kreatif. Emerging Creative City. Hal lain yang menarik dari pagelaran ini adalah, bahwa event ini tidak dimotori oleh Pemkot Bandung, dimana menurut saya hal itu adalah hal yang baik. Setidaknya hal itu bisa menunjukkan kepada Pemkot Bandung sekaligus menginspirasi penduduk Kota Bandung, bahwa penduduk Kota Bandung bisa bereksperimen terhadap pembangunan yang terjadi di Kota Bandung tanpa campur tangan pemerintah kota. Masyarakat sebuah kota, khususnya Bandung, bisa menjadi mandiri dan kuat dengan cara mengorganisir kelompok atau komunitasnya, walaupun pemerintah sendiri tidak memperdulikannya. Ini bisa menjadi tamparan telak bagi pemerintah sekaligus peringatan: kami tidak perlu pemerintahan atau bentuk otoritas apapun yang apatis dan sewenang-wenang.
Oukaylah. Kepanjangan, nih. Akhir kata, selamat Ulang Tahun, Bandung. Selamat menikmati ulang tahun, semuanya. Godspeed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar