Meluangkan waktu dengan beragam aktivitas hingga tiba berbuka puasa
sudah menjadi kebiasaan umum saat bulan ramadan. Hal tersebut kerap
dikenal dengan istilah ngabuburit. Dengan ngabuburit, masyarakat
umumnya datang ke tempat ramai, sekadar berkumpul bersama handai tolan,
dan mencari hiburan ringan. Dengan begitu, tak terasa azan magrib
berkumandang dari pelantang suara masjid.
Haryoto Kunto
(1940-1999), dosen planologi cum "sejarawan" yang fasih bicara tentang
Kota Bandung, pernah menulis tentang ngabuburit dalam bukunya "Ramadhan
di Priangan". Dalam buku itu, dia menyebutkan beberapa kebiasaan
ngabuburit warga Bandung di era kolonial.
"Pusat utama
ngabuburit jaman baheula," tulisnya, "berkisar di sekitar Alun-Alun
Bandung. Beberapa bioskop di Alun-Alun, seperti Varia, Radio City,
Oriental dan Elita, setiap hari selalu berjubel dipadati penonton."
Biasanya,
menurut dia, bioskop-bioskop tersebut dipenuhi oleh anak-anak dan kaum
remaja. Anak-anak yang menonton itu, tak jarang, ada yang diantar oleh
Aa atau Tetehnya. Dari situ pula, seringkali terdapat cerita tentang
momen "perkenalan" antara Aa dan Teteh, yang kemudian berlanjut ke
hubungan asmara di antara mereka.
Selain Alun-Alun,
Haryoto juga menuliskan tempat-tempat ngabuburit lainnya yang sering
dikunjungi anak muda, seperti taman-taman kota. "Ngabuburit jaman
baheula bisa dilakukan beramai-ramai dengan teman sekampung di beberapa
taman, seperti Jubilem Park (Taman Sari), Insulinde Park (Taman Lalu
Lintas), dan Molukken Park (Taman Maluku)," tulisnya.
Haryoto
menambahkan, anak-anak yang biasanya ngabuburit ke Insulinde dan
Molluken Park, senang menangkap dan mengumpulkan ikan-ikan kecil dari
jenis impun dengan menggunakan jaring dan ayakan bambu.
Adapun
mereka yang ngabuburit ke Jubilem Park, biasanya menyusuri kali
Cikapayang sampai ke Pieters Park (Taman Merdeka). Bagi orang dewasa,
biasanya mereka menyusuri Cikapayang sambil ngurek mencari belut.
Sementara anak-anak kecil mengadakan balap kapal-kapalan yang terbuat
dari kaleng sardencis, kelom bekas, dan kulit buah Kiangsret
(Spathodea). "Kemudian sebuah lilin menyala diletakkan dalam kapal yang
terbawa derasnya arus Cikapayang. Makin sore, makin asyik menarik,"
tulisnya.
***
Cerita yang disuguhkan oleh
Haryoto dalam bukunya itu tentu tidak akan sama dengan jaman sekarang.
Pastinya sudah banyak perubahan terjadi di Kota Bandung semenjak jaman
kolonial. Taman-taman seperti yang diceritakan di atas juga sudah jauh
berbeda keadaannya dengan jaman sekarang. Terutama dalam hal tempat
yang dikunjungi saat ngabuburit. Taman-taman tersebut tidak lagi
menjadi pusat ngabuburit pada saat ini.
Lalu, contoh
perubahan lainnya, bisa disimak cerita Haryoto tentang balai kota dan
gedung sate. Dia menulis, "anak-anak dan remaja dulu segan bermain di
lapangan Gementee (Balai Kota) dan Gouvernements Bedrijven (Gedung
Sate), karena kedua lapang tadi dijaga Opas galak dengan kumisnya yang
badak."
Kawasan Gedung Sate saat ini justru selalu
dipadati oleh mereka yang ngabuburit. Di kawasan itu pula, tepat di
trotoar seberang Gedung Sate, tiba-tiba menjadi tempat yang dipenuhi
oleh para pedagang selama bulan ramadan. Sekarang, tidak ada "Opas
galak dengan kumisnya yang badak" berkeliaran di kawasan Gedung Sate
memarahi siapapun yang ngabuburit di sana.
Mereka yang
ngabuburit di kawasan Gedung Sate biasanya duduk-duduk di tangga Gasibu
dengan santai bersama teman-temannya. Pada waktu tertentu, terdapat
acara hiburan yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan swasta dengan
menampilkan band-band populer di lapangan Gasibu. Hal tersebut semakin
menarik minat banyak anak muda untuk ngabuburit ke kawasan Gedung
Sate.
Kemudian, tepat di depan Gedung Sate, biasanya
terlihat juga beberapa grup motor. Di depan bangunan itu, mereka parkir
memamerkan motor-motornya. Terlihat bagaimana motor dengan beragam
merk berjejer bila sore hari tiba. Para anggota klub motor itu
menggunakan waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dan juga
mengaktualisasikan dirinya.
Lalu, bicara ngabuburit remaja
jaman sekarang di Kota Bandung, jarang pula terdengar ada yang
menyusuri kali sambil ngurek mencari belut seperti yang dikisahkan
Haryoto. Sekarang, kaum anak-anak, remaja, hingga dewasa, dapat ditemui
ngabuburit di Lapangan Monumen sambil melihat atraksi freestyle sebuah
klub motor.
Saban sore di lapangan Monumen, dapat
terlihat bagaimana segerombolan pemuda yang kadang masih memakai
seragam sekolah lengkap, nongkrong sambil terpana terhadap aksi salah
seorang anggota klub motor yang melakukan stoppie (teknik mengangkat
roda belakang motor).
Atraksi yang diperagakan oleh
beberapa anggota klub motor tersebut menjadi semacam hiburan gratis
bagi warga. Bahkan, kehadirannya mengundang berkah juga bagi pedagang.
Para penjual gorengan, kolak dadakan, hingga pedagang rokok asongan,
turut mewarnai Lapangan Monumen. Jadinya, semakin ramailah kawasan
tersebut.
"Dulu, kami pernah menghentikan aktivitas kami
selama beberapa bulan. Tak disangka, ada pedagang yang mengeluh agar
kami mulai bermain motor lagi. Ternyata, pendapatan mereka menurun
ketika kami menghilang selama beberapa bulan itu," ujar Arwin, seorang
anggota klub motor yang sering beratraksi di Lapangan Monumen, Jumat
(27/7).
Pusat-pusat perbelanjaan juga tak bisa dilepaskan
dari daftar tempat yang biasanya dikunjungi untuk ngabuburit pada jaman
sekarang. Terutama oleh anak muda. Desain pusat perbelanjaan yang
diatur secara khusus dengan melibatkan banyak etalase komoditas menjadi
keunggulannya. Pengunjung bisa ngabuburit sambil melihat suguhan
komoditas yang terpajang di etalase. Bila terpikat dan memiliki uang,
mereka bisa langsung membelinya. Namun bila tidak, "cuci mata" pun
jadilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar