Sabtu, 04 Agustus 2012

Ngabuburit di Bandung


Meluangkan waktu dengan beragam aktivitas hingga tiba berbuka puasa sudah menjadi kebiasaan umum saat bulan ramadan. Hal tersebut kerap dikenal dengan istilah ngabuburit. Dengan ngabuburit, masyarakat umumnya datang ke tempat ramai, sekadar berkumpul bersama handai tolan, dan mencari hiburan ringan. Dengan begitu, tak terasa azan magrib berkumandang dari pelantang suara masjid.

Haryoto Kunto (1940-1999), dosen planologi cum "sejarawan" yang fasih bicara tentang Kota Bandung, pernah menulis tentang ngabuburit dalam bukunya "Ramadhan di Priangan". Dalam buku itu, dia menyebutkan beberapa kebiasaan ngabuburit warga Bandung di era kolonial.

"Pusat utama ngabuburit jaman baheula," tulisnya, "berkisar di sekitar Alun-Alun Bandung. Beberapa bioskop di Alun-Alun, seperti Varia, Radio City, Oriental dan Elita, setiap hari selalu berjubel dipadati penonton."

Biasanya, menurut dia, bioskop-bioskop tersebut dipenuhi oleh anak-anak dan kaum remaja. Anak-anak yang menonton itu, tak jarang, ada yang diantar oleh Aa atau Tetehnya. Dari situ pula, seringkali terdapat cerita tentang momen "perkenalan" antara Aa dan Teteh, yang kemudian berlanjut ke hubungan asmara di antara mereka.

Selain Alun-Alun, Haryoto juga menuliskan tempat-tempat ngabuburit lainnya yang sering dikunjungi anak muda, seperti taman-taman kota. "Ngabuburit jaman baheula bisa dilakukan beramai-ramai dengan teman sekampung di beberapa taman, seperti Jubilem Park (Taman Sari), Insulinde Park (Taman Lalu Lintas), dan Molukken Park (Taman Maluku)," tulisnya.

Haryoto menambahkan, anak-anak yang biasanya ngabuburit ke Insulinde dan Molluken Park, senang menangkap dan mengumpulkan ikan-ikan kecil dari jenis impun dengan menggunakan jaring dan ayakan bambu.

Adapun mereka yang ngabuburit ke Jubilem Park, biasanya menyusuri kali Cikapayang sampai ke Pieters Park (Taman Merdeka). Bagi orang dewasa, biasanya mereka menyusuri Cikapayang sambil ngurek mencari belut. Sementara anak-anak kecil mengadakan balap kapal-kapalan yang terbuat dari kaleng sardencis, kelom bekas, dan kulit buah Kiangsret (Spathodea). "Kemudian sebuah lilin menyala diletakkan dalam kapal yang terbawa derasnya arus Cikapayang. Makin sore, makin asyik menarik," tulisnya.

***

Cerita yang disuguhkan oleh Haryoto dalam bukunya itu tentu tidak akan sama dengan jaman sekarang. Pastinya sudah banyak perubahan terjadi di Kota Bandung semenjak jaman kolonial. Taman-taman seperti yang diceritakan di atas juga sudah jauh berbeda keadaannya dengan jaman sekarang. Terutama dalam hal tempat yang dikunjungi saat ngabuburit. Taman-taman tersebut tidak lagi menjadi pusat ngabuburit pada saat ini.

Lalu, contoh perubahan lainnya, bisa disimak cerita Haryoto tentang balai kota dan gedung sate. Dia menulis, "anak-anak dan remaja dulu segan bermain di lapangan Gementee (Balai Kota) dan Gouvernements Bedrijven (Gedung Sate), karena kedua lapang tadi dijaga Opas galak dengan kumisnya yang badak."

Kawasan Gedung Sate saat ini justru selalu dipadati oleh mereka yang ngabuburit. Di kawasan itu pula, tepat di trotoar seberang Gedung Sate, tiba-tiba menjadi tempat yang dipenuhi oleh para pedagang selama bulan ramadan. Sekarang, tidak ada "Opas galak dengan kumisnya yang badak" berkeliaran di kawasan Gedung Sate memarahi siapapun yang ngabuburit di sana.

Mereka yang ngabuburit di kawasan Gedung Sate biasanya duduk-duduk di tangga Gasibu dengan santai bersama teman-temannya. Pada waktu tertentu, terdapat  acara hiburan yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan swasta dengan menampilkan band-band populer di lapangan Gasibu. Hal tersebut semakin menarik minat banyak anak muda untuk ngabuburit ke kawasan Gedung Sate.

Kemudian, tepat di depan Gedung Sate, biasanya terlihat juga beberapa grup motor. Di depan bangunan itu, mereka parkir  memamerkan motor-motornya. Terlihat bagaimana motor dengan beragam merk berjejer bila sore hari tiba. Para anggota klub motor itu menggunakan waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dan juga mengaktualisasikan dirinya.

Lalu, bicara ngabuburit remaja jaman sekarang di Kota Bandung, jarang pula terdengar ada yang menyusuri kali sambil ngurek mencari belut seperti yang dikisahkan Haryoto. Sekarang, kaum anak-anak, remaja, hingga dewasa, dapat ditemui ngabuburit di Lapangan Monumen sambil melihat atraksi freestyle sebuah klub motor.

Saban sore di lapangan Monumen, dapat terlihat bagaimana segerombolan pemuda yang kadang masih memakai seragam sekolah lengkap, nongkrong sambil terpana terhadap aksi salah seorang anggota klub motor yang melakukan stoppie (teknik mengangkat roda belakang motor).

Atraksi yang diperagakan oleh beberapa anggota klub motor tersebut menjadi semacam hiburan gratis bagi warga. Bahkan, kehadirannya mengundang berkah juga bagi pedagang. Para penjual gorengan, kolak dadakan, hingga pedagang rokok asongan, turut mewarnai Lapangan Monumen. Jadinya, semakin ramailah kawasan tersebut.

"Dulu, kami pernah menghentikan aktivitas kami selama beberapa bulan. Tak disangka, ada pedagang yang mengeluh agar kami mulai bermain motor lagi. Ternyata, pendapatan mereka menurun ketika kami menghilang selama beberapa bulan itu," ujar Arwin, seorang anggota klub motor yang sering beratraksi di Lapangan Monumen, Jumat (27/7).

Pusat-pusat perbelanjaan juga tak bisa dilepaskan dari daftar tempat yang biasanya dikunjungi untuk ngabuburit pada jaman sekarang. Terutama oleh anak muda. Desain pusat perbelanjaan yang diatur secara khusus dengan melibatkan banyak etalase komoditas menjadi keunggulannya. Pengunjung bisa ngabuburit sambil melihat suguhan komoditas yang terpajang di etalase. Bila terpikat dan memiliki uang, mereka bisa langsung membelinya. Namun bila tidak, "cuci mata" pun jadilah.

Tidak ada komentar: