Sejumlah pedagang daging ayam berhenti berjualan di beberapa pasar Kota Bandung, Jumat (13/7). Hal tersebut menindaklanjuti protes yang sebelumnya dilakukan oleh dua organisasi pedagang daging ayam di gedung sate pada Kamis (12/7). Dalam protes itu, mereka mengancam akan berhenti jualan bila harga daging ayam terus melambung.
Enjang, pedagang daging ayam di Pasar Sumber Hurip pun hanya berjualan ayam kampung. Lapaknya berjualan tidak sepenuh biasanya. "Hari ini saya libur jualan daging ayam ras. Soalnya, dari bandarnya juga stok ayam tidak ada," ujarnya.
Sesekali, muncul beberapa pengunjung pasar yang menanyakan daging ayam ke Enjang. Namun, pertanyaan pengunjung itu selalu dijawab sama olehnya. "Hari ini tidak jualan, Ibu," katanya.
Enjang belum mengetahui pasti hingga kapan dia berhenti berjualan. Satu-satunya kepastian yang dia dengar hanyalah perkiraan semata. "Dengar-dengar, sih, besok bandar ayam sudah menyediakan suplai daging ayam. Tapi, tak tahu juga. Malah, saya dengar bandar yang ada di Cimahi sudah mulai menyediakan stok ayam hari ini. Namun, belum pasti juga kebenaran informasi tersebut," katanya.
Di Pasar Sumber Hurip ada empat pedagang ayam. Menurut Enjang, keempat pedagang ayam, termasuk dirinya, sama-sama tidak jualan. "Sebenarnya, tingginya harga adalah inti permasalahan daging ayam ini. Saya, sih, hanya pedagang kecil. Hanya ingin banyak konsumen. Masalahnya, bagaimana konsumen bisa banyak, kalau harganya itu malah tinggi," kata dia.
Permasalahan produksi, seperti DOC, biaya makanan, obat, atau perawatan ayam dapat menjadi penentu kenaikan harga ayam akhir-akhir ini selain hukum penawaran dan permintaan. Enjang merasakan hal seperti demikian.
"Saya juga adalah peternak ayam, selain penjual daging ayam. Meskipun skalanya masih sangat kecil lah. Ongkos biaya produksi memang bisa sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga. Contohnya, harga DOC sekarang bisa sampai Rp 20.000, dan makanan ayam Rp 63.000. Harga segitu berat sekali bagi peternak," kata dia.
Harga daging ayam ras saat ini berada di kisaran Rp 32.000. Enjang mengaku, dia membeli ayam hidup dari bandar seharga Rp 20.000, kemudian dijual dalam bentuk daging potong seharga Rp 32.000. "Harga jual yang saya terapkan itu setelah menghitung proses pemotongan, dan pengulitan. Dimana dari proses tersebut, bobot ayam akan berkurang. Dari yang dibeli sekilo setengah, jadi sekilo misalnya. Penghitungan dari pedagang seperti itu,” kata dia.
Sementara itu, di Pasar Anyar, sebanyak 48 pedagang ayam juga berhenti jualan. “Sebenarnya, tadi pagi ada dua pedagang yang menjual ayam. Namun, mereka hanya menjual daging ayam sisa kemarin. Berjualannya pun tidak lama, tak sampai menjelang siang,” kata Kepala Unit Pasar Anyar, Yuyu Yudisman, di kantornya.
Mogoknya para pedagang ayam di Bandung tentunya tidak harus dibiarkan berlarut-larut. Pasalnya, kejadian tersebut akan berimbas ke semua pihak. Meskipun pihak yang paling merasakan dampaknya adalah pedagang ayam itu sendiri. “Beban pedagang ayam itu berat. Konsumen bisa saja beralih ke supermarket bila di pasar tradisional tidak ada ayam. Namun, bagi pedagang ayam, mereka tidak bisa beralih kemana-mana,” ujarnya.
Menurutnya, pedagang ayam terbebani oleh biaya yang melambung dari bandar, sementara dengan harga yang melambung tersebut, ayam dikhawatirkan tidak akan terjual habis. Bila ayam tidak terjual habis, tentu akan menjadi penghamburan bagi pedagang tersebut.
Muhaimin, pedagang ayam di Pasar Anyar, mengatakan, pemerintah perlu menangani permasalahan kenaikan harga ayam tersebut agar tidak terus-menerus merugikan para pedagang. Dia menambahkan, aksi mogok jualan yang dilakukan oleh para pedagang ayam di Kota Bandung diharapkan menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan nasib para pedagang.
“Kemarin malam sebenarnya datang kiriman ayam hidup bagi para pedagang di Pasar Anyar sebanyak 2.000 ekor. Namun, sengaja ayam-ayam tersebut kami simpan. Tidak kami potong dan jual. Hal tersebut untuk menghargai perjuangan teman-teman lainnya yang mogok jualan hari ini,” kata dia.
Peningkatan harga
Ketua Bidang Hukum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Ir. H. Herry Dermawan, mengaku mendukung aksi pemogokan yang dilakukan oleh pedagang ayam di Kota Bandung. Menurutnya, melakukan aksi pemogokan adalah hak bagi para pedagang. “Hal itu juga bisa menjadi peringatan tentang peran pemerintah dalam mengawasi pergerakan harga ayam,” katanya.
Herry menjelaskan, faktor yang mempengaruhi peningkatan harga ayam dari sisi peternak adalah faktor bibit dan pakan, serta faktor permintaan dan penawaran. Harga bibit saat ini berada di kisaran Rp 6.000-Rp 6.500/ekor. Naik dari Rp 3.500-4.000/ekor dalam jangka waktu sebulan terakhir. Sementara pakan juga berada di kisaran Rp 6.000-Rp 6.500 saat ini.
Dia menambahkan, bibit yang ada saat ini kualitasnya tidak maksimal. Dari 12 juta ekor bibit ayam yang tersedia di Jabar per minggunya, sebanyak 15% mengalami kekerdilan. Selain itu, persediaan bibit ayam itu juga tidak memenuhi kebutuhan normal yang mencapai 15-20 juta ekor/minggunya.
“Namun demikian, perlu diperhatikan, bahwa kenaikan harga ayam ini bukan semata-mata dipengaruhi oleh harga DOC atau pakan. Namun, faktor permintaan dan penawaran juga memiliki peran,” katanya.
Momentum liburan sekolah, menjelang puasa dan lebaran memiliki andil terhadap peningkatan permintaan daging ayam, sehingga mengakibatkan harganya naik. Dia memprediksi, harga daging ayam akan meningkat sebesar 40% selama periode tersebut.
Herry mengatakan, harga daging ayam yang dijual di kandang peternak saat ini Rp 17.500. Sementara bila sudah berada di tangan bandar, harganya akan berada di kisaran Rp 28.000.
Mengomentari tentang mogoknya pedagang ayam berjualan, Herry mengatakan, pemerintah seharusnya membantu kalangan peternak dengan memberdayakan pembibitan yang ada, serta membantu permodalan para pedagang agar mereka tidak perlu lagi melalui bandar bila membeli ayam. “Sehingga jalur distribusi bisa diperpendek,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan Jabar, Koesmayadi Tatang Padmadinata, mengatakan, selama 45 hari di masa lebaran pasokan ayam sebenarnya mengalami surplus. 45 hari masa lebar itu dengan perhitungan (-) 7 lebaran, (+) 7 lebaran, dan 31 hari puasa.
Selama 45 hari itu, persediaannya adalah 81.974 ton. Dimana sebanyak 77.782 ton merupakan ayam jenis boiler dan petelur. Lalu, menurut dia, kebutuhan yang ada di Jabar adalah sebesar 34.540 ton.
Mengenai peningkatan harga, dia berpendapat, hal tersebut bisa dipengaruhi oleh biaya produksi dan pola permintaan-penawaran. Menurutnya, saat ini terdapat peningkatan permintaan yang tinggi dari Jakarta. “Daya beli warga Jakarta itu tinggi. Sementara permintaan akan daging ayamnya juga saat ini meningkat, sehingga daging ayam bergerak deras ke Jakarta. Hal tersebut mengakibatkan pasokan di Jabar bisa jadi menipis,” ujarnya.
Koesmayadi mengatakan, pihaknya terus berupaya mengawasi dan mengendalikan pergerakan harga ayam. Meskipun, dia mengaku, pihaknya tidak bisa mengatur mekanisme pasar yang ada saat ini. “Namun demikian, kami terus berupaya mengawasi pergerakan harga ayam di pasaran,” kata dia.
Terkait mogoknya pedagang ayam akibat harga yang terus meningkat. Dia berharap pedagang ayam dapat memaklumi adanya pergerakan harga yang meningkat tersebut. Dia juga berharap para pedagang tersebut dapat berjualan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar