Jumat, 28 Agustus 2009

…or Maybe I’m Just an Old Fashioned Guy.

Kalau bicara kenangan, saya menyenangi kenangan. Karena memang saya pemalas. Tetapi pastinya saya akan mengenang yang sudah lewat akhir-akhir ini: jalan raya, perempatan, orang-orang, dan berita. Ada hal yang saya senangi, ketika berkelana di luar, dan tidak seluruhnya sanggup untuk kutuangkan dalam tulisan. Tetapi…begitulah, mencari berita memang melelahkan dan selalu melelahkan. Tetapi ada rasa puas, ketika mengetahui dirimu ternyata telah menyelesaikan sebuah tugas dengan maksimal, walaupun belum baik sama sekali.

Dan selama ini mengelilingi sebuah daerah yang disebut oleh korlip sebagai Bandung Tengah…terbesit sebuah pikiran: mungkin saya memang orang yang kolot. Tidak selalu saya senang dilengkapi peralatan-peralatan canggih yang sanggup memangkas waktu, dan meningkatkan ketergesaan. Dalam hal ini, memuaskan libido orang kantor akan sebuah ekstase kecepatan dalam menyampaikan sebuah berita melalui sinyal dan frekuensi.

Bagaimanapun, tetap saja, saya selalu menyenangi untuk duduk sejenak setelah sebelumnya melewati berbagai macam hal dan peristiwa dari pagi hingga sore. Duduk untuk kemudian merokok dan membuka microsoft words. Mengendapkan segalanya terlebih dahulu, dan berpikir, kira-kira kata apa saja yang paling mendekati sebuah peristiwa untuk dirancang kedalam sebuah narasi besar yang tersusun dalam paragraf demi paragraf. Ada permainan imajinasi, dan tentunya ada kenangan yang dibangkitkan kembali dalam menulis.

Begitulah, mungkin saya memang orang yang kolot atau memang bodoh dari sananya. Tetapi saya tidak senang hadir dalam sebuah peristiwa hanya untuk melihat dan membicarakannya begitu saja melalui teknologi canggih macam telepon selular dan pemancar. Mengemasnya dalam rentang waktu maksimal tiga menit, untuk kemudian menguap begitu saja di udara. Karena bagiku, ada beberapa peristiwa yang otentik. Yang tidak bisa begitu saja dibungkus menjadi sebuah informasi yang serba cepat dan terpotong-potong.

Begitulah, kembali lagi. Saya memang seorang pemalas. Yang saya inginkan hanyalah waktu luang untuk menjernihkan segalanya. Tetapi tentunya waktu luang di jaman kekinian merupakan sesuatu yang percuma, karena konon, kita dikutuk untuk mempercayai kerja sebagai sesuatu yang luhur. Semakin banyak waktu kerja, semakin budiman seorang manusia. Makanya, waktu luang bukanlah teman yang serasi bagi kerja, karena waktu luang bersinonim dengan kemalasan. Berbeda dengan kerja, dia adalah sebuah kegiatan yang konon menghasilkan nilai lebih. Walaupun, Tuhan mengetahui, berapa sekian juta rupiah yang dihasilkan oleh tenaga para pekerja diambil para juragan di atas sana.

Tetapi, demi sebuah kenangan, ku memilih mengenyampingkan dahulu tetek bengek perihal kerja ini. Karena ku ingin mengingat orang-orang di trotoar, gedung, jalan raya, perempatan, dan tempat-tempat yang terasa baru, walaupun sebenarnya kau telah melewati tempat itu sejuta kali. Mengingatnya, karena pagi nanti adalah hari yang lain lagi. Dan peristiwa berdatangan silih berganti, memaparkan potongan-potongan yang berkaitan. Tercecer di setiap jalan.

Dan mungkin saya akan kembali lagi berkelana di jalan itu dan sesekali duduk tetirah di trotoarnya…kuharap tanpa teknologi canggih dan frekuensi. Hanya imajinasi dan kenangan.



…or Maybe I’m Just an Old Fashioned Guy.

Kalau bicara kenangan, saya menyenangi kenangan. Karena memang saya pemalas. Tetapi pastinya saya akan mengenang yang sudah lewat akhir-akhir ini: jalan raya, perempatan, orang-orang, dan berita. Ada hal yang saya senangi, ketika berkelana di luar, dan tidak seluruhnya sanggup untuk kutuangkan dalam tulisan. Tetapi…begitulah, mencari berita memang melelahkan dan selalu melelahkan. Tetapi ada rasa puas, ketika mengetahui dirimu ternyata telah menyelesaikan sebuah tugas dengan maksimal, walaupun belum baik sama sekali.

siluman lainnya.

http://silumantulen.blogspot.com

Minggu, 23 Agustus 2009

Ketika Kami Sendiri dan Meresapi Kesunyiannya Masing-Masing

Di tempat kami menghabiskan waktu akhir-akhir ini, ada suatu nilai yang dicoba untuk ditanamkan kepada setiap orang. Nilai-nilai itu berkaitan dengan cara bagaimana kami memandang dan menyikapi sesuatu. Selalu ditanamkan dalam benak kami, bahwa kelak segala tindak-tanduk kami ini mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat. Bila membicarakan masyarakat, berarti itu membicarakan jumlah orang yang banyak. Bahkan, saking pentingnya kami kelak, kami disandingkan setelah tiga pilar yang konon menguasai hajat hidup orang banyak selama ini, yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif.

The 4th estate. Pilar kekuasaan keempat. Itulah kami, katanya, setelah ketiga pilar kekuasaan itu selesai disebutkan. Ada syarat yang harus dimiliki bila kami ingin menjadi pilar yang keempat. Ada nilai-nilai luhur yang harus dipegang teguh. Karena kami, katanya, adalah orang-orang terpilih yang akan menyuarakan mereka yang tidak pernah terdengar atau didengar oleh ketiga pilar kekuasaan itu. Seorang kawan, bahkan menyebut kami sebagai ‘the person who speaks for the inarculate’.

Seseorang dalam sempitnya ruangan kelas, mengatakan dibutuhkan nyali yang tidak kecil untuk menyuarakan mereka yang tidak didengar. Keberanian. Itu yang tertanam dalam benak kami, saat baru-baru memasuki tempat dimana kami menghabiskan waktu selama ini. “Bila tidak berani, bagaimana bisa mendapatkan informasi?!” katanya.

Setelah itu, seorang wanita yang pernah mengatakan ‘we’re gonna spend the rest of our lives here’ dengan nada suara tinggi di muramnya pagi, mengatakan, bahwa kecepatan adalah segala-galanya bagi hidup kami. Apabila tidak begitu, “bagaimana kita bisa menyampaikan informasi tepat pada waktunya?” katanya.

Tertanam dalam benak kami, kami harus seperti apa yang mereka katakan: keberanian dan kecepatan. Kami tidak sama dengan yang lainnya. Ada nilai lebih dalam diri kami, kata perempuan itu. Kami adalah orang yang akan menyuarakan mereka yang tidak didengar. Kami berpengaruh dan penting bagi orang banyak, nantinya. Oleh karena itu, kami harus bekerja keras, kami harus kritis, karena kami berbeda dan berpengaruh, nantinya.

Di suatu waktu dalam lorong gelap dan sempit, sehingga membuat kami berdesak-desakkan pun, kami mendengar teriakan. Sebuah teriakan yang menghapus kantuk dan mengagetkan. ‘Aku bukan insan biasa!’, seperti itu bunyi teriakannya. Di kegelapan pagi kami megap-megap, setengah sadar, namun terasa sesuatu melewati telinga dan terekam dalam benak. Kami bukan insan biasa.

Ada yang dicoba untuk dirubah dan ada yang merubah dan ada yang berubah dari kami, hingga saat ini.

***
“Ya, saya mengakui, saya melakukan cloning,” seseorang yang telah keluar dari tempat kami, berkata di hamparan pasir batu karas.

Masalahnya bukanlah bagaimana dunia menyesuaikan, tetapi bagaimana kami menyesuaikan. Itu yang saya tangkap dari omongannya.

“Karena kita tak ubahnya buruh bagi korporasi-korporasi itu!” ia melanjutkan, “coba saja bayangkan, dalam satu hari kita diharuskan mendapat informasi sebanyak tiga buah. Namun, ketiga informasi itu terletak di daerah berjauhan. Nah, bagaimana mungkin kita berada dalam tiga tempat yang berbeda dan berjauhan dalam waktu yang sama?! Sedangkan bila saya tidak mendapat satu pun dari ketiganya, mau makan dari mana saya?!”

Runtuhlah apa yang telah ditanam dalam dirinya. Tempat yang kami tinggali saat ini begitu berjauhan dengan tempat yang ia tekuni saat ini. Tempat kami begitu sempurna. Nilai-nilai yang ada begitu luhur dan mengagumkan. Begitu indah untuk dijalani. Sedangkan tempat yang ia tempati saat ini, begitu suram dan sumpek. Hal yang terhampar di hadapan kami saat di Batu Karas itu hanyalah sebuah bingkai yang diisi oleh potret manusia yang letih. Seakan ringkih dan kuyu. Tertelan oleh rutinitas dunianya sendiri.

Di lain pihak, keberanian dan kecepatan yang telah dibicarakan di atas itu memang benar ada. Namun keberanian dan kecepatan dengan konteks yang jauh berbeda dengan yang diajari di tempat kami berada saat ini. Itulah yang saya lihat pada dirinya, seseorang yang mengeluarkan keluh-kesahnya di Batu Karas itu. Saya pikir, melakukan tindakan cloning seperti yang dikatakannya itu adalah buah dari keberanian yang dimilikinya.

Keberanian untuk melakukan hal yang tidak dianjurkan di tempat kami berada sekarang. Mungkin saja keberanian itu timbul bukan karena ajaran-ajaran yang harus kami terima dan percayai, seperti yang selama ini sering di terima di tempat kami berada. Bisa saja keberanian itu timbul pada dirinya, karena tuntutan-tuntutan yang harus ia terima dalam hidupnya. Sebuah tuntutan atas kecepatan yang pada gilirannya menentukan penghasilan hidupnya. Menggantung bagaimana hidupnya kelak.

Namun, bila begitu caranya, terbesit pikiran, kami tidak sepenting seperti yang telah diajari kepada kami selama kurang lebih empat tahun ini. Tidak ada ode, tidak ada pengagungan, tidak ada pengkultusan. Di luar tempat kami berada saat ini, orang-orang seperti kami seakan terpencil dan terasing. Jauh dari kemewahan yang dibumbui pujian-pujian.

Orang-orang seperti kami yang hidup berpuluh-puluh tahun yang lalu (bahkan yang hidup sekarang), bila dipikir kembali, seringkali merasakan seperti apa diterasingkan, dimatikan, ditikam, dimiskinkan bahkan dikhianati. Tidak ada kesan penting bila memang menjadi penting itu dikorelasikan dengan kemewahan dan pujian-pujian.

***
Beberapa hari yang lalu, saya berkendara sendiri menuju kantor sebuah surat kabar untuk kepentingan tugas mata kuliah. Saya sendirian kala itu. Terpikir wajah teman-teman yang selama ini menyertai hari-hari saya. Mereka yang bersama-sama menghabiskan waktu di tempat itu. Akan seperti apa mereka, ketika keluar? Akan melakukan apa mereka. Apakah mereka nantinya akan sanggup membangun dunia seperti yang mereka angankan ataukah hanya akan menjadi salah satu manusia yang lusuh dan letih dalam sebuah bingkai seperti yang pernah kutemui di Batu Karas tahun lalu?

Terbayang, apakah nantinya akan seperti ini kehidupan di luar. Berkendara sendiri dengan beban tugas yang harus diselesaikan. Dengan tuntutan yang lebih kompleks lagi. Berkendara sendiri melewati perempatan, lampu merah, gedung pencakar langit yang sudah ribuan kali dilewati. Dan mungkin sesekali mengenang memori yang secara tidak sengaja tersimpan di beberapa trotoar atau gang-gang sempitnya. Terkadang indah, namun bisa juga menyesakkan. Miris.

Dan ketika memasuki kantor surat kabar yang saya tuju, saya menemui sebuah bangunan lusuh. Tidak ubah seperti tempat grosiran dekat rumah, pikir saya saat itu. Begitu ala kadarnya. Kantor itu kosong, tidak banyak orang. Saya ingat, hari itu Rabu dan di hari Rabu, setiap karyawan di kantor itu mungkin bisa sedikit menghirup nafas lega, karena kemarin adalah harinya untuk naik cetak. Otot bisa dikendurkan sedikit setelah kemarin menegang karena tenggat waktu yang serasa memburu.

Di kantor itu saya mejumpai seseorang. Ia sudah tua dan menempati sebuah ruangan yang kecil dan sunyi. “Ruang itu adalah ruangnya sekretaris redaksi,” kata seorang perempuan yang saya temui ditempat penerimaan tamu, bagian paling depan kantor. Itulah orang yang akan saya wawancarai untuk kepentingan tugas mata kuliah.

Orang itu duduk dibelakang mejanya yang besar. Seringkali ia merubah posisi duduknya. Saat itu saya merasa risih dengan sikapnya yang sebentar-sebentar merubah posisi duduk. Entahlah, mungkin juga dia canggung dengan kehadiran saya. Orang asing yang tiba-tiba datang minta wawancara.

Topik wawancara saya dengan orang di ruangan yang kecil dan sunyi tersebut berkutat di seputar surat kabar yang dikelolanya. Tanya-jawab dengannya juga berlangsung standar, seperti sejak kapan surat kabar ini berdiri, bagaimana ceritanya bisa sampai begini, apakah dulu surat kabar ini begitu…bla-bla-bla.

Di sesi wawancara itu sesekali saya memperhatikan ruangan tempatnya bekerja yang kecil dan muram karena kurang cahaya matahari. Lalu, saya melihat ke sisi sebelah kiri di mana terdapat kaca besar yang dibaliknya terlihat seperti ruang untuk rapat redaksi. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan kelas tempat saya belajar, catnya kusam. Dihitung-hitung, ada sepuluh kursi di ruang rapat tersebut. Pandangan saya kembali pada orang yang sedang di wawancarai.

“Bikin surat kabar itu terlalu berat di masalah modal, ya, Hari,” katanya sambil mengusap-usap wajah dengan tangannya.

Orang itu juga mengaku, apabila surat kabarnya tidak disubsidi oleh ‘perusahaan mapan’ seperti saat ini, mungkin semenjak pertengahan ’80 an juga surat kabarnya akan punah. Bangkar. Bayangkan saja, biaya sewa gedung, tagihan telepon, ongkos produksi hingga gaji beberapa wartawannya pun bersumber dari ‘perusahaan mapan’ tersebut.

“Cuman punya 1 M mah mending jangan bikin surat kabar, Ri,” katanya.

…tapi, setelah merenung sebentar, ia menambahi lagi ucapannya itu, “kecuali kalo Ashari ini mau menerbitkan koran yang hanya selama seminggu terbitnya, ya, itu baru bisa.”

Saya rasa…saya rasa hal-hal seperti itulah yang membebani orang-orang seperti kami, nantinya. Apapun yang diajari di tempat kami sekarang, bisa saja jungkir-balik seketika itu juga ketika berhadapan dengan apapun yang tidak ada di silabus tempat kami berada sekarang. Mempengaruhi segala-galanya dari diri kami.

Not Allowed

I'll smile for you now 'cause you're sad
but I'm not allowed to be sad
I'll make a joke for you now, make you smile
but I'm not allowed to be sad

Kamis, 20 Agustus 2009

Pertemuan

Sebenarnya sore itu tubuh benar-benar sudah rusak. Pengganjal perut hanya kupat tahu di jam 8 pagi dan indomie rebus di jam 1 siang. Sisanya, hanya rute dan jadwal. Rute mulai dari Jalan Pasir Koja hingga jadwal rapat paripurna yang isinya tidak pernah kesampaian oleh otak yang kelewat sederhana ini.

Waktu itu jam 3 sore dengan latar gedung parlemen. Perut kerubukan. Pasokan indomie hanya bertahan dua jam kurang, tapi uang seribu di saku tinggal dua lembar. Kusundut garpit sebagai pengganjal lapar, walaupun hasilnya omong kosong. Malah lebih parah. Tenggorokan kering dan asapnya jadi terasa pahit. Perut masih nyakar.Tapi acuh, terus hisap. Terus hembuskan.

Mata juga sedari pagi susah diajak kompromi. Dihitung-hitung, tidur hanya empat jam. Makanya, beberapa kali cuci muka dan ngucek-ngucek mata, tetap saja terasa seperti ditusuk-tusuk. Jadinya berpengaruh juga ke lutut. Terasa lemas dan tremor. Apalagi salah seorang yang terhormat, karena masuk gedung parlemen, berbicara seadanya. Tidak cukup untuk dijadikan berita. Orang yang terhormat itu juga cepat sekali ngeloyor masuk ke dalam mobil dinasnya yang mewah sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Sialan.

Sudah tidak bisa lagi berpikir. Mengulik bahan agar layak disiarkan. Tapi saya ingin tidur. Ingin ketenangan. Otak juga nampaknya demikian, karena si otak tidak mau diajak kerja sama. Ya sudah, perduli setan berita. Bahan yang didapat tidak diolah. Toh, orang kantor tidak tahu apa yang saya lakukan diluar kantor. Mereka tidak tahu apa-apa, kecuali saya punya kewajiban muter-muter di bandung tengah. Lagipula, ada satu isu pegangan yang didapat tadi pagi. Sudah aman.

Berjalanlah saya ke tempat parkir. Ambil motor dan berpikir sebenarnya akan dibawa kemana kendaraan ini. Jam 5 sore ada reportase yang harus dilakukan. Buat pulang ke rumah, kagok. Ada rentang waktu dua jam yang menyebalkan. Tapi untunglah. Ketika ke luar gerbang gedung parlemen, ada orang ini, si Man. Dia sedang duduk di trotoar depan gedung parlemen. Buat saya, ini pertanda baik. Rentang waktu dua jam bisa dimanfaatkan bareng si Man. Saya hampirilah orang yang kelihatannya sedang khusyuk menelepon di trotoar itu. Man menoleh kearahku sebentar. Tersenyum kecil dan sibuk lagi berbicara lewat telepon dengan tangan kanannya yang sibuk mencatat.

Man duduk di trotoar yang biasa dijadikan tempat nongkrong bagi orang-orang yang suka nodong mikropon di depan wajah orang yang mereka suka. Di tempat itu hanya terlihat Man. Sudah sore memang. Orang-orang yang suka nodong mikropon itu juga memang sudah berkubang di tempatnya masing-masing. Meracik bumbu untuk besok pagi.

Melihat pose duduk si Man di trotoar saat itu, jadi ingin membuat pameran sculpture bertema “orang yang menodong dan menggarap”. Coba saja bayangkan. Kepala miring ke arah kiri. Lalu bahu kiri juga diangkat sedikit untuk menjepit telepon selular. Tangan kiri memegang buku kecil, sedangkan tangan yang satunya lagi menggoreskan tinta di atasnya. Kedua kaki merapat. Indah nian si Man. Begitu khusyuk.

“Aya naon ayeuna, Man?” tanya saya kemudian seusai dia menelepon.

“Ieu…biasa, teknologi tea. Bio gas kitu,” jawabnya sambil merogoh saku sweaternya dan mengeluarkan sebatang rokok kretek.

Ctak. Ceshh…api diujung rokok menyala, disusul hembusan asapnya yang keluar dari mulut Man. Rokok masih menempel di mulut Man. Sementara kedua tangannya sibuk memasukkan buku kecil dan korek api ke dalam saku sweaternya. Man nampak kewalahan. Gumpalan asap rokoknya semakin tebal, tetapi dia tidak ingin melepaskan rokok yang sebenarnya jadi sumber masalahnya sendiri.

“Bluah!!” jeritnya tidak lama kemudian. Tidak kuat juga dia diteror asap dari rokoknya sendiri. Dia jepit rokok yang menempel dimulutnya, lalu melepaskannya.

“Peurih euy, beunang panon,” katanya sambil mengucek-ucek matanya yang berair.

“Heheh. Ripuh, lur,” timpal saya.

Trotoar tempat kami duduk saat itu memang terasa menyenangkan. Setidaknya bagiku. Apalagi bila sedang nongkrong. Mobil berseliweran, manusia lalu lalang. Angin sepoi-sepoi. Tinggallah menyalakan sebatang rokok garpit ditambah es jeruk gelas yang berharga lima ratus perak. Dibumbui dengan sedikit percakapan tentunya juga akan terasa meriah.

Sore itu ada satu jam empat puluh lima menit kesempatan saya untuk nongkrong sambil menunggu waktu reportase rutin jam 5 sore. Kesempatan itu juga saya gunakan untuk ngobrol ngaler-ngidul dengan si Man. Dan memang kami ngobrol ngaler-ngidul. Mulai dari isu bandrek, layout, isu, sampai kerjaan.

“Kumaha gawe di tempat nu ayeuna euy? Resep teu kukurilingan,” kata saya.

“Sebenerna mah teu sih,” katanya sambil geleng-geleng kepala.

“Hehe, kunaon kitu?”

“Teuing…asa kucel we. Jeung asa teu boga waktu jang aktivitas nu lain. Jigana urang teu cocok gawe out door jiga kieu. Hayang na mah jadi dosen.”

Pertama kali saya kenal dengan Man, ketika ada kecelakaan pesawat di Bandara Husein Sastranegara. Saat itu dia baru satu bulan kerja di sebuah surat kabar lokal, dan saya sedang pkl juga di sebuah surat kabar. Pesawat Fokker milik militer yang jatuh di bandara Husein saat itu memang mengejutkan. Begitu pula suasana di Rumah Sakit Selamun, tempat dimana kami ditugaskan untuk memantau. Keluarga korban berdatangan, begitu juga petinggi militer. Suasana tegang sekali saat itu. Selama di RS itu saya kerap berdua dengan Man. Lama-kelamaan, akhirnya kami akrab juga. Sudah lima bulan berlalu semenjak perkenalan di RS Selamun itu.

“Sebenerna, pekerjaan nu ku urang tekuni ayeuna teh pilihan terakhir. Basa lulus kuliah, urang ngalamar gawe ka nu bidangna di luar jurusan urang. Tapi keterimanya di sini. Ya udah,” kata Iman lalu menghisap rokok kreteknya dan menopangkan dagunya.

***
Suatu saat saya pernah berbincang-bincang bersama seorang teman kuliah yang sejurusan denganku. Temanya tentang betapa memuakannya jurusan yang kami tinggali selama kurang lebih empat tahun ini. Teman saya itu orang pintar, dan juga kritis. Tapi ironisnya, dia bekerja untuk jurusan itu. Temanku itu juga menyadari betapa problematisnya hidup dengan pikiran yang berbeda ide dengan sebagian besar orang-orang di dalam jurusan.

Pikiran temanku itu, pada dasarnya sama dengan Man. Dia lebih memilih dunia akademik, dibandingkan dunia lapangan yang tak menentu ini. Alasannya, menurutnya, kenyataan yang dihadapi di lapangan begitu jauh berbeda dengan apa yang dicekoki oleh jurusan kepada para mahasiswanya. Di jurusan saya tersebut, doktrin tentang spesialisasi yang diajarkan memang begitu indah. Idealismenya luhur dan seolah-olah adi luhung. Tetapi, pada kenyataannya, jurusan saya itu hanya seperti mencetak manusia-manusia yang segenap pengetahuan dan tenaganya dipersembahkan untuk kepentingan industri semata dalam mengakumulasi keuntungan. Tidak ada himne, layaknya pejuang yang dikagumi orang. Tidak ada cerita kehidupan mahsyur bak kaisar Romawi. Sebagian besar hanya orang-orang yang berada di jalan sendirian dan kelelahan.

Maka dari itu, temanku memilih dunia akademik, karena bisa mendapatkan lebih banyak waktu luang dan ilmu pengetahuan. “Lagipula, selama ini hidup kita pada dasarnya tidak ada kebebasan. Ya, kita bisa memilih, tetapi hanya dalam koridor yang telah disediakan. Seperti ketika jaman SMA, kamu bebas memilih, apakah akan masuk IPA atau IPS. Ya, kamu bebas memilih, tetapi hanya sebatas pada jalur yang telah di sediakan. Lalu, begitu seterusnya hingga kuliah. Dan ketika kamu memilih, maka kamu hanya menekuni satu jalur pengetahuan yang telah disediakan. Hidupmu sudah dipatok. Tetapi, di dunia ini ‘kan ilmu pengetahuan tidak berada di satu jalur saja. Tetapi tersebar di mana-mana,” jelas teman kampusku itu suatu saat.

Ucapan teman kampusku itu juga ternyata mirip dengan ucapan Man, saat dia mengatakan keinginannya. “Sebenarnya saya ingin berkarya. Bikin buku. Tetapi waktu luang yang saya miliki sekarang habis oleh pekerjaan ini,” kata Man.

Pekerjaan yang Man jalani sekarang memang sangat menyita waktu. Bagaimana tidak, dalam sehari dia dituntut mencari tiga berita. Otaknya harus memutar-mutar waktu tiap hari untuk mendapatkan ketiga berita itu. Kesempatan mencari berita dalam sehari yang dimiliki Man juga sedikit. Jam 5 sore dia harus mengetik berita yang dia dapat, setelah sebelumnya mencari kesana-kemari di lapangan. Setelah itu, beres mengetik rata-rata jam tujuh hingga jam delapan malam. Habis beres segala urusan di kantor, pulang ke rumah sekitar jam sembilan malam. Tentunya otak dan tubuh terlanjur lelah untuk melakukan aktivitas lainnya di jam-jam itu. Makanya, lebih baik tidur dan bangun keesokan harinya dengan kembali melakukan aktivitas seperti kemarin, walaupun ada beberapa variasi yang membuatnya berbeda. Walaupun sedikit.

Man, bagaimanapun juga, berbeda dengan teman kampusku yang pintar dan kritis tersebut bila membanding-bandingkan. Teman kampus ku itu saat ini memasuki dunia yang diinginkannya dan aku memang iri terhadapnya. Bagaimana tidak, aku ingin pintar dan kritis, seperti dirinya. Memiliki pengetahuan yang dapat mengembangkan potensi diri. Di sisi lain, ada Man. Orang yang memilih dunianya sebagai pilihan terakhir dan paling terpaksa. Dan terkadang mengeluh, bagaimana ritme kehidupannya berjalan begitu cepat, sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sepotong-potong dan tidak tuntas bagi dirinya. Tetapi aku kagum kepada orang-orang seperti Man ini. Mengetahui bahwa jalan raya adalah kehidupan yang dijalaninya, walaupun pada dasarnya memang kehidupan yang kesannya terpaksa. Tetapi, mengetahui setiap hari dia kembali ke jalanan dan menghidupinya, menjadi kekaguman tersendiri bagiku…kita memang orang-orang kesepian ditengah riuhnya jalan raya dan bertahan di dalamnya. Dan itu bukanlah perkara mudah. Tidak ada yang mudah.

***
“Mas, mau beli voucher pulsa gak? Lagi promosi nih,” kata seorang perempuan dengan sedikit merajuk. Senyum manisnya terkembang (mungkin disuruh oleh manajer SPG-nya).

Aku dan Man tidak berkata apa-apa. Selain terkejut, karena kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba, kami terpaku cukup lama, mengetahui ternyata perempuan yang menawarkan pulsa itu memiliki paras yang sangat manis. Rambutnya sedikit kuning terurai sampai bahu. Pembawaannya ceria dan ramai. “Ayo dong, Mas. Pada mau ga, mumpung promosi,” katanya kembali merajuk.

Tetap tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku atau Man. Kami hanya memandang perempuan yang manis tersebut sambil meggelengkan lengan pertanda kami tidak tertarik.

“Yahh…ya udah deh. Makasi yaa,” katanya kecewa lalu meninggalkan kami.

Mata saya dan Man masih tertuju ke perempuan yang meninggalkan kami. Tubuhnya memang indah dipandang. Seolah-olah keceriaan dan lekuk tubuhnya yang bohay itu bisa menghilangkan kekucelan kami. Melupakan sejenak perutku yang perih, karena belum disokong sesuatu makanan yang layak.Cukup lama kami memandangi perempuan itu, hingga berjarak sekitar setengah meter.

“Kalau sama Mbak, saya mau,” Man akhirnya buka suara. Terlambat.

“Wahahah, enya Man!”

Perempuan yang manis itu telah pergi jauh (dan tentunya tidak mendengar apa yang diucapkan Man). Jam empat sudah lewat lebih sepuluh menit. Saatnya kembali ke tujuan masing-masing. Man kembali ke kantor untuk mengetik, sedangkan saya kembali ke Pasir Koja untuk reportase. Menaiki motor yang menjadi senjata kami dan menapaki jalan yang lain. Entah kapan kami akan bertemu lagi di jalan raya atau trotoar seperti ini.

Tetapi, sore selalu indah dengan segala keterasingannya dan menjadi sedikit pelipur lara. Seperti saat itu, ketika meninggalkan Gedung Sate.

Catatan akhir:
selama ini aku selalu menyepelekan segala sesuatunya. Menyederhanakan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa disederhanakan. Semuanya hanya karena kepengecutan dan kemalasan. Dan saat ini aku benar-benar ketakutan memikirkan segalanya ternyata tertinggal dan tidak terkejar.

Memoria 2008: Sambolo, Ibu Kota, dan Heartbeat (Cornellius Remix)

Minggu, 25 Mei 2008, ia turun dari bus di Senayan. Kulihat ia sibuk menekan-nekan tombol telepon selularnya. Ingin dijemput, mungkin. Ibukota sekitar pukul 3 sore itu terasa terang-benderang sekaligus panas. Angin yang berhembus terasa kering saat pintu bus terbuka. Lalu, gedung-gedung yang tersebar di Senayan terasa ingin menohok keangkuhan langit: begitu megah, begitu tinggi.

Bus mulai pelan melaju setelah sebagian penumpang yang di-drop di Senayan turun. Saat itu, saya tidak peduli, saya tidak ingin menoleh. Hanya selintas saya melihatnya sedang menelepon seseorang. Masa bodoh…masa bodoh! Ayo cepat, Pak Supir, tancap gas pol-polan. Cepat bawa bus ini menuju Bandung!

Sebelumnya saya sudah punya niat: melupakan. Saya ingin pergi dari segala-galanya, saya ingin melupakan semuanya. Saya ingin berada di suatu tempat pada suatu hari dimana saya hidup hanya untuk saat itu saja. Tanpa harus dibebankan urusan yang belum selesai, dihantui kebodohan-kebodohan yang telah dilakukan di masa lalu. Maka dari itulah, undangan pesta di Sambolo dari angkatan 06 pada 24 Mei itu saya amini sepenuh hati. Hanya ada ombak, lamunan dan bodoran garing teman-teman. Sudah. Ini akan menjadi hari liburan saya satu-satunya saat ini. Itu yang ada di alam pikiran sebelumnya.

Malam hari, 23 Mei, Bus yang saya tumpangi melaju semakin cepat dan berada di samping bus 2. Seorang teman dari bus 2 mengacungkan jari tengahnya. Tentu saja, secara bobodoran garing, saya membalas acungan jari tengahnya. Bus melaju semakin cepat. Perlahan jendela demi jendela bus 2 dilalui dan terlihat aktivitas orang-orang didalamnya. Ada orang-orang yang mempunyai niat yang sama di dalam bus itu, liburan ke Sambolo. Ada yang main gitar, ada yang ketawa-ketawa, ada yang bengong, dan tiba-tiba di jajaran tengah tempat duduk bus 2 ada ia yang melambai-lambaikan tangannya. Oh, dia juga ikut rupanya. Baiklah. Setelah selama ini menghilang (entah menghindar), di malam itu dia melambaikan tangannya. Bus melesat dan meninggalkan bus 2.

24 Mei. Liburan di pantai. Bila elemen pendukungnya adalah ombak dan kehadiran teman-teman, maka hasilnya selalu sama saja. Seperti di Batu Karas tahun lalu. Seorang teman yang antusias berseru, “Hayu kita lihat cewe-cewe cantik!”

Saya kabulkan. Tetapi tahukah apa yang terjadi kemudian? Kami terpuruk. Tepar mabuk parah, hampir tidak ingat apa-apa dan nyeri di sekujur tubuh saat bangun. Tidak ada ‘cewe-cewe cantik’, tidak ada aksi. Dengan kata lain, sudah terlalu lama – kurang lebih 3 tahun – kami melakukan hal-hal nihilistik. Tiada guna, selain mengumbar banyolan-banyolan kosong melompong. Bagi saya, seperti lari dari masalah satu ke masalah lain dengan bersembunyi di dalam kerumunan orang anonimous. Identitas direduksi ke titik yang paling rendah.

Di Sambolo pun kurang lebih seperti itu. ombak, kehadiran teman, panitia yang kerepotan dan susunan acara yang mungkin inginnya menunjukkan “kekompakkan angkatan”-nya. Cih, Kamu ingin lihat yang namanya kompak? Coba lihat kami membawakan lagu Pure Saturday. Itu baru kompak namanya: seteman gitar saya dan Yoyon jauh dari kata sinkron. Intinya, ya, begitu itu. Liburan di pantai kembali seperti itu. Begitu lagi.

Pagi-pagi sekali, ada ‘rasa baru’ saat pertama kali menyusuri pantai. Melihat ke kejauhan laut, teringat Kono. Ia tidak ikut ke Sambolo, tapi ia begitu terobsesi dengan ‘pelaut yang mencintai’. Cinta Seorang Pelaut. Selalu kata-kata itu diulang jika ia berbicara tentang wanita. Saya angguk-angguk saja bila sudah begitu. Sebetulnya saya tidak mengerti juga apa yang dimaksud dengan ‘cinta seorang pelaut’. Saya pun tidak berminat untuk menanyakannya. Tapi saya amini saja.

Duduk-duduk di depan cottage. Di alam pikiran adalah ingin melupakan dan lari dari segalanya. Tetapi, kemarin malam ia kembali hadir. Bung Rull, yang emang dasarnya gelo, ngomong, “kumaha atuh euy?”

Saya bilang aja teu nanaon lah. Tapi, yang namanya dadakan mah emang perlu improvisasi. Dan itu yang saya ga punya. Saya malah keukeuh: liburan, liburan, pokoknya liburan! Tapi, tetep aja perlahan ada yang mencair seperti es batu ketika di simpan di tengah padang pasir. Sesekali mata jebol dari penjagaan dan memandang ia yang terlihat sedikit gemuk sekarang. Sesekali juga mata kami beradu pandang. Saya tahu dan Ia tahu, tapi itu saja belum cukup, kata orang-orang. Bah, omong kosong juga jadinya. Sempat terlintas pertanyaan bodoh: kenapa juga Tuhan harus menciptakan manusia berpasang-pasangan? Kenapa juga manusia tidak diciptakan seperti Godzilla yang bisa bikin anak sendiri tanpa harus ada pasangannya. Mungkin akan sedikit lebih damai dunia bila begitu: Shakespeare ga perlu nulis novel Romeo and Juliet dan ga perlu ada ‘Hikajat Sitti Nurbaja’ yang ditulis oleh Marah Rusli.

Masih di Sambolo, 24 Mei, dan memandang jauh ke laut. Laut itu luas dan lega. Kedua kata itu, ‘luas’ dan ‘lega’, bagiku mempunyai kedekatan dengan kata ‘lapang’ yang berkaitan juga dengan suasana hati. Lapang hati, ada di kamus. Artinya merasa lega. Sebelum berangkat ke Sambolo, perlahan hati ini dilapangkan juga oleh Mamed, Jurad, Jurve, KKN dan setumpuk rutinitas lainnya. Untuk itu, di alam pikiran awal, saya ingin menuntaskannya di Sambolo ini. Karena sudah lama saya tidak merasakan kelapangan hati yang seperti itu. Tetapi, tetap, setiap hal yang berbau dadakan memang membutuhkan improvisasi.

Melihatnya duduk-duduk di bawah pohon kelapa sembari tertawa, seakan-akan mengingatkan kebodohan yang berulang-ulang dilakukan. Seperti benar-benar menjelaskan, bahwa diri ini minim betul akan kapasitas dan kompetensi. Tidak berguna. Ah, rendah diri. Maut memang. Untunglah ada Bung Rull dan Ipen yang sedang meributkan daerahnya masing-masing: Pasir Koja versus Holis Kopo! Saya pun nimbrung dengan membawa daerah tempat saya tinggal selama ini: Margahayu Raya. Melupakan.

Ah, engkau ke ladang, aku kesawah. Aku ke sawah, engkau ke ladang. Tidak ada dialog diantara kita. Maaf.

Minggu, 25 Mei, ia berdiri di depan bus 3, bus yang saya tumpangi. “Mau sekalian pulang ke Jakarta,” katanya sambil berlalu masuk ke dalam bus.

Seperti dahulu rasanya. Engkau di depan, aku di belakang. Namun bedanya, ini bus bukan kelas. Sejarah berulang dan kebodohan pun tetap yang itu-itu saja. 666 kali terperosok di dalam lubang yang sama. Pembangkit listrik di Cilegon begitu indah. Mungkin akan sangat indah bila malam telah tiba. Saat melewati pembangkit listrik itu, saya pun sebenarnya sudah berulang kali menyadarkan dan meyakinkan diri sendiri: Oh, ini tidak akan berhasil. Dia membutuhkan seseorang yang benar-benar ia yakini dan saya benar-benar orang yang cupu. Lihat, ada dua tipe manusia yang kontradiktif secara akhlak dan mental disini. Ditambah, budaya yang berlaku di tempatku hidup adalah budaya yang men-superior-kan kaum lelaki. Berarti saya harus mahfum dan harus belajar untuk paham. Terakhir, dari kelakuannya selama ini pun, terasa, mungkin ini memang tidak akan berhasil. Kamu tau ini tidak akan berhasil.

Kelapangan yang sempat meliputi hati memang terusik. Apalagi melihat ketawa khas-nya di saat perjalanan pulang itu. Matanya yang bening. Tetapi, sudahlah. Liburan harus menjadi liburan. Tidak seperti apa yang ada di alam pikiran awal memang. Baiklah, mungkin ini semua hanya akan memakan waktu selama liburan ini saja…dan beberapa hari setelahnya, mungkin. Pastinya, kelapangan itu harus dikembalikan kembali ke tempat asalnya. Dipulihkan kembali.

Saat bus sudah meninggalkan Senayan, ada ke-tidak puguh-an. Semacam pikiran-pikiran: apa yang harus dilakukan, harus bagaimana, kenapa semua berjalan seperti ini. Semuanya seakan-akan mengingatkan inkompetensi yang sama, yang itu-itu saja. Walaupun tidak akan berhasil, namun tetap dorongan dan tuntutan itu selalu saja merongrong. Menambah ruwet pikiran, menekan, membuat hati dan otak lelah. Ia – yang sekarang mungkin sudah dijemput – seakan menutup pantai, teman dan acara yang telah terekam di dalam kepala. Ah, melelahkan memang….

Bangun dari tidur, terlihat papan reklame nama sebuah warung dengan huruf kecil dibawahnya bertuliskan: Purwakarta. Sudah cukup jauh juga meninggalkan Jakarta. Masih terasa hawa Senayan. Di sebelahku ada Bung Rull dan Bung Ganjar. Kompatriot selama ini. Di belakang ada Bung Auzan yang pendiam mendengarkan lagu dari telepon selularnya. Saya pinjam telepon selularnya. “Terlalu sepi ga ada musik,” kataku padanya.

Mataku langsung tertuju ke mp3 remix Heartbeat milik Tahiti 80.

Play.

Perlahan suasana hati berubah. Betapa cepat memang suasana hati bisa dibalikan. Jadi mengerti juga, kenapa suami yang kalah judi bisa gelap mata dan menggadaikan perhiasan milik istrinya sendiri tanpa bilang-bilang. Sorotan terik matahari sore menimpa muka kedua kompatriot yang sedang ketawa-ketawa tidak jelas di sampingku: Bung Rull dan Bung Njar. Mereka yang selama ini melakukan hal-hal nihilistik bersama. Begitu indah suasana sore saat itu. Saya pun ikut tertawa, walaupun tidak tahu dan tidak terdengar apa yang mereka obrolkan. Lagu Tahiti 80 memenuhi telingaku. Akhirnya aku bisa lari, bisa lupa sejenak dari segala-segalanya. Saya lihat ke depan, ada Bung Ndro yang tertawa-tawa juga. Ke belakang ku lihat Auzan yang sedang melihatku juga. Dari gerakan bibirnya ia seperti mengatakan, “naon?”

Saya tertawa dan menggelengkan kepala. Untuk sebuah kesenangan, sepertinya dibutuhkan setengah dosis kesedihan juga. Miris. Tetapi, sudahlah. Earphone saya lepas. Terdengar deru mesin bus dan tawa teman-teman yang mengeras. Pilih speaker on dan putar kembali Heartbeat remix. Terdengar kocokan gitar akustik yang tricky dan sample-sample yang unik. Ada yang bernyanyi: Enough for me is not much for you…volume maksimum. Saya acungkan tinggi-tinggi telepon selular agar musik itu terdengar ke seluruh bus. Saya menginginkan semua orang di bus itu mendengarkan lagu ini. Nada-nadanya yang membuat suasana, yang membuat semuanya berubah saat itu juga. Saya berharap semua yang ada di bus bisa merasakan juga moodnya yang ceria. Sebagaimana aku merasakan semuanya hari itu.

Di jajaran belakang bus, ada Bung Bach, Bung Njar, Bung Sahrull, Bung Praga, Bung Cakri, Bung Tio, Bung Ndro dan saya. Ada kami. Pastinya, ada bodoran-bodoran nihilistik yang super garing.

“Ndro, kumaha euy, Jakarta geus lewat. Teu sempet ningali Monas atuh?! Di Kopo mah euweuh bangunan nu jiga Monas pan?”

“Enya euy, Bo, urang ge hayang ningali BUSWAY tea geningan. Nu jiga kumaha sih?”

“BUSWAY teh belah mana PT. Inti, Ndro?” Bung Rull tiba-tiba bertanya.

Tawa meledak.

Lagu berganti ke Tears Drop yang dibawakan oleh Massive Attack.

Bahasa Daerah Terancam Punah? Biarkan Saja Punah Bila Tak Praktis

Pusat Bahasa telah menghasilkan beberapa kesimpulan awal mengenai eksistensi bahasa daerah di Indonesia. Salah satunya adalah penemuan bahasa daerah yang ternyata telah punah karena minimnya penutur. Kesimpulan itu keluar setelah sebelumnya Pusat Bahasa melakukan penelitian mengenai bahasa daerah di Indonesia. Kesimpulan yang dikeluarkan Pusat Bahasa itu bisa dibaca di Kompas edisi 27 Mei 2009.

Terkait dengan adanya bahasa daerah yang telah punah itu, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berkomentar, seperti yang di ambil dari Kompas, hilangnya bahasa daerah akan menghilangkan akar kebudayaan suatu daerah. Selain itu, Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika juga berkomentar, kepunahan bahasa daerah merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa.

Di sisi lain, pakar capruk ga jelas: Siluman Tulen, berpendapat hilangnya bahasa daerah tidak harus berarti hilangnya kebudayaan suatu daerah atau kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa. Hal itu bila dikaitkan dengan posisi bahasa daerah bagi penuturnya.

Bahasa adalah sekadar alat untuk berkomunikasi di antara manusia. Pikiran manusia adalah sesuatu yang abstrak, dan bahasa hadir untuk mengkonkretkan pikiran abstrak tersebut. Pikiran yang abstrak itu memang tidak akan utuh, ketika dikonkretkan dalam sebuah bahasa. Ada saja makna yang masih terdengar samar-samar. Contohnya: apa pengertian utuh dari pemikiran “aku cinta kamu”? atau apa pengertian utuh dari pemikiran mengenai “neoliberalisme” yang sedang hip akhir-akhir ini? Saya mah rieut. Tetapi dengan bahasa, manusia yang berkomunikasi setidaknya dapat ‘mendekati’ pengertian yang sama.

Nah, bila ada bahasa daerah yang punah, karena jumlah penuturnya minim hal itu bisa jadi disebabkan bahasa daerah itu terlalu ribet, ketika digunakan oleh penuturnya. Misalnya, bahasa Sunda halus yang konon bagi anak jaman sekarang terlalu rumit. Ada saja cerita bagaimana mayoritas anak muda sunda saat ini “blah-bloh” ketika berkomunikasi menggunakan bahasa sunda dengan orang sunda yang juga menjadi saksi hidup Bandung Lautan Api. Karena tingkatan bahasa sunda yang tidak banyak diketahui dan beberapa kata yang memang terdengar asing di telinga anak muda sunda saat ini, maka perlahan bahasa sunda “karuhun” itu mulai ditinggalkan. Sehingga hasilnya adalah seperti saat ini, bahasa sunda pasar. Campur sari dengan bahasa daerah lainnya atau bahasa “slank”. Tetapi itulah yang umum digunakan oleh kebanyakan orang sunda saat ini. Sebabnya, karena bahasa sunda pasar itu yang ternyata praktis dan mudah dimengerti. Walaupun, di satu sisi, ada saja “budayawan garda terdepan penjaga adat istiadat nenek moyang berumur 50 tahun ke atas” yang selalu mengeluh dan mengeluh tentang tiadanya kesadaran anak muda menjaga tradisinya. Budayawan-budayawan bangkotan itu seringkali mengeluh dengan berpijak dari perasaannya ketika melihat banyaknya pemakaian bahasa sunda pasar oleh mayoritas anak muda saat ini.

Saya pikir, sang budayawan bangkotan setidaknya harus belajar menerima kenyataan, bahwa bahasa sunda karuhun yang dia gemari itu ternyata tidak digemari oleh anak muda sunda di jaman sekarang. Jaman berubah, semuanya tidak akan sama lagi.

Dokumentasi dan Minat Baca

Daripada banyak mengeluh mengenai ketakutan akan hilangnya “akar tradisi dan adat istiadat suatu daerah” disebabkan punahnya bahasa daerah, lebih baik dilakukan sebuah langkah aktif. Setidaknya, ada dua masalah yang cukup penting terkait dengan masalah bahasa daerah ini, yakni dokumentasi dan minat baca.

Seperti telah ditulis di atas, bahasa hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi. Seperti manusia yang selalu mengalami perubahan, begitupun dengan bahasa. Seiring perubahan yang terjadi dalam diri manusia, tidak tertutup kemungkinan sebuah bahasa akan hilang atau sebaliknya, berkembang. Maka dari itu, pengenalan akan kegiatan dokumentasi menjadi penting disini. Salah satu contoh kecilnya, sebutlah kamus bahasa daerah. Kamus berperan penting untuk mendokumentasikan kosakata-kosakata yang terdapat dalam bahasa daerah. Biarlah bahasa daerah musnah, karena jumlah penuturnya berkurang atau tidak ada, asalkan kosakata bahasa daerah tersebut sudah tercetak dalam sebuah kamus, sehingga dapat menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya. Dengan begitu, walaupun sebuah generasi baru itu tidak lagi paham mengenai bahasa daerah yang sudah atau hampir punah, namun generasi itu masih bisa mengetahui tentang eksistensi sebuah bahasa daerah yang dulu pernah ada.

Dokumentasi itu tidak hanya dalam bentuk kamus saja, bisa juga dalam bentuk karya sastra dan kebudayaan. Kiprah Pusat Bahasa yang berhasil memetakan 442 bahasa dari 2.185 daerah, seperti yang diberitakan juga oleh Kompas, merupakan hal yang patut diapresiasi. Walaupun masih jauh dari sempurna, karena nyatanya masih ada sekitar 304 bahasa daerah di Indonesia belum selesai dipetakan.

Kesadaran akan pentingnya dokumentasi dikalangan masyarakat menjadi hal yang penting di sini. Untuk menumbuhkan kesadaran dokumentasi tersebut, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah menumbuhkan minat dan cinta membaca. Siapapun tahu, dengan membaca, maka cakrawala dunia terbuka. Para nelayan di pulau Madura bisa mengetahui sebuah gua bernama Hira di daratan Arab jauh di sana, karena ia pernah membaca terjemahan kitab al quran yang salah satu isinya menceritakan tempat yang biasa dipakai Nabi Muhammad untuk merenung. Seorang mahasiswa dari Indramayu mengetahui ada sebuah aliran kristen bernama Mormon di daratan Amerika sana, setelah sebelumnya dia membaca laporan seorang wartawan yang meliput mengenai kelompok yang mempunyai dua kitab suci ini di sebuah majalah.

Intinya, punahnya bahasa daerah disebabkan tidak ada lagi penutur bukanlah sebuah masalah. Tetapi masalah sebenarnya adalah ketika tidak ada lagi kesadaran serta pengetahuan mengenai pentingnya dokumentasi dan membaca. Dua hal itulah yang berpotensi menyebabkan hilangnya akar sebuah kebudayaan daerah. Bukan penutur yang tidak ada lagi.

Keroncong Senja

Berikut ini adalah tulisan saya ketika meliput acara kerontjong di Sabuga tahun 2006 lalu. Sebenarnya sudah di posting di blog saya terdahulu, tapi karena lupa password dan semacamnya, saya tidak bisa lagi mengakses blog yang dulu itu. Jadi, semua barang-barang di blog itu akan saya pindahkan ke sini.

Alunan nada yang keluar dari ukulele, biola, cello, contrabass dan gitar di sore hari itu membawa ketenangan bagi siapapun yang mendengarnya. Sebuah lagu lawas berjudul “My Way” yang pernah dibawakan oleh penyanyi legendaris Frank Sinatra mengetuk telinga penonton yang telah hadir sejak pukul tiga sore. Sayatan biola pada bagian reffrain lagu membuat beberapa penonton menyanyi, walaupun lagu itu dibawakan secara instrumental saja. Lagu “My Way” sekaligus menjadi pembuka dari pagelaran musik “Kerontjong Sendja” di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) yang diisi oleh orkes keroncong bernama Little Keroncong.

Marji

Ada seorang tokoh yang diceritakan dalam novel grafis berjudul ‘Revolusi Iran’ karya Marjane Satrapi bernama Marji. Ia adalah seorang perempuan kecil yang tumbuh, ketika Iran mengalami gejolak sosial, seperti tumbangnya kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi yang kemudian digantikan oleh seorang ulama kharismatis: Ayatollah Agung Ruhollah Khomeini.

Di Bawah Deru Pembangunan (Ada yang Bermain di Bawah Jembatan Layang)

 














Awalnya, Kang Gingin menyuruh saya untuk membuat tulisan mengenai kekumuhan yang ada di bawah jembatan layang. Tetapi, ketika datang ke TKP, saya menemukan sesuatu yang lebih menarik ketimbang kekumuhan itu sendiri.

Bandung (2008 kemarin)

25 September 2008 ini Kota Bandung merayakan Ulang Tahunnya yang ke-198. Hm, kotaku tercinta lumayan tua. Hampir nyentuh angka dua ratus! Di ulang tahun Kota Bandung ini saya yakin bakal banyak orang Bandung yang mengeluarkan keluhan. Mulai dari ruas jalan yang menjadi tidak sebanding dengan banyaknya jumlah kendaraan, sehingga berdampak pada kemacetan di sana-sini, khususnya pada akhir pekan. Kondisi jalan raya yang tidak layak. Polusi. Sanitasi. Lalu, masalah sampah yang tak kunjung selesai.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Pertemuan

Sebenarnya sore itu tubuh benar-benar sudah rusak. Pengganjal perut hanya kupat tahu di jam 8 pagi dan indomie rebus di jam 1 siang. Sisanya, hanya rute dan jadwal. Rute mulai dari Jalan Pasir Koja hingga jadwal rapat paripurna yang isinya tidak pernah kesampaian oleh otak yang kelewat sederhana ini.

Waktu itu jam 3 sore dengan latar gedung parlemen. Perut kerubukan. Pasokan indomie hanya bertahan dua jam kurang, tapi uang seribu di saku tinggal dua lembar. Kusundut garpit sebagai pengganjal lapar, walaupun hasilnya omong kosong. Malah lebih parah. Tenggorokan kering dan asapnya jadi terasa pahit. Perut masih nyakar.Tapi acuh, terus hisap. Terus hembuskan.

Mata juga sedari pagi susah diajak kompromi. Dihitung-hitung, tidur hanya empat jam. Makanya, beberapa kali cuci muka dan ngucek-ngucek mata, tetap saja terasa seperti ditusuk-tusuk. Jadinya berpengaruh juga ke lutut. Terasa lemas dan tremor. Apalagi salah seorang yang terhormat, karena masuk gedung parlemen, berbicara seadanya. Tidak cukup untuk dijadikan berita. Orang yang terhormat itu juga cepat sekali ngeloyor masuk ke dalam mobil dinasnya yang mewah sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Sialan.

Sudah tidak bisa lagi berpikir. Mengulik bahan agar layak disiarkan. Tapi saya ingin tidur. Ingin ketenangan. Otak juga nampaknya demikian, karena si otak tidak mau diajak kerja sama. Ya sudah, perduli setan berita. Bahan yang didapat tidak diolah. Toh, orang kantor tidak tahu apa yang saya lakukan diluar kantor. Mereka tidak tahu apa-apa, kecuali saya punya kewajiban muter-muter di bandung tengah. Lagipula, ada satu isu pegangan yang didapat tadi pagi. Sudah aman.

Berjalanlah saya ke tempat parkir. Ambil motor dan berpikir sebenarnya akan dibawa kemana kendaraan ini. Jam 5 sore ada reportase yang harus dilakukan. Buat pulang ke rumah, kagok. Ada rentang waktu dua jam yang menyebalkan. Tapi untunglah. Ketika ke luar gerbang gedung parlemen, ada orang ini, si Man. Dia sedang duduk di trotoar depan gedung parlemen. Buat saya, ini pertanda baik. Rentang waktu dua jam bisa dimanfaatkan bareng si Man. Saya hampirilah orang yang kelihatannya sedang khusyuk menelepon di trotoar itu. Man menoleh kearahku sebentar. Tersenyum kecil dan sibuk lagi berbicara lewat telepon dengan tangan kanannya yang sibuk mencatat.

Man duduk di trotoar yang biasa dijadikan tempat nongkrong bagi orang-orang yang suka nodong mikropon di depan wajah orang yang mereka suka. Di tempat itu hanya terlihat Man. Sudah sore memang. Orang-orang yang suka nodong mikropon itu juga memang sudah berkubang di tempatnya masing-masing. Meracik bumbu untuk besok pagi.

Melihat pose duduk si Man di trotoar saat itu, jadi ingin membuat pameran sculpture bertema “orang yang menodong dan menggarap”. Coba saja bayangkan. Kepala miring ke arah kiri. Lalu bahu kiri juga diangkat sedikit untuk menjepit telepon selular. Tangan kiri memegang buku kecil, sedangkan tangan yang satunya lagi menggoreskan tinta di atasnya. Kedua kaki merapat. Indah nian si Man. Begitu khusyuk.

“Aya naon ayeuna, Man?” tanya saya kemudian seusai dia menelepon.

“Ieu…biasa, teknologi tea. Bio gas kitu,” jawabnya sambil merogoh saku sweaternya dan mengeluarkan sebatang rokok kretek.

Ctak. Ceshh…api diujung rokok menyala, disusul hembusan asapnya yang keluar dari mulut Man. Rokok masih menempel di mulut Man. Sementara kedua tangannya sibuk memasukkan buku kecil dan korek api ke dalam saku sweaternya. Man nampak kewalahan. Gumpalan asap rokoknya semakin tebal, tetapi dia tidak ingin melepaskan rokok yang sebenarnya jadi sumber masalahnya sendiri.

“Bluah!!” jeritnya tidak lama kemudian. Tidak kuat juga  dia diteror asap dari rokoknya sendiri. Dia jepit rokok yang menempel dimulutnya, lalu melepaskannya.

“Peurih euy, beunang panon,” katanya sambil mengucek-ucek matanya yang berair.

“Heheh. Ripuh, lur,” timpal saya.

Trotoar tempat kami duduk saat itu memang terasa menyenangkan. Setidaknya bagiku. Apalagi bila sedang nongkrong. Mobil berseliweran, manusia lalu lalang. Angin sepoi-sepoi. Tinggallah menyalakan sebatang rokok garpit ditambah es jeruk gelas yang berharga lima ratus perak. Dibumbui dengan sedikit percakapan tentunya juga akan terasa meriah.

Sore itu ada satu jam empat puluh lima menit kesempatan saya untuk nongkrong sambil menunggu waktu reportase rutin jam 5 sore. Kesempatan itu juga saya gunakan untuk ngobrol ngaler-ngidul dengan si Man. Dan memang kami ngobrol ngaler-ngidul. Mulai dari isu bandrek, layout, isu, sampai kerjaan.

“Kumaha gawe di tempat nu ayeuna euy? Resep teu kukurilingan,” kata saya.

“Sebenerna mah teu sih,” katanya sambil geleng-geleng kepala.

“Hehe, kunaon kitu?”

“Teuing…asa kucel we. Jeung asa teu boga waktu jang aktivitas nu lain. Jigana urang teu cocok gawe out door jiga kieu. Hayang na mah jadi dosen.”

Pertama kali saya kenal dengan Man, ketika ada kecelakaan pesawat di Bandara Husein Sastranegara. Saat itu dia baru satu bulan kerja di sebuah surat kabar lokal, dan saya sedang pkl juga di sebuah surat kabar. Pesawat Fokker milik militer yang jatuh di bandara Husein saat itu memang mengejutkan. Begitu pula suasana di Rumah Sakit Selamun, tempat dimana kami ditugaskan untuk memantau. Keluarga korban berdatangan, begitu juga petinggi militer. Suasana tegang sekali saat itu. Selama di RS itu saya kerap berdua dengan Man. Lama-kelamaan, akhirnya kami akrab juga. Sudah lima bulan berlalu semenjak perkenalan di RS Selamun itu.

“Sebenerna, pekerjaan nu ku urang tekuni ayeuna teh pilihan terakhir. Basa lulus kuliah, urang ngalamar gawe ka nu bidangna di luar jurusan urang. Tapi keterimanya di sini. Ya udah,” kata Iman lalu menghisap rokok kreteknya dan menopangkan dagunya.


***
Suatu saat saya pernah berbincang-bincang bersama seorang teman kuliah yang sejurusan denganku. Temanya tentang betapa memuakannya jurusan yang kami tinggali selama kurang lebih empat tahun ini. Teman saya itu orang pintar, dan juga kritis. Tapi ironisnya, dia bekerja untuk jurusan itu. Temanku itu juga menyadari betapa problematisnya hidup dengan pikiran yang berbeda ide dengan sebagian besar orang-orang di dalam jurusan.

Pikiran temanku itu, pada dasarnya sama dengan Man. Dia lebih memilih dunia akademik, dibandingkan dunia lapangan yang tak menentu ini. Alasannya, menurutnya, kenyataan yang dihadapi di lapangan begitu jauh berbeda dengan apa yang dicekoki oleh jurusan kepada para mahasiswanya. Di jurusan saya tersebut, doktrin tentang spesialisasi yang diajarkan memang begitu indah. Idealismenya luhur dan seolah-olah adi luhung. Tetapi, pada kenyataannya, jurusan saya itu hanya seperti mencetak manusia-manusia yang segenap pengetahuan dan tenaganya dipersembahkan untuk kepentingan industri semata dalam mengakumulasi keuntungan. Tidak ada himne, layaknya pejuang yang dikagumi orang. Tidak ada cerita kehidupan mahsyur bak kaisar Romawi. Sebagian besar hanya orang-orang yang berada di jalan sendirian dan kelelahan.

Maka dari itu, temanku memilih dunia akademik, karena bisa mendapatkan lebih banyak waktu luang dan ilmu pengetahuan. “Lagipula, selama ini hidup kita pada dasarnya tidak ada kebebasan. Ya, kita bisa memilih, tetapi hanya dalam koridor yang telah disediakan. Seperti ketika jaman SMA, kamu bebas memilih, apakah akan masuk IPA atau IPS. Ya, kamu bebas memilih, tetapi hanya sebatas pada jalur yang telah di sediakan. Lalu, begitu seterusnya hingga kuliah. Dan ketika kamu memilih, maka kamu hanya menekuni satu jalur pengetahuan yang telah disediakan. Hidupmu sudah dipatok. Tetapi, di dunia ini ‘kan ilmu pengetahuan tidak berada di satu jalur saja. Tetapi tersebar di mana-mana,” jelas teman kampusku itu suatu saat.

Ucapan teman kampusku itu juga ternyata mirip dengan ucapan Man, saat dia mengatakan keinginannya. “Sebenarnya saya ingin berkarya. Bikin buku. Tetapi waktu luang yang saya miliki sekarang habis oleh pekerjaan ini,” kata Man.

Pekerjaan yang Man jalani sekarang memang sangat menyita waktu. Bagaimana tidak, dalam sehari dia dituntut mencari tiga berita. Otaknya harus memutar-mutar waktu tiap hari untuk mendapatkan ketiga berita itu. Kesempatan mencari berita dalam sehari yang dimiliki Man juga sedikit. Jam 5 sore dia harus mengetik berita yang dia dapat, setelah sebelumnya mencari kesana-kemari di lapangan. Setelah itu, beres mengetik rata-rata jam tujuh hingga jam delapan malam. Habis beres segala urusan di kantor, pulang ke rumah sekitar jam sembilan malam. Tentunya otak dan tubuh terlanjur lelah untuk melakukan aktivitas lainnya di jam-jam itu. Makanya, lebih baik tidur dan bangun keesokan harinya dengan kembali melakukan aktivitas seperti kemarin, walaupun ada beberapa variasi yang membuatnya berbeda. Walaupun sedikit.

Man, bagaimanapun juga, berbeda dengan teman kampusku yang pintar dan kritis tersebut bila membanding-bandingkan. Teman kampus ku itu saat ini memasuki dunia yang diinginkannya dan aku memang iri terhadapnya. Bagaimana tidak, aku ingin pintar dan kritis, seperti dirinya. Memiliki pengetahuan yang dapat mengembangkan potensi diri. Di sisi lain, ada Man. Orang yang memilih dunianya sebagai pilihan terakhir dan paling terpaksa. Dan terkadang mengeluh, bagaimana ritme kehidupannya berjalan begitu cepat, sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sepotong-potong dan tidak tuntas bagi dirinya. Tetapi aku kagum kepada orang-orang seperti Man ini. Mengetahui bahwa jalan raya adalah kehidupan yang dijalaninya, walaupun pada dasarnya memang kehidupan yang kesannya terpaksa. Tetapi, mengetahui setiap hari dia kembali ke jalanan dan menghidupinya, menjadi kekaguman tersendiri bagiku…kita memang orang-orang kesepian ditengah riuhnya jalan raya dan bertahan di dalamnya. Dan itu bukanlah perkara mudah. Tidak ada yang mudah.

***
“Mas, mau beli voucher pulsa gak? Lagi promosi nih,” kata seorang perempuan dengan sedikit merajuk. Senyum manisnya terkembang (mungkin disuruh oleh manajer SPG-nya).

Aku dan Man tidak berkata apa-apa. Selain terkejut, karena kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba, kami terpaku cukup lama, mengetahui ternyata perempuan yang menawarkan pulsa itu memiliki paras yang sangat manis. Rambutnya sedikit kuning terurai sampai bahu. Pembawaannya ceria dan ramai. “Ayo dong, Mas. Pada mau ga, mumpung promosi,” katanya kembali merajuk.

Tetap tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku atau Man. Kami hanya memandang perempuan yang manis tersebut sambil meggelengkan lengan pertanda kami tidak tertarik. 

“Yahh…ya udah deh. Makasi yaa,” katanya kecewa lalu meninggalkan kami.

Mata saya dan Man masih tertuju ke perempuan yang meninggalkan kami. Tubuhnya memang indah dipandang. Seolah-olah keceriaan dan lekuk tubuhnya yang bohay itu bisa menghilangkan kekucelan kami. Melupakan sejenak perutku yang perih, karena belum disokong sesuatu makanan yang layak.Cukup lama kami memandangi perempuan itu, hingga berjarak sekitar setengah meter.

“Kalau sama Mbak, saya mau,” Man akhirnya buka suara. Terlambat.

“Wahahah, enya Man!”

Perempuan yang manis itu telah pergi jauh (dan tentunya tidak mendengar apa yang diucapkan Man). Jam empat sudah lewat lebih sepuluh menit. Saatnya kembali ke tujuan masing-masing. Man kembali ke kantor untuk mengetik, sedangkan saya kembali ke Pasir Koja untuk reportase. Menaiki motor yang menjadi senjata kami dan menapaki jalan yang lain. Entah kapan kami akan bertemu lagi di jalan raya atau trotoar seperti ini.

Tetapi, sore selalu indah dengan segala keterasingannya dan menjadi sedikit pelipur lara. Seperti saat itu, ketika meninggalkan Gedung Sate.



Catatan akhir:
selama ini aku selalu menyepelekan segala sesuatunya. Menyederhanakan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa disederhanakan. Semuanya hanya karena kepengecutan dan kemalasan. Dan saat ini aku benar-benar ketakutan memikirkan segalanya ternyata tertinggal dan tidak terkejar.

Selasa, 11 Agustus 2009

persimpangan

Wajahnya merah dan lusuh. Awan kekuning-kuningan yang menggantung tergurat di atas dirinya. Tipikal senja dengan matahari yang meredup hampir tenggelam di arah barat. Hari ini adalah rutinitas seperti biasanya. Dan berdirilah dia di tengah jalan. Melengok ke kiri dan kanan. Melihat laju kendaraan yang berseliweran di sekelilingnya. Dia acuh, namun ramah. Pedagang asongan dia sapa. Pengemis tanpa kaki yang berjalan seret di garis pemisah jalan dia salami. Senyumnya terpasang hangat saat seseorang menatapnya dari balik kaca mobil yang melaju.

Hampir enam belas tahun, katanya, dia berdiri di persimpangan jalan. Hari demi hari yang dijalaninya, tentu membuat matanya terbiasa melihat segala hal diseputar kehidupannya. Sungguh sebuah rutinitas. Dan dia istiqamah. Mengetahui tiap kali matahari muncul dari arah timur, yang akan dia saksikan adalah persimpangan yang kemarin. Pedagang asongan yang dia sapa tiap hari, dan pengemis tanpa kaki yang dia salami juga di tiap kesempatan. Selalu itu.

Entah bagaimana munculnya spesialisasi kerja di jaman kapitalistik ini, tetapi yang kupaham samar-samar, dia menimbulkan pola yang kerap disebut rutinitas. Dan manusia didalamnya, mereka dituntut untuk memenuhi sebuah target…target untuk memuaskan akumulasi kapital yang seringkali tidak mengalir ke dalam dirinya masing-masing, kecuali segelintir orang. Dan dialah (dan juga mungkin kita), orang di persimpangan jalan itu, salah satunya yang tidak bernasib seperti segelintir orang yang menikmati keuntungan berlebih.

Dan di pojok persimpangan tempatnya berteduh, ada mereka. Orang-orang yang tidak menikmati jaman: gelandangan, tanpa rumah, dan tersingkirkan. Senja kali ini adalah melankolia, dan semoga Tuhan memberikan kehangatan dalam dunia yang profan ini.

 

 

Minggu, 02 Agustus 2009

Jalan Raya

Dan tiba-tiba saja kehidupan sudah seperti yang sekarang ini. Walaupun kuyakin, tidak ada seorang pun yang akan menyangka, selama ini mereka berdiri dengan waktu dan peristiwa yang menghampiri dan kemudian melewati, lalu pada gilirannya mengubah mereka. Tetapi, apalah hamparan waktu dan rentetan peristiwa itu ketika senja mulai tersaji dan satu persatu lampu mulai menyala di kota yang makin hari makin rapuh. Dengan para pekerja yang lelah dan kesepian menunggu lampu hijau menyala di sebuah perempatan. Menunggu seperti menanti imaji tentang kehidupan yang lebih baik turun ke permukaan bumi yang tidak kekal ini.

Akan ada hari esok yang dijalani bersama memori-memori yang perlahan memudar. Ada degup jantung dan melankolia tentang ekstase masa muda yang seakan tidak berpuncak. Tetapi apalah artinya memori-memori itu, ketika jalan raya menjadi saksi bagaimana sebuah roda kendaraan berputar. Dari satu jalan ke jalan yang lainnya. Mencapai sebuah tujuan, atau sekadar mencari arah. Ada kenangan di setiap jalan raya, dan sekaligus menjadi saksi tentang bagaimana setiap orang ternyata terus melaju.

Dan para pekerja yang lelah dan kesepian itu, pada akhirnya mereka kembali. Kembali pada keterasingan mereka, atau kepada kehangatan percakapan di sebuah tempat yang mereka sebut rumah. Pada akhirnya, ada hal-hal yang dihadapi oleh para pekerja di waktu seusai senja: melanjutkan hidup.