Pusat Bahasa telah menghasilkan beberapa kesimpulan awal mengenai eksistensi bahasa daerah di Indonesia. Salah satunya adalah penemuan bahasa daerah yang ternyata telah punah karena minimnya penutur. Kesimpulan itu keluar setelah sebelumnya Pusat Bahasa melakukan penelitian mengenai bahasa daerah di Indonesia. Kesimpulan yang dikeluarkan Pusat Bahasa itu bisa dibaca di Kompas edisi 27 Mei 2009.
Terkait dengan adanya bahasa daerah yang telah punah itu, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berkomentar, seperti yang di ambil dari Kompas, hilangnya bahasa daerah akan menghilangkan akar kebudayaan suatu daerah. Selain itu, Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika juga berkomentar, kepunahan bahasa daerah merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa.
Di sisi lain, pakar capruk ga jelas: abo si eta tea, berpendapat hilangnya bahasa daerah tidak harus berarti hilangnya kebudayaan suatu daerah atau kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa. Hal itu bila dikaitkan dengan posisi bahasa daerah bagi penuturnya.
Bahasa adalah sekadar alat untuk berkomunikasi di antara manusia. Pikiran manusia adalah sesuatu yang abstrak, dan bahasa hadir untuk mengkonkretkan pikiran abstrak tersebut. Pikiran yang abstrak itu memang tidak akan utuh, ketika dikonkretkan dalam sebuah bahasa. Ada saja makna yang masih terdengar samar-samar. Contohnya: apa pengertian utuh dari pemikiran “aku cinta kamu”? atau apa pengertian utuh dari pemikiran mengenai “neoliberalisme” yang sedang hip akhir-akhir ini? Saya mah rieut. Tetapi dengan bahasa, manusia yang berkomunikasi setidaknya dapat ‘mendekati’ pengertian yang sama.
Nah, bila ada bahasa daerah yang punah, karena jumlah penuturnya minim hal itu bisa jadi disebabkan bahasa daerah itu terlalu ribet, ketika digunakan oleh penuturnya. Misalnya, bahasa Sunda halus yang konon bagi anak jaman sekarang terlalu rumit. Ada saja cerita bagaimana mayoritas anak muda sunda saat ini “blah-bloh” ketika berkomunikasi menggunakan bahasa sunda dengan orang sunda yang juga menjadi saksi hidup Bandung Lautan Api. Karena tingkatan bahasa sunda yang tidak banyak diketahui dan beberapa kata yang memang terdengar asing di telinga anak muda sunda saat ini, maka perlahan bahasa sunda “karuhun” itu mulai ditinggalkan. Sehingga hasilnya adalah seperti saat ini, bahasa sunda pasar. Campur sari dengan bahasa daerah lainnya atau bahasa “slank”. Tetapi itulah yang umum digunakan oleh kebanyakan orang sunda saat ini. Sebabnya, karena bahasa sunda pasar itu yang ternyata praktis dan mudah dimengerti. Walaupun, di satu sisi, ada saja “budayawan garda terdepan penjaga adat istiadat nenek moyang berumur 50 tahun ke atas” yang selalu mengeluh dan mengeluh tentang tiadanya kesadaran anak muda menjaga tradisinya. Budayawan-budayawan bangkotan itu seringkali mengeluh dengan berpijak dari perasaannya ketika melihat banyaknya pemakaian bahasa sunda pasar oleh mayoritas anak muda saat ini.
Saya pikir, sang budayawan bangkotan setidaknya harus belajar menerima kenyataan, bahwa bahasa sunda karuhun yang dia gemari itu ternyata tidak digemari oleh anak muda sunda di jaman sekarang. Jaman berubah, semuanya tidak akan sama lagi.
Dokumentasi dan Minat Baca
Daripada banyak mengeluh mengenai ketakutan akan hilangnya “akar tradisi dan adat istiadat suatu daerah” disebabkan punahnya bahasa daerah, lebih baik dilakukan sebuah langkah aktif. Setidaknya, ada dua masalah yang cukup penting terkait dengan masalah bahasa daerah ini, yakni dokumentasi dan minat baca.
Seperti telah ditulis di atas, bahasa hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi. Seperti manusia yang selalu mengalami perubahan, begitupun dengan bahasa. Seiring perubahan yang terjadi dalam diri manusia, tidak tertutup kemungkinan sebuah bahasa akan hilang atau sebaliknya, berkembang. Maka dari itu, pengenalan akan kegiatan dokumentasi menjadi penting disini. Salah satu contoh kecilnya, sebutlah kamus bahasa daerah. Kamus berperan penting untuk mendokumentasikan kosakata-kosakata yang terdapat dalam bahasa daerah. Biarlah bahasa daerah musnah, karena jumlah penuturnya berkurang atau tidak ada, asalkan kosakata bahasa daerah tersebut sudah tercetak dalam sebuah kamus, sehingga dapat menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya. Dengan begitu, walaupun sebuah generasi baru itu tidak lagi paham mengenai bahasa daerah yang sudah atau hampir punah, namun generasi itu masih bisa mengetahui tentang eksistensi sebuah bahasa daerah yang dulu pernah ada.
Dokumentasi itu tidak hanya dalam bentuk kamus saja, bisa juga dalam bentuk karya sastra dan kebudayaan. Kiprah Pusat Bahasa yang berhasil memetakan 442 bahasa dari 2.185 daerah, seperti yang diberitakan juga oleh Kompas, merupakan hal yang patut diapresiasi. Walaupun masih jauh dari sempurna, karena nyatanya masih ada sekitar 304 bahasa daerah di Indonesia belum selesai dipetakan.
Kesadaran akan pentingnya dokumentasi dikalangan masyarakat menjadi hal yang penting di sini. Untuk menumbuhkan kesadaran dokumentasi tersebut, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah menumbuhkan minat dan cinta membaca. Siapapun tahu, dengan membaca, maka cakrawala dunia terbuka. Para nelayan di pulau Madura bisa mengetahui sebuah gua bernama Hira di daratan Arab jauh di sana, karena ia pernah membaca terjemahan kitab al quran yang salah satu isinya menceritakan tempat yang biasa dipakai Nabi Muhammad untuk merenung. Seorang mahasiswa dari Indramayu mengetahui ada sebuah aliran kristen bernama Mormon di daratan Amerika sana, setelah sebelumnya dia membaca laporan seorang wartawan yang meliput mengenai kelompok yang mempunyai dua kitab suci ini di sebuah majalah.
Intinya, punahnya bahasa daerah disebabkan tidak ada lagi penutur bukanlah sebuah masalah. Tetapi masalah sebenarnya adalah ketika tidak ada lagi kesadaran serta pengetahuan mengenai pentingnya dokumentasi dan membaca. Dua hal itulah yang berpotensi menyebabkan hilangnya akar sebuah kebudayaan daerah. Bukan penutur yang tidak ada lagi.
Terkait dengan adanya bahasa daerah yang telah punah itu, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berkomentar, seperti yang di ambil dari Kompas, hilangnya bahasa daerah akan menghilangkan akar kebudayaan suatu daerah. Selain itu, Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika juga berkomentar, kepunahan bahasa daerah merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa.
Di sisi lain, pakar capruk ga jelas: abo si eta tea, berpendapat hilangnya bahasa daerah tidak harus berarti hilangnya kebudayaan suatu daerah atau kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa. Hal itu bila dikaitkan dengan posisi bahasa daerah bagi penuturnya.
Bahasa adalah sekadar alat untuk berkomunikasi di antara manusia. Pikiran manusia adalah sesuatu yang abstrak, dan bahasa hadir untuk mengkonkretkan pikiran abstrak tersebut. Pikiran yang abstrak itu memang tidak akan utuh, ketika dikonkretkan dalam sebuah bahasa. Ada saja makna yang masih terdengar samar-samar. Contohnya: apa pengertian utuh dari pemikiran “aku cinta kamu”? atau apa pengertian utuh dari pemikiran mengenai “neoliberalisme” yang sedang hip akhir-akhir ini? Saya mah rieut. Tetapi dengan bahasa, manusia yang berkomunikasi setidaknya dapat ‘mendekati’ pengertian yang sama.
Nah, bila ada bahasa daerah yang punah, karena jumlah penuturnya minim hal itu bisa jadi disebabkan bahasa daerah itu terlalu ribet, ketika digunakan oleh penuturnya. Misalnya, bahasa Sunda halus yang konon bagi anak jaman sekarang terlalu rumit. Ada saja cerita bagaimana mayoritas anak muda sunda saat ini “blah-bloh” ketika berkomunikasi menggunakan bahasa sunda dengan orang sunda yang juga menjadi saksi hidup Bandung Lautan Api. Karena tingkatan bahasa sunda yang tidak banyak diketahui dan beberapa kata yang memang terdengar asing di telinga anak muda sunda saat ini, maka perlahan bahasa sunda “karuhun” itu mulai ditinggalkan. Sehingga hasilnya adalah seperti saat ini, bahasa sunda pasar. Campur sari dengan bahasa daerah lainnya atau bahasa “slank”. Tetapi itulah yang umum digunakan oleh kebanyakan orang sunda saat ini. Sebabnya, karena bahasa sunda pasar itu yang ternyata praktis dan mudah dimengerti. Walaupun, di satu sisi, ada saja “budayawan garda terdepan penjaga adat istiadat nenek moyang berumur 50 tahun ke atas” yang selalu mengeluh dan mengeluh tentang tiadanya kesadaran anak muda menjaga tradisinya. Budayawan-budayawan bangkotan itu seringkali mengeluh dengan berpijak dari perasaannya ketika melihat banyaknya pemakaian bahasa sunda pasar oleh mayoritas anak muda saat ini.
Saya pikir, sang budayawan bangkotan setidaknya harus belajar menerima kenyataan, bahwa bahasa sunda karuhun yang dia gemari itu ternyata tidak digemari oleh anak muda sunda di jaman sekarang. Jaman berubah, semuanya tidak akan sama lagi.
Dokumentasi dan Minat Baca
Daripada banyak mengeluh mengenai ketakutan akan hilangnya “akar tradisi dan adat istiadat suatu daerah” disebabkan punahnya bahasa daerah, lebih baik dilakukan sebuah langkah aktif. Setidaknya, ada dua masalah yang cukup penting terkait dengan masalah bahasa daerah ini, yakni dokumentasi dan minat baca.
Seperti telah ditulis di atas, bahasa hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi. Seperti manusia yang selalu mengalami perubahan, begitupun dengan bahasa. Seiring perubahan yang terjadi dalam diri manusia, tidak tertutup kemungkinan sebuah bahasa akan hilang atau sebaliknya, berkembang. Maka dari itu, pengenalan akan kegiatan dokumentasi menjadi penting disini. Salah satu contoh kecilnya, sebutlah kamus bahasa daerah. Kamus berperan penting untuk mendokumentasikan kosakata-kosakata yang terdapat dalam bahasa daerah. Biarlah bahasa daerah musnah, karena jumlah penuturnya berkurang atau tidak ada, asalkan kosakata bahasa daerah tersebut sudah tercetak dalam sebuah kamus, sehingga dapat menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya. Dengan begitu, walaupun sebuah generasi baru itu tidak lagi paham mengenai bahasa daerah yang sudah atau hampir punah, namun generasi itu masih bisa mengetahui tentang eksistensi sebuah bahasa daerah yang dulu pernah ada.
Dokumentasi itu tidak hanya dalam bentuk kamus saja, bisa juga dalam bentuk karya sastra dan kebudayaan. Kiprah Pusat Bahasa yang berhasil memetakan 442 bahasa dari 2.185 daerah, seperti yang diberitakan juga oleh Kompas, merupakan hal yang patut diapresiasi. Walaupun masih jauh dari sempurna, karena nyatanya masih ada sekitar 304 bahasa daerah di Indonesia belum selesai dipetakan.
Kesadaran akan pentingnya dokumentasi dikalangan masyarakat menjadi hal yang penting di sini. Untuk menumbuhkan kesadaran dokumentasi tersebut, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah menumbuhkan minat dan cinta membaca. Siapapun tahu, dengan membaca, maka cakrawala dunia terbuka. Para nelayan di pulau Madura bisa mengetahui sebuah gua bernama Hira di daratan Arab jauh di sana, karena ia pernah membaca terjemahan kitab al quran yang salah satu isinya menceritakan tempat yang biasa dipakai Nabi Muhammad untuk merenung. Seorang mahasiswa dari Indramayu mengetahui ada sebuah aliran kristen bernama Mormon di daratan Amerika sana, setelah sebelumnya dia membaca laporan seorang wartawan yang meliput mengenai kelompok yang mempunyai dua kitab suci ini di sebuah majalah.
Intinya, punahnya bahasa daerah disebabkan tidak ada lagi penutur bukanlah sebuah masalah. Tetapi masalah sebenarnya adalah ketika tidak ada lagi kesadaran serta pengetahuan mengenai pentingnya dokumentasi dan membaca. Dua hal itulah yang berpotensi menyebabkan hilangnya akar sebuah kebudayaan daerah. Bukan penutur yang tidak ada lagi.