Di tempat kami menghabiskan waktu akhir-akhir ini, ada suatu nilai yang dicoba untuk ditanamkan kepada setiap orang. Nilai-nilai itu berkaitan dengan cara bagaimana kami memandang dan menyikapi sesuatu. Selalu ditanamkan dalam benak kami, bahwa kelak segala tindak-tanduk kami ini mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat. Bila membicarakan masyarakat, berarti itu membicarakan jumlah orang yang banyak. Bahkan, saking pentingnya kami kelak, kami disandingkan setelah tiga pilar yang konon menguasai hajat hidup orang banyak selama ini, yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif.
The 4th estate. Pilar kekuasaan keempat. Itulah kami, katanya, setelah ketiga pilar kekuasaan itu selesai disebutkan. Ada syarat yang harus dimiliki bila kami ingin menjadi pilar yang keempat. Ada nilai-nilai luhur yang harus dipegang teguh. Karena kami, katanya, adalah orang-orang terpilih yang akan menyuarakan mereka yang tidak pernah terdengar atau didengar oleh ketiga pilar kekuasaan itu. Seorang kawan, bahkan menyebut kami sebagai ‘the person who speaks for the inarculate’.
Seseorang dalam sempitnya ruangan kelas, mengatakan dibutuhkan nyali yang tidak kecil untuk menyuarakan mereka yang tidak didengar. Keberanian. Itu yang tertanam dalam benak kami, saat baru-baru memasuki tempat dimana kami menghabiskan waktu selama ini. “Bila tidak berani, bagaimana bisa mendapatkan informasi?!” katanya.
Setelah itu, seorang wanita yang pernah mengatakan ‘we’re gonna spend the rest of our lives here’ dengan nada suara tinggi di muramnya pagi, mengatakan, bahwa kecepatan adalah segala-galanya bagi hidup kami. Apabila tidak begitu, “bagaimana kita bisa menyampaikan informasi tepat pada waktunya?” katanya.
Tertanam dalam benak kami, kami harus seperti apa yang mereka katakan: keberanian dan kecepatan. Kami tidak sama dengan yang lainnya. Ada nilai lebih dalam diri kami, kata perempuan itu. Kami adalah orang yang akan menyuarakan mereka yang tidak didengar. Kami berpengaruh dan penting bagi orang banyak, nantinya. Oleh karena itu, kami harus bekerja keras, kami harus kritis, karena kami berbeda dan berpengaruh, nantinya.
Di suatu waktu dalam lorong gelap dan sempit, sehingga membuat kami berdesak-desakkan pun, kami mendengar teriakan. Sebuah teriakan yang menghapus kantuk dan mengagetkan. ‘Aku bukan insan biasa!’, seperti itu bunyi teriakannya. Di kegelapan pagi kami megap-megap, setengah sadar, namun terasa sesuatu melewati telinga dan terekam dalam benak. Kami bukan insan biasa.
Ada yang dicoba untuk dirubah dan ada yang merubah dan ada yang berubah dari kami, hingga saat ini.
***
“Ya, saya mengakui, saya melakukan cloning,” seseorang yang telah keluar dari tempat kami, berkata di hamparan pasir batu karas.
Masalahnya bukanlah bagaimana dunia menyesuaikan, tetapi bagaimana kami menyesuaikan. Itu yang saya tangkap dari omongannya.
“Karena kita tak ubahnya buruh bagi korporasi-korporasi itu!” ia melanjutkan, “coba saja bayangkan, dalam satu hari kita diharuskan mendapat informasi sebanyak tiga buah. Namun, ketiga informasi itu terletak di daerah berjauhan. Nah, bagaimana mungkin kita berada dalam tiga tempat yang berbeda dan berjauhan dalam waktu yang sama?! Sedangkan bila saya tidak mendapat satu pun dari ketiganya, mau makan dari mana saya?!”
Runtuhlah apa yang telah ditanam dalam dirinya. Tempat yang kami tinggali saat ini begitu berjauhan dengan tempat yang ia tekuni saat ini. Tempat kami begitu sempurna. Nilai-nilai yang ada begitu luhur dan mengagumkan. Begitu indah untuk dijalani. Sedangkan tempat yang ia tempati saat ini, begitu suram dan sumpek. Hal yang terhampar di hadapan kami saat di Batu Karas itu hanyalah sebuah bingkai yang diisi oleh potret manusia yang letih. Seakan ringkih dan kuyu. Tertelan oleh rutinitas dunianya sendiri.
Di lain pihak, keberanian dan kecepatan yang telah dibicarakan di atas itu memang benar ada. Namun keberanian dan kecepatan dengan konteks yang jauh berbeda dengan yang diajari di tempat kami berada saat ini. Itulah yang saya lihat pada dirinya, seseorang yang mengeluarkan keluh-kesahnya di Batu Karas itu. Saya pikir, melakukan tindakan cloning seperti yang dikatakannya itu adalah buah dari keberanian yang dimilikinya.
Keberanian untuk melakukan hal yang tidak dianjurkan di tempat kami berada sekarang. Mungkin saja keberanian itu timbul bukan karena ajaran-ajaran yang harus kami terima dan percayai, seperti yang selama ini sering di terima di tempat kami berada. Bisa saja keberanian itu timbul pada dirinya, karena tuntutan-tuntutan yang harus ia terima dalam hidupnya. Sebuah tuntutan atas kecepatan yang pada gilirannya menentukan penghasilan hidupnya. Menggantung bagaimana hidupnya kelak.
Namun, bila begitu caranya, terbesit pikiran, kami tidak sepenting seperti yang telah diajari kepada kami selama kurang lebih empat tahun ini. Tidak ada ode, tidak ada pengagungan, tidak ada pengkultusan. Di luar tempat kami berada saat ini, orang-orang seperti kami seakan terpencil dan terasing. Jauh dari kemewahan yang dibumbui pujian-pujian.
Orang-orang seperti kami yang hidup berpuluh-puluh tahun yang lalu (bahkan yang hidup sekarang), bila dipikir kembali, seringkali merasakan seperti apa diterasingkan, dimatikan, ditikam, dimiskinkan bahkan dikhianati. Tidak ada kesan penting bila memang menjadi penting itu dikorelasikan dengan kemewahan dan pujian-pujian.
***
Beberapa hari yang lalu, saya berkendara sendiri menuju kantor sebuah surat kabar untuk kepentingan tugas mata kuliah. Saya sendirian kala itu. Terpikir wajah teman-teman yang selama ini menyertai hari-hari saya. Mereka yang bersama-sama menghabiskan waktu di tempat itu. Akan seperti apa mereka, ketika keluar? Akan melakukan apa mereka. Apakah mereka nantinya akan sanggup membangun dunia seperti yang mereka angankan ataukah hanya akan menjadi salah satu manusia yang lusuh dan letih dalam sebuah bingkai seperti yang pernah kutemui di Batu Karas tahun lalu?
Terbayang, apakah nantinya akan seperti ini kehidupan di luar. Berkendara sendiri dengan beban tugas yang harus diselesaikan. Dengan tuntutan yang lebih kompleks lagi. Berkendara sendiri melewati perempatan, lampu merah, gedung pencakar langit yang sudah ribuan kali dilewati. Dan mungkin sesekali mengenang memori yang secara tidak sengaja tersimpan di beberapa trotoar atau gang-gang sempitnya. Terkadang indah, namun bisa juga menyesakkan. Miris.
Dan ketika memasuki kantor surat kabar yang saya tuju, saya menemui sebuah bangunan lusuh. Tidak ubah seperti tempat grosiran dekat rumah, pikir saya saat itu. Begitu ala kadarnya. Kantor itu kosong, tidak banyak orang. Saya ingat, hari itu Rabu dan di hari Rabu, setiap karyawan di kantor itu mungkin bisa sedikit menghirup nafas lega, karena kemarin adalah harinya untuk naik cetak. Otot bisa dikendurkan sedikit setelah kemarin menegang karena tenggat waktu yang serasa memburu.
Di kantor itu saya mejumpai seseorang. Ia sudah tua dan menempati sebuah ruangan yang kecil dan sunyi. “Ruang itu adalah ruangnya sekretaris redaksi,” kata seorang perempuan yang saya temui ditempat penerimaan tamu, bagian paling depan kantor. Itulah orang yang akan saya wawancarai untuk kepentingan tugas mata kuliah.
Orang itu duduk dibelakang mejanya yang besar. Seringkali ia merubah posisi duduknya. Saat itu saya merasa risih dengan sikapnya yang sebentar-sebentar merubah posisi duduk. Entahlah, mungkin juga dia canggung dengan kehadiran saya. Orang asing yang tiba-tiba datang minta wawancara.
Topik wawancara saya dengan orang di ruangan yang kecil dan sunyi tersebut berkutat di seputar surat kabar yang dikelolanya. Tanya-jawab dengannya juga berlangsung standar, seperti sejak kapan surat kabar ini berdiri, bagaimana ceritanya bisa sampai begini, apakah dulu surat kabar ini begitu…bla-bla-bla.
Di sesi wawancara itu sesekali saya memperhatikan ruangan tempatnya bekerja yang kecil dan muram karena kurang cahaya matahari. Lalu, saya melihat ke sisi sebelah kiri di mana terdapat kaca besar yang dibaliknya terlihat seperti ruang untuk rapat redaksi. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan kelas tempat saya belajar, catnya kusam. Dihitung-hitung, ada sepuluh kursi di ruang rapat tersebut. Pandangan saya kembali pada orang yang sedang di wawancarai.
“Bikin surat kabar itu terlalu berat di masalah modal, ya, Hari,” katanya sambil mengusap-usap wajah dengan tangannya.
Orang itu juga mengaku, apabila surat kabarnya tidak disubsidi oleh ‘perusahaan mapan’ seperti saat ini, mungkin semenjak pertengahan ’80 an juga surat kabarnya akan punah. Bangkar. Bayangkan saja, biaya sewa gedung, tagihan telepon, ongkos produksi hingga gaji beberapa wartawannya pun bersumber dari ‘perusahaan mapan’ tersebut.
“Cuman punya 1 M mah mending jangan bikin surat kabar, Ri,” katanya.
…tapi, setelah merenung sebentar, ia menambahi lagi ucapannya itu, “kecuali kalo Ashari ini mau menerbitkan koran yang hanya selama seminggu terbitnya, ya, itu baru bisa.”
Saya rasa…saya rasa hal-hal seperti itulah yang membebani orang-orang seperti kami, nantinya. Apapun yang diajari di tempat kami sekarang, bisa saja jungkir-balik seketika itu juga ketika berhadapan dengan apapun yang tidak ada di silabus tempat kami berada sekarang. Mempengaruhi segala-galanya dari diri kami.