Berikut ini adalah tulisan saya ketika meliput acara kerontjong di Sabuga tahun 2006 lalu. Sebenarnya sudah di posting di blog saya terdahulu, tapi karena lupa password dan semacamnya, saya tidak bisa lagi mengakses blog yang dulu itu. Jadi, semua barang-barang di blog itu akan saya pindahkan ke sini.
Alunan nada yang keluar dari ukulele, biola, cello, contrabass dan gitar di sore hari itu membawa ketenangan bagi siapapun yang mendengarnya. Sebuah lagu lawas berjudul “My Way” yang pernah dibawakan oleh penyanyi legendaris Frank Sinatra mengetuk telinga penonton yang telah hadir sejak pukul tiga sore. Sayatan biola pada bagian reffrain lagu membuat beberapa penonton menyanyi, walaupun lagu itu dibawakan secara instrumental saja. Lagu “My Way” sekaligus menjadi pembuka dari pagelaran musik “Kerontjong Sendja” di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) yang diisi oleh orkes keroncong bernama Little Keroncong.
Keenam orang yang tergabung dalam orkes keroncong bernama Little Keroncong itu asik sendiri dengan instrumennya masing-masing. Semuanya tekun memperhatikan jari mereka memainkan senar, merangkainya menjadi sebuah jalinan nada, sekaligus mengantarkan para pendengarnya untuk melewati sore hingga adzan maghrib berkumandang. Suguhan musik keroncong yang mendayu-dayu itu memang cocok didengarkan saat menunggu buka puasa. Selain itu, membuat pikiran dan hati menjadi tenang.
Sabtu sore, pendengar memadati ruang yang berkapasitas 100 orang dengan soundsystem berdaya 3000 watt. Mayoritas penonton yang datang ke pagelaran keroncong itu bila ditilik-tilik memang bisa disebut berusia ’senja’. Mereka sepuh-sepuh, berusia antara 60-70 an dan itu adalah wajar, mengingat era kejayaan keroncong di tahun ‘40 – ‘50 an. Mereka, para penonton yang berusia senja itu, duduk dengan tertib dan teratur dijajaran paling depan. Mereka terlihat begitu khusyuk mendengarkan dan memperhatikan buaian keroncong. Mungkin beberapa dari alunan lagunya mengingatkan mereka kembali akan kenangan yang sempat diperoleh saat masih muda.
Di jajaran audiens terlihat pemandangan yang cukup mencolok. Adalah Kabo, mahasiswa pasca-sarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, menjadi penonton yang cukup ‘berbeda’ dibandingkan penonton yang lainnya. Usianya belum menyentuh angka 30, sehingga bisa disebut muda. Lengannya penuh tertutupi tato. Lengan sebelah kirinya dihiasi oleh gambar tato Ramones, sebuah band punk rock legendaris era ‘70-an. Lalu, lengan disebelah kanannya pun dipenuhi oleh tato. Diantaranya adalah tato yang cukup mencolok yang bertuliskan “Rip The System”.
Selain Kabo, ada Rizal. Ia adalah kawan dari Kabo. Untuk urusan tato, Rizal lebih banyak lagi daripada Kabo. Tidak tanggung-tanggung, kening dan bibir habis dikorbankan untuk dihiasi tato. Kedua orang itu duduk di jajaran paling belakang dan pojok. Rizal sibuk memotret Little Keroncong, sedangkan Kabo bersantai menikmati alunan keroncong sambil menjulurkan kakinya ke kursi di depannya.
Bila dibandingkan dengan kebanyakan penonton yang sudah ’sepuh’, kedua orang tersebut memang kontras berbeda. Dalam segala hal mereka berbeda. Dilihat dari segi usia, mereka terpaut jauh. Dilihat dari gaya mereka berbusana pun sudah jauh berbeda. Bila sebagian besar penonton yang sudah sepuh cukup memakai batik dan celana panjang katun agar terlihat rapih dan wajar. Sebaliknya, kaos dan celana jeans belel ditambah sepatu yang tampak jebol dan membutuhkan semacam tambalan disana-sini menjadi gaya yang melekat di diri Kabo dan Rizal. Gayanya urakan dan cuek, sangat khas gaya anak muda pada umumnya.
“Gua tau acara ini, karena dapet sms dari Alex (ketua pelaksana acara Kerontjong Senja). kebetulan waktu pas acara Keroncong Fever di CCF kemaren, gue dateng dan nulis no hp di daftar hadir,” ujar Kabo sembari matanya tak lepas dari orkes yang berpentas di depan.
Ia terlihat menikmati suguhan musik keroncong. Gayanya masih tetap cuek; tangan kirinya menopang dagu dan kedua kakinya diselonjorkan ke kursi di depannya. Rambut yang berantakan dan jambang yang dibiarkan tumbuh tidak terurus. Ditambah tato yang menghiasi seluruh lengannya, menguatkan citra anak muda yang cuek dan haus akan ekspresi yang melekat di dirinya. Temannya, Rizal, masih asyik memotret performa Little Keroncong. Kali ini orkes berhenti setelah memainkan lagu Krisdayanti berjudul “Menghitung Hari” secara instrumental.
Tidak lama kemudian, Dina, salah satu tamu yang mengisi vokal orkes Little Keroncong, naik panggung. Orkestra pun kembali dimulai. Sore hari kembali dihidupkan dengan rangkaian nada yang menyejukkan. Sepintas nada-nada yang keluar dari intro lagu yang baru saja dibesut itu serasa familiar. Penulis merasa mengenal nada itu. Setelah intro selesai dimainkan, keluarlah lirik yang disuarakan oleh Dina; Yakinkan aku Tuhan, dia bukan milikku…biarkan waktu menghapus aku….
Ah, ya, itu adalah sebuah lagu dari band yang digemari anak muda masa kini; Nidji. Lagu populer masa kini dicampur dengan struktur lagu yang bisa dibilang tradisional, menarik. Walaupun terdengar sedikit memaksa. Saat Dina mulai menyanyikan lagu berjudul “Hapus Aku”, Kabo tersenyum dan melihat penulis sembari geleng-geleng kepala. Kabo mengatur letak duduknya. Kali ini ia tidak menyelonjorkan kakinya, namun menyilangkan kaki kanannya ke kaki kirinya. Lengan kirinya kembali menopang dagu. Ia santai lagi menyimak lagu yang baru saja disuguhkan.
Dalam kesehariannya, Kabo mempunyai sebuah band yang beraliran Punk Rock. Sebuah musik keras three cord yang cukup memekakkan telinga dan membuat tidak nyaman tetangga bila musik itu dimainkan dengan volume maksimum. Sedari SMA Kabo sudah terbiasa dengan musik yang dipopulerkan oleh The Sex Pistols di Inggris pada dekade ‘70-an akhir itu. Menjadi hal yang cukup menarik perhatian juga untuk seseorang yang bisa disebut terbiasa dengan suguhan ‘musik modernnya barat’ untuk bisa datang dan menikmati suguhan orkes keroncong.
Bisa dirasakan oleh penikmat musik di Indonesia, bahwasannya musik keroncong gaungnya tidak terasa keras saat ini. Apalagi di kalangan anak muda, mereka telah terbiasa dibombardir oleh suguhan musik modern kontemporer yang diimpor dari Amerika dan Eropa. Sebuah negeri yang memiliki perangkat teknologi di atas rata-rata dibandingkan negeri lainnya, seperti negeri dunia ketiga.
Sampai saat ini, musik keroncong diidentikan dengan mereka yang telah berusia diatas 60. Musik ini diidentikkan dengan mereka yang pernah melewati masa-masa revolusi kemerdekaan ‘45, ketika lagu “Sepasang Mata Bola” menjadi hits pelipur lara para pejuang yang berada di garda terdepan. Seperti tidak ada tempat bagi anak muda untuk bisa mengapresiasi musik keroncong, karena imejnya yang terasa tua dan ’sangat masa lalu’ tersebut.
“Gue ngedengerin keroncong pertama kali waktu SMA. Kebetulan bokap gue punya kasetnya Gesang,” kata Kabo ketika ditanya pengalaman pertamanya berkenalan dengan musik keroncong. “Bagi gue, keroncong itu musiknya asik. Ngebawa tenang kalo didengerin. Keroncong itu musiknya Indonesia banget.”
Pagelaran orkes keroncong yang diadakan pada Sabtu, 7 Oktober 2006 di Sabuga itu menjadi salah satu usaha untuk mengenalkan kembali musik khas Indonesia kepada penikmat musik di tanah air, khususnya kepada generasi muda. Hal itu sudah cukup dijadikan alasan bagi orang yang bertindak dibelakang panggung untuk diberi applaus atas usahanya. Memang sebagian besar pendengar saat itu masih berusia di atas 50, akan tetapi di jajaran belakang terdapat mereka, para generasi muda yang sudah mulai mengapresiasi musik keroncong secara positif.
Di jajaran paling belakang dan pojok, terdapat generasi yang dalam hidupnya telah dibombardir demikian massifnya oleh berbagai produk dan citraan yang diimpor oleh media barat. Akan tetapi, pada Sabtu sore itu mereka datang dan duduk dengan santai menikmati suguhan orkes asli tanah airnya. Bukan suatu hal yang terdengar muluk-muluk apabila usaha ini terus dirintis, kedepannya akan terdapat lebih banyak generasi muda yang memenuhi tempat duduk tersebut. Semoga.
Salah satu orang dibalik panggung yang berusaha untuk mengenalkan kembali musik keroncong kepada audiens lokal adalah Alex. Dia adalah seseorang yang dalam cara bertuturnya mencerminkan keyakinan akan apa yang sedang diperjuangkannya. Setiap kata-kata yang diucapkannya menunjukkan suatu tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata. Alex tampak yakin akan dirinya sendiri dalam membawa misinya itu, yakni melestarikan musik keroncong.
Ia dan temannya, Andri, berperan sebagai ‘bidan’ yang melahirkan Klinik Keroncong pada 1 Agustus 2006. Klinik Keroncong adalah sebuah wadah bagi para pecinta keroncong untuk tetap melestarikan budaya keroncong agar keroncong kelak bisa kembali muncul dan menjadi suatu nilai tambah bagi budaya lokal di dunia internasional. Klinik Keroncong pulalah yang memotori terselenggaranya pagelaran orkes keroncong di Sabuga.
Wadah ini bergerak secara independen. Dalam artian, tidak bergantung di bawah lembaga keroncong manapun juga, seperti Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKI). Hal itu dikarenakan, menurutnya, ketika berada dalam suatu lembaga, otomatis segala peraturan yang ditetapkan oleh lembaga tersebut harus dipatuhi. Selain itu, terbesit nada kekecewaan dari mulut Alex terhadap lembaga keroncong yang ada pada saat ini yang menurutnya tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pergerakan musik keroncong.
“Mereka (HAMKI) tidak mempunyai keseriusan untuk melakukan regenerasi keroncong. Anda bisa lihat, berapa tahun sekali Anda menyaksikan keroncong di Bandung? Saya tidak sombong, ya, setelah Klinik Keroncong berdiri, pertama, CCF kemaren kita laksanakan (pagelaran keroncong). Namanya Keroncong Fever. Kita sebarkan virus-virus keroncong kepada generasi muda. Pagelaran itu dilaksanakan dengan satu tujuan, ingin menanamkan pada generasi muda kita, kita ini sudah dirusak sama barat. Tapi kita ga ngerasa, karena barat itu ngerusaknya pelan. Saking halusnya kita ga ngerasa kalo kita dirusak. Kita lebih mencintai mereka daripada budaya lokal sendiri,” katanya.
Sebuah komentar keras yang ditujukan kepada para pelaku keroncong dan generasi muda yang keluar dari mulut seseorang yang penuh keseriusan atas apa yang sedang diusahakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar