Sabtu, 31 Juli 2010

Agora

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Other
Ini film serius. Mengambil seting di tanah kerajaan Romawi Kuno bernama Alexandria pada abad ke empat masehi. Pada saat itu transformasi sosial sedang berkecamuk, seiring mulai bangkitnya ajaran kristen di Alexandria. Antagonisme dan konflik bermunculan dengan beragam bentuk. Mulai dari pertentangan teologis antara penganut ajaran kristen dan rasionalisme pagan/ateis. Hingga rekonfigurasi politik kerajaan dan agama (pengkooptasian agama kristen sebagai agama resmi kerajaan, untuk tujuan mempertahankan hegemoni kerajaan).

Di tengah transformasi sosial itu, adalah Hypathia yang menjadi sentral di film garapan Alejandro Amenabar ini. Hypathia (diperankan oleh Rachel Weisz) adalah seorang filsuf perempuan yang sedang berkutat dengan permasalahan astronomi dan matematika. Seumur hidupnya, filsuf pagan/ateis itu mencoba memecahkan masalah krusial dan fundamental pada masanya: kenapa semua benda jatuh ke tanah seolah-olah bumi itu sendiri adalah pusat? ada apa dengan bumi? bagaimana bumi ini bergerak? Bagaimana posisi bumi dan bintang (matahari) sesungguhnya?

Anjing. Keren banget deh kamu Hypathia. Udah cakep, filsuf pula.

Dalam film ini, Hypathia ibaratnya semacam titik sentral mengenai bagaimana semua tokoh yang ada dalam film ini pada akhirnya mengarah kepada dirinya.

Seperti seorang budak Hypathia, Davus (Max Minghella), yang diam-diam menyukai filsuf pagan/ateis itu. Namun dia tidak bisa menyatakan cinta, karena struktur sosial yang ada pada saat itu membuat dirinya merasa tidak mungkin untuk menyatakan cinta (pembagian kelas semacam budak, tuan tanah, raja, dll). Pada akhirnya, dia memilih untuk memeluk ajaran kristen, karena agama yang baru itu ternyata akomodatif terhadap mereka yang berasal dari strata budak. Namun justru, hal itu lah yang membuat problema Davus menjadi pelik. Davus masuk kedalam agama kristen berdasarkan amarah atas keadaan dirinya yang tidak bisa meraih cinta Hypathia. Hal itu kemudian membuat dirinya berada dalam akhir yang tragis.

Tokoh yang lain, Orestes. Gubernur kerajaan Romawi untuk wilayah Alexandria. Pada awalnya, Orestes ini adalah murid Hypathia. Sama seperti Davus, dia juga menyukai filsuf itu. Tetapi tidak sama seperti Davus, setidaknya Orestes masih bisa menyatakan cintanya kepada Hypathia, karena strata sosial dia yang bukan budak. Walaupun pernyataan cinta itu ditolak oleh Hypathia.

Dalam film ini, Orestes mewakili sosok pragmatis ala politisi negara. Setidaknya bila melihat sikapnya tentang ajaran Kristen. Pada awalnya, Orestes sama seperti Hypathia: sama-sama seorang pagan/ateis. Namun, karena perintah kerajaan Romawi pusat yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara, konsekuensinya, setiap aparatus kerajaan Romawi adalah seorang pemeluk kristen. Ini berarti, Orestes yang menjabat sebagai gubernur Alexandria juga otomatis adalah seorang pemeluk kristen. Dan Orestes pun pada akhirnya memang mengakui bahwa dia adalah seorang kristiani.

Tetapi, sikap pragmatisnya itu pada akhirnya membawa masalah juga, ketika Uskup Alexandria, Cyril (Sami Samir), mengeluarkan semacam 'fatwa' mengenai aturan-aturan perempuan dalam bersikap. Sialnya, aturan-aturan mengenai perempuan dalam fatwa tersebut cocok sekali diterapkan kepada Hypathia. Dia merupakan contoh sempurna mengenai bagaimana perempuan itu adalah 'penyihir' dan 'terkutuk' bila merunut pada fatwa uskup Alexandria: Hypathia bersuara lantang, mempercayai filsafat daripada tuhan, dan mengajar para pria mengenai filsafat ketimbang sebaliknya. Dengan begitu, Hypathia harus dihukum mati.

Disinilah terjadi pertentangan batin dalam diri Orestes. Sebagai aturan baru yang langsung datang dari Tuhan, segenap kerajaan Romawi yang mengakui ajaran kristen sebagai agama resmi harus menyetujui fatwa tersebut dan menjalankan perintahNya. Tetapi, Orestes, sebagai seorang manusia, mengalami krisis kepercayaan. Pada siapakah dia harus percaya: Tuhan Yesus, Uskup Cyril, Kerajaan Romawi, atau filsuf pagan/ateis Hypathia yang dia cintai? Sedangkan, sebagai gubernur, nasib kota Alexandria berada di tangannya.


Anjeeenggg, ini film keren.

Bila kamu tertarik kehidupan kuno, ini film wajib ditonton. Kamu bisa mendapatkan gambaran kisah-kisah mengenai bagaimana filsuf mempertanyakan esensi hidup, bagaimana para pewarta injil menyebarkan sabda Tuhan Yesus di alun-alun kota, bagaimana para pengikut kristiani menghancurkan patung berhala (seperti yang selalu diceritakan di kitab suci agama semitis). Gambaran mengenai kisah-kisah yang sering kamu baca di buku sejarah atau kitab suci-kitab suci agama semitis tentang kehidupan kuno setidaknya menjadi hidup di fim ini.Semuanya dihadirkan lengkap dengan setting suasana kuno kerajaan Romawi.

Belum lagi, suasana konflik antara mereka; kaum pagan/ateis yang memiliki hasrat pada ilmu pengetahuan, dan kepercayaan teologi kaum kristen. Membuat film ini semakin menarik untuk ditonton. Isu-isu yang diangkat dalam film ini, salah satunya seperti fundamentalisme dan jender, ternyata masih relevan dengan situasi yang ada sekarang.

Konon, untuk membuat film ini, pihak produser mempekerjakan seorang sejarawan spesialis Romawi Kuno, yakni Justin Pollard, sebagai penasihat mengenai hal-hal yang terkait detail sejarah untuk kepentingan akurasi film. Pollard juga adalah penulis buku the Rise and Fall of Alexandria.

Oya, mengenai arti Agora itu sendiri. Agora adalah sebuah tempat berkumpul atau forum. Bila dijaman sekarang mungkin bisa disebut sebagai ruang DPR lah. Tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat yang terhormat, ceunah.

restless

Sebelumnya aku tidak pernah ingat orang tua. Terutama Ibu. Hingga akhir-akhir ini...ketika ku mengalami banyak kegagalan. Ada sebuah perasaan yang tiba-tiba menyeruak melalui hati dan otak. Ada potongan-potongan memori yang mengingatkan ku pada orang tua, dan membuat perasaan ini selalu sedih.

Jumat, 30 Juli 2010

Ada Untung Dibalik Segmentasi (Studi Kasus Disney)

"The final buyer choice is only one link in a longer commodity chain of which the most important for the newspaper and television industries is the purchase of media space or time by advertisers in order to get access to media consumers"
- Mike Wayne -


Bagi kita yang terbiasa berhadapan dengan sajian informasi dari media massa cetak atau elektronik, pasti sudah familiar dengan perdebatan seputar tayangan-tayangan di tivi yang konon tak penting, tapi nyatanya tayangan itu tetap hadir, bahkan terus bertambah jumlahnya. Sebutlah tayangan-tayangan yang sempat diperdebatkan itu seperti tayangan yang bertema mistis, reality show, sinetron, hingga program semacam gosip selebritis.


Secara garis besar, perdebatan yang terjadi itu berpusat pada masalah efek dari tayangan yang disajikan. Beberapa pihak, terutama dari pihak audiens, protes dengan pilihan etikanya sendiri mengenai efek tayangan tersebut. Ada yang mengaitkannya dengan pengaruh terhadap akhlak, psikologis perkembangan mental individu, hingga ketidaksesuaian dengan nilai-nilai ketimuran. Lalu ada juga yang berargumentasi mengenai tayangan-tayangan tak penting itu sebagai tanda jatuhnya kepedulian terhadap kepentingan publik. Hal itu ditandai dengan mutu tayangan yang tidak mendidik. Hanya tertarik terhadap keuntungan semata, dengan mengabaikan kualitas isi tayangan.

Argumentasi-argumentasi dari pihak audiens itu diperlawankan lagi dengan argumentasi dari pihak produser program yang bersangkutan, sehingga membuat perdebatan semakin kompleks. Pihak produser memiliki 'bukti'-nya sendiri mengenai kenapa tayangan-tayangan yang diprotes oleh pihak audiens tetap dipertahankan, bahkan terus diproduksi, dan direproduksi. Mereka (produser) bersikukuh dengan mengasongkan segomplok data penelitian mengenai bagaimana audiens menggemari tayangan-tayangan tersebut. Dalam gomplokan data itu ada semacam persentase, bahwa acara yang bertemakan reality show, mistis, atau sinetron, memang tinggi. Hal itu berarti, bahwa masyarakat sebagian besar menyukainya. Dan oleh sebab itu, media massa sebagai "cermin kebutuhan masyarakat", akan terus menayangkannya.

Kalau sudah begini, seolah-olah keluhan pihak audiens jadi tidak relevan. Bagaimana mereka (audiens) bisa menyebut sebuah tayangan tidak bermutu, dan tidak mendidik, sementara survey penelitian menunjukkan justru tayangan seperti inilah yang paling digemari oleh audiens? Jangan-jangan audiens yang berkeluh kesah itu hanya segelintir orang saja? Dan segelintir tentu saja tidak sama dengan sebagian besar. Oleh sebab itu, media massa sebagai saluran yang "mengakomodasi kebutuhan masyarakat", akan memilih sebagian besar, alih-alih segelintir.

Namun demikian, biarpun suatu tayangan digemari atau tidak digemari oleh masyarakat, tetapi kebutuhan masyarakat bukanlah yang pertama-tama dipikirkan oleh industri media massa yang berada dalam mode produksi kapitalisme. Melainkan bagaimana mengundang para pengiklan sebanyak-banyaknya. Alasannya simpel saja, dan sangat ekonomis: ongkos produksi tidak mungkin tertutupi, tanpa kehadiran pengiklan. Jadi alasan yang diajukan pihak produser yang membawa-bawa persentase audiens serta membawa-bawa argumen media sebagai cerminan kebutuhan masyarakat patut dicurigai. Bagaimanapun balik modal adalah perkara yang sakral dalam kapitalisme. Apalagi bikin program tivi yang ongkos produksinya besar dibawah kapitalisme. Tentu saja tidak mau rugi. Tanpa balik modal, perusahaan tidak bakal selamat, karena tuntutan persaingan yang ketat sebagai dampak dari gerak kapitalisme. Dalam hal ini, iklan adalah sumber pemasukan yang berpengaruh besar bagi sebuah perusahaan media massa agar bisa terus berada dalam proses akumulasi kapital.

Audiens tidak bisa menyelamatkan stasiun televisi swasta hanya dengan duduk di depan tivi sambil menonton program tivi kesayangannya. Tidak. Kecuali ada pengiklan yang juga "melihat" audiens itu menonton.

Relasi Media Massa dengan Iklan

Terkait isu relasi antara industri media massa dan iklan ini, Mike Wyne dalam salah satu bab di bukunya "Marxism and Media Studies, Key Concept and Contemporary Trends", memaparkan tentang bagaimana korporasi media massa lebih memerioritaskan pengiklan ketimbang masyarakat. Mike Wayne melakukan sebuah studi kasus, mengenai suatu program tayangan tivi yang dipasang dalam waktu siaran utama (prime time). Program tayangan tersebut secara statistik tidak memiliki persentasi audiens yang besar. Tetapi, justru minat pengiklan yang masuk lebih besar ketimbang persentasi audiens yang menonton program tersebut. Hal ini membuat program siaran sebelumnya, yang jelas-jelas secara persentase memiliki jumlah audiens lebih besar daripada aliran iklan yang masuk, harus dihentikan tayangannya.

Untuk menggambarkan bagaimana media massa "takluk" terhadap iklan itu, Wayne mengambil contoh kongkrit mengenai intervensi yang dilakukan oleh Disney, sebuah perusahaan yang bergerak dalam sektor perfilman dan pertelevisian di Amerika Serikat (AS). Intervensi Disney itu dilakukan sekitar tahun 2001 terhadap anak perusahaannya, yakni stasiun tivi berita ABC.

Sekitar tahun 2001, marjin profit yang diperoleh oleh divisi iklan stasiun ABC menurun hingga $ 566 juta. Jumlah sekian sepertinya terlihat besar. Tetapi jumlah itu sebenarnya belum seberapa dibandingkan keseluruhan pemasukan yang diterima stasiun ABC per tahunnya. Wayne mencatat, bila dihitung secara total, pada tahun 2001 pemasukan stasiun ABC berjumlah $ 5,7 miliar. Turun dari $ 6,2 miliar pada keseluruhan pemasukan tahun sebelumnya (Mike Wayne: 2003, 77).

Namun demikian, Michael Eisner, yang saat itu menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Disney, melakukan pembenahan manajemen dengan mengganti program tayangan bertajuk "Nightline". Sebuah program talkshow yang fokus terhadap isu-isu politik nasional di AS. Program "Nightline" ini telah siaran di waktu siaran utama (prime time) selama dua puluh tahun. Tetapi, disebabkan oleh kebutuhan untuk meningkatkan kembali marjin profit stasiun ABC, program "Nightline" lantas diganti dengan program bertema bincang-bincang selebriti bertajuk "the Late Show".

Hal yang menarik dicermati dari penggantian program tayangan itu adalah, ketika melihat statistik minat audiens terhadap kedua acara tersebut. Program "Nightline" yang dipandu oleh Ted Koppel itu memiliki 5,6 juta pemirsa. Sedangkan audiens program "the Late Show" sebanyak 4,7 juta pemirsa (Mike Wayne: 2003, 78). Bila mengikuti logika yang seringkali dilontarkan oleh pihak produser suatu media massa mengenai "pemenuhan kebutuhan masyarakat" dalam mempertahankan sebuah program, tentunya program "Nightline" itu sesuai. Setidaknya dilihat dari tingkat audiens yang menontonnya. Tetapi mengapa dalam kasus Disney tersebut, program yang memiliki tingkat audiens yang tinggi itu tetap diganti juga?

Ternyata permasalahannya terletak di segmentasi umur audiens kedua program tersebut dan sasaran konsumen dari pengiklan itu sendiri. Rata-rata umur audiens yang menonton program "Nightline" berkisar 50 tahun. Sedangkan untuk umur audiens program "the Late Show" berada pada kisaran 46 tahun (Mike Wayne: 2003, 78). Perbedaan umur audiens itu ternyata menjadi penting, khususnya bila berhadapan dengan sasaran konsumen yang diburu oleh pengiklan. Dalam studi kasus yang dipaparkan oleh Wayne, aliran iklan yang besar ternyata mengalir ke program yang audiensnya berumur rata-rata 46 tahun, dibanding ke program yang rata-rata umur audiensnya 50 tahun. Iklan yang pangsa pasarnya adalah konsumen yang berumur rata-rata 40 tahun secara kuantitas ternyata lebih banyak, daripada iklan yang pangsa pasarnya adalah konsumen yang berumur rata-rata 50 tahun. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa program “Nightline” harus didepak dan diganti dengan program “the Late Show”. Ternyata ada untung dibalik segmentasi audiens.

Dari studi kasus di atas, kita dapat melihat secuil fenomena tentang bagaimana praktik media massa tidak selamanya bertujuan mulia demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Tetapi tuntutan balik modal yang diprioritaskan. Dampaknya, berkaca pada kasus Disney, kita melihat bagaimana program yang concern terhadap kepentingan publik harus didepak dan digantikan dengan acara remeh-temeh yang berkutat diseputar kehidupan orang-orang elit yang memiliki privilese tertentu, namun tidak bersangkut paut dengan kepentingan publik yang lebih luas. Semuanya dilakukan hanya untuk menaikan marjin profit perusahaan.

Media Massa Didalam Mode Produksi Kapitalisme

Studi kasus yang dilakukan oleh Wayne itu dilakukan di AS. Negara yang jauh jaraknya dari kita di Indonesia. Secara kultural pun antara AS dan Indonesia tentunya jauh berbeda. Tetapi diluar perbedaan itu, ada persamaan yang dimiliki antara Indonesia dengan AS. Persamaan itu, yakni keduanya sama-sama terintegrasi dalam sistem perekonomian kapitalisme global. Dengan begitu, ada kesamaan cara berpikir di masyarakat agar bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya. Dalam mode produksi kapitalisme, penting untuk dijaga agar modal dapat terus diputar. Hal itu dilakukan agar suatu usaha dapat bertahan di tengah ketatnya kompetisi yang menjadi salah satu ekses kapitalisme. Selain juga untuk melebarkan sayap dalam memperbesar kekuasaan demi menjaga arus modal agar tidak terganggu atau tetap stabil nantinya. Namun masalahnya, ketergantungan terhadap modal dalam mode produksi kapitalisme itu melibas setiap hal yang bersifat kualitatif dan mengabstraksikannya menjadi sesuatu yang bersifat kuantitatif semata. Hal ini sangat jelas terjadi diberbagai sektor kehidupan. Dalam kasus program-program media massa, telinga kita sudah jengah mendengar, membaca, atau melihat mutu siaran yang sangat tidak mendidik. Tetapi nyatanya program-program tersebut tetap ada bahkan semakin banyak. Hanya karena program-program itu menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi media massa yang bersangkutan.

Di sini penting untuk ditekankan mengenai keterlibatan audiens dalam hal memajukan dunia media massa, khususnya di Indonesia. Masalahnya, audiens adalah pihak yang tidak memiliki keistimewaan dalam hal produksi komoditi media massa, disebabkan oleh alat-alat produksinya yang mahal serta kompleksitas proses produksinya. Namun demikian, audiens setiap harinya selalu dibombardir oleh berbagai informasi yang keluar dari media massa. Selain itu, audiens juga dimanfaatkan sebagai faktor yang bisa mengatrol tingkat iklan yang masuk ke media massa yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, penulis merasakan pentingnya partisipasi audiens minimal dalam memahami realitas ekonomi-politik Indonesia yang bercorak kapitalisme dan memberi pengaruh terhadap praktik media massa saat ini. Dengan harapan, nantinya akan tumbuh kelompok-kelompok masyarakat kritis yang memiliki kepedulian dan tergerak untuk berkontribusi dalam membentuk dunia media massa di Indonesia agar bisa berjalan lebih baik. Dalam artian, berpartisipasi membentuk praktik media massa yang tidak mengorbankan hak masyarakat untuk mengonsumsi informasi yang berkualitas dan mencerahkan. Bagaimanapun, sesuai fitrahnya, media massa hadir untuk kepentingan masyarakat. Bukan segelintir pemegang saham yang hanya peduli kekayaannya sendiri saja.


==========================================================================================
Sudah hampir dua minggu mengira-ngira apakah tulisan ini akan dimuat di salah satu surat kabar atau tidak. Namun, hingga saat ini tak nampak gejala-gejala akan dicetak atau dimuat. Ya, sudahlah. Berarti tulisan ini kembali ke fitrahnya: bersemayam di kandang siluman.

Kamis, 29 Juli 2010

Relasi Media Massa dan Iklan (Studi Kasus Disney)

"The final buyer choice is only one link in a longer commodity chain of which the most important for the newspaper and television industries is the purchase of media space or time by advertisers in order to get access to media consumers"
- Mike Wayne -


Bagi kita yang terbiasa berhadapan dengan sajian informasi dari media massa cetak atau elektronik, pasti sudah familiar dengan perdebatan seputar tayangan-tayangan di tivi yang konon tak penting, tapi nyatanya tayangan itu tetap hadir, bahkan terus bertambah jumlahnya.

Selasa, 27 Juli 2010

Admiral Fell Promises

Rating:★★
Category:Music
Genre: Folk
Artist:Sun Kil Moon
Saya kecewa dengan rilisan Sun Kil Moon yang baru, 'Admiral Fell Promises'. Penyebabnya, semua aransemen di album ini disajikan secara akustik, tanpa diiringi instrumen konvensional lazimnya Sun Kil Moon. Ini mengecewakan. Sebab bila memang album 'Admiral Fell Promises' hanya terdiri dari vokal dan gitar akustik saja, lantas apa bedanya Sun Kil Moon dengan proyek solo frontman Sun Kil Moon itu sendiri selama ini, yakni Mark Kozelek?

Mendengar Sun Kil Moon merilis album baru, membuat saya bahagia. Saya mengira-ngira, racikan folk/rock apalagi yang akan mereka ramu? Di album Sun Kil Moon sebelumnya, 'April', mereka menawarkan musik cantik. Sangat lembut dan gelap, walaupun memakai distorsi, tetapi vokal Mark Kozelek serta nada-nada 'gloomy' yang dibuatnya membuat album 'April' menjadi rilisan yang klasik bagi saya pribadi. Tidak pernah bosan saya mendengar lagu 'Lost Verses' berulang kali, walaupun durasinya cukup panjang, sekitar sembilan menit, dan strukturnya sangat repetitif. Tetapi feeling seorang musisi yang jago memang tidak boleh diremehkan. Bila sudah 'kena', tetap saja enak buat didengarkan. Sesimpel atau serepetitif apapun lagu itu.

Sayangnya sensasi seperti yang didapatkan dari album 'April' itu tidak didapatkan lagi di album 'Admiral Fell Promises' ini. Segala bayangan mengenai arah album baru Sun Kil Moon, seperti apakah album ini akan lebih gelap dari album sebelumnya atau malah lebih cerah, sepertinya menjadi sebuah anti-klimaks. Sebagai gantinya, selama 50 menit saya disuguhi oleh parade solo Mark Kozelek yang sibuk dengan vokal dan gitar akustiknya saja. Tanpa ada instrumen-instrumen band lainnya. Dipikir-pikir, proyek solo Mark Kozelek pada tahun 2008, 'Finally', lebih baik daripada Sun Kil Moon 'Admiral Fell Promises'.

Ini benar-benar mengecewakan. Saya tidak tahu, apakah Mark Kozelek memang tidak ada niatan untuk membuat suatu pembedaan melalui cara mengaransemen lagu dengan lebih serius dan 'mikir', ataukah memang dia sudah menjadi pemalas dan kehilangan kejeniusannya mengaransemen lagu?

***
Untuk yang belum familiar dengan Sun Kil Moon, pada dasarnya band ini memainkan musik folk/rock. Atmosfirnya cukup nyaman dan juga gelap. Dan itu juga yang memang menjadi ciri khas Mark Kozelek/Sun Kil Moon: gelap dan suram. Bila kamu menyukai atmosfir yang gelap dan suram seperti itu, album 'Admiral Fell Promises' ini boleh dicoba. Tetapi saya menyarankan untuk mendengarkan terlebih dahulu album-album Sun Kil Moon sebelumnya, seperti 'Ghost in the Great Highway', dan 'April'. Saya jamin, kedua album itu sangat cantik. Sendu sekaligus romantis lah :D

Sun Kil Moon ini adalah band yang diprakarsai oleh Mark Kozelek. Sebelumnya, Mark Kozelek adalah front man dari band Red House Painters. Sebuah band indie-rock era 90an. Red House Painters itu sendiri sudah bubar di awal 2000 (kalau tidak salah). Setelah Red House Painters bubar, Kozelek aktif membuat proyek solonya sendiri, dan juga membuat Sun Kil Moon. Selain itu, Kozelek juga membuat label rekamannya sendiri, yakni Caldo Verde. Musisi yang berada di bawah payung Caldo Verde ini beberapa diantaranya adalah, Kath Bloom (female folk/pop singer), dan Jesu (drone/shoegaze/eksperimental).

Mengenai kehidupan Kozelek ini, ada beberapa kisah yang menarik. Di umurnya yang masih belasan tahun, Kozelek sudah mengalami ketergantungan terhadap narkoba. Dan hal itu membuatnya selalu terlibat masalah. Terutama masalah yang berkaitan dengan emosi. Selain itu, cerita menarik lainnya adalah, bagaimana dia meniduri pacar teman satu bandnya ketika masih di Red House Painters dulu.

Dipikir-pikir, musik boleh mellow dan 'gelap'. Tapi soal attitude, tetap saja si doi rock n' roll :D



Rabu, 21 Juli 2010

Organized Konfusion

Suatu waktu, temanku ini mengaku sebagai cenayang, dan dia terlihat sungguh-sungguh dengan perkataannya itu.

“Jadi kamu cenayang?” kataku.

“Aku kan Mama Loreng,” katanya.

“Soklah…jadi, gimana karier gua dimasa depan?”

“Kamu mah ga cocok sama elemen air,” jawabnya.

“Berarti gua ga bisa buka usaha kolam renang dong?” balasku.

“Pokoknya kamu ga cocok jadi perenang, buka usaha depot air minum. Pokoknya yang berhubungan sama aer.”

O, ya sudah. Masa bodoh juga.

Sekarang waktunya bertanya ramalan yang menyangkut perkara hati, alias perjodohan. Maklum, sudah berkepala dua. Otomatis penasaran juga masalah jodoh. Walaupun temanku itu diragukan kredibilitasnya dalam hal ramal-meramal, tetap saja saya penasaran mengenai ‘ramalan’-nya tentang nasib perjodohan ini.

“Terus, sekarang perjodohan. Kalau jodoh gua gimana menurut ramalan kamu?”

“Bukannya merendahkan nih…,” dia menjawab.

Sebenarnya untuk pertanyaan ini sedikit aneh, karena dia cukup lama membalasnya.

“Tapi untuk masalah jodoh, kamu mah susah. Susah sregnya,” katanya lagi.

Disitu saya ketawa ngakak. Saya ingat cerita-cerita perkara hati yang dulu-dulu. Bila dia meramal seperti itu, bisa jadi memang benar seperti demikian.

Alasan yang menjadi penyebab perjodohan tidak pernah beres-beres selama ini, seperti yang telah diramalkan oleh perempuan itu, yaitu ‘tidak sreg’ jadi terpikirkan juga olehku. Mungkin juga perempuan itu, sekali lagi, benar. Selama ini saya memang tidak pernah yakin bila menyangkut hubungan dengan perempuan. Saya selalu berpikir, mungkin ini ada kaitannya dengan kebiasaan sehari-hari yang selalu terbiasa memikirkan diri sendiri. Seringkali melakukan apa-apa dengan sendiri, sehingga ketika menyangkut hubungan dengan ‘kehidupan’ yang lain, terasa canggung.

“Bener kaannn?!” kata perempuan itu lagi.

“Hmm, ga tau juga deh,” balasku kemudian.

Suatu ketika, saya chatting melalui YM dengan temanku yang lain. Kali ini temanku itu laki-laki. Suasana saat itu sudah larut malam. Suasana larut malam ini kiranya patut ditulis, karena temanku itu sedang dikantor. Kerja shift malam. Berada di kantor sendirian larut malam tentunya akan berpengaruh juga secara psikologis.

“Galau euy, kudu cari pacar ini mah,” tulis temanku itu di YM.

“Hahah. Iya, bung. Cari jodoh yang sreg dan belum punya pacar,” balasku.

“Ga usah yang sreg, yang penting kita ngebonceng perempuan di motor,” timpal temanku itu.

Rupanya masalah sreg atau tidak sreg tidak berpengaruh besar buat temanku itu. Saya hanya membalas omongan dia dengan emoticon 'big laugh' saja, karena saya tidak tahu harus berbicara apa lagi.

Tidak beberapa lama, dia menulis lagi melalui YM. “Nyari soulmate mah lama dan susah. Sekarang mah yang penting ada dulu.”

Saya iyakan saja perkataannya itu, ditambah tulisan ‘he-he-he’ setelahnya. Saya tidak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.

Ada orang yang pernah berkata padaku perihal masalah jodoh ini, bahwa selalu pilih-pilih seringkali menjadi penyebab mengapa seseorang selalu mentok disitu-situ saja. Menurut orang itu, saya memang terlalu pilih-pilih bila menyangkut hubungan dengan perempuan.

Sebenarnya saya tidak ingin pilih-pilih, tetapi seringkali perasaan tidak sreg itulah yang selalu dominan bila sudah mulai berhubungan dengan perempuan. Terlalu banyak pertimbangan ini-itulah. Dalam satu titik, saya sendiri mulai ragu…apakah memang hubungan saya dengan seseorang itu tidak nyambung, atau memang saya nya saja yang memang tidak ada keberanian? Dari sini saya lebih baik merokok.

Tetapi, suatu waktu, orang yang berkata tentang masalah ‘pilih-pilih’ ini mengucapkan sesuatu yang, bagiku, terasa kontradiktif dengan perkataannya yang terdahulu. “Tapi, kalau masalah jodoh mah si emang ga bisa dipaksain. Kalau memang ga yakin mah, ya, masa mau dipaksain?”

Mendengar omongannya sekali lagi saya menjadi tambah bingung. Jadi, setidaknya ada dua hal disini…jangan pilih-pilih, dan jangan dipaksakan.

Hmm, saya tidak tahu apa lagi yang mau ditulis. Sudah bingung sendiri.

Tetapi, dulu sekali saya ingat, pernah ada seorang teman perempuan yang bertanya kepadaku perihal jodoh ini. “Jadi, kriteria cewe yang kamu suka tuh yang kaya gimana?” katanya.

“Yang komedian,” jawab saya.


Sabtu, 17 Juli 2010

Teori

"The rational society subverts the idea of Reason."
Herbert Marcuse (1964)

Bila teori berangkat dari pengalaman di kehidupan nyata, kenapa dalam setiap perbincangan masih sering terdengar ucapan "ah, teori!", seperti itu? Ucapan tersebut secara tidak langsung, seperti menjelaskan kegagalan teori dalam menjelaskan kehidupan nyata.

Kamis, 15 Juli 2010

Kota

Kota bisa menjadi tempat yang asing bagi penghuninya. Padahal jajaran gedung yang menjulang serasa menembus langit beserta papan reklame yang terpasang di kiri dan kanan jalan perkotaan konon adalah simbol kemakmuran sebuah kota. Seperti yang pernah kudengar dari pepatah lama: "kemakmuran sebuah masyarakat dimana corak produksi kapitalis muncul, menampakkan dirinya dalam wujud “an immense collection of commodities" atau mengoleksi komoditi sebanyak-banyaknya.”

Keterlemparan

Seseorang pernah berkata, bahwa manusia dalam satu rangkaian hidupnya selalu mengalami keterlemparan keluar dari dunia yang dia diami. Dalam keterlemparan itu manusia akan berhadapan dengan sesuatu yang disebut 'ada'. Lalu orang itu berkata lagi, bahwa ketika sang manusia berhadapan dengan apa yang disebut 'ada', maka manusia sebenarnya mengalami sebuah momentum yang otentik dalam periode hidupnya.

Ngacapruk: Keterlemparan

Seseorang pernah berkata, bahwa manusia dalam satu rangkaian hidupnya selalu mengalami keterlemparan keluar dari dunia yang dia diami. Dalam keterlemparan itu manusia akan berhadapan dengan sesuatu yang disebut 'ada'. Lalu orang itu berkata lagi, bahwa ketika sang manusia berhadapan dengan apa yang disebut 'ada', maka manusia sebenarnya mengalami sebuah momentum yang otentik dalam periode hidupnya. Otentik disebabkan manusia berhadapan dengan dirinya sendiri yang substansial, yang bergulat dengan perihal menyangkut pengalaman eksistensial. Dalam hal ini, 'ada' konon menyingkapkan dirinya sendiri kepada manusia.

Secara contoh konkrit, pengalaman keterlemparan itu bisa diartikan, ketika dalam kesibukan sehari-hari, tiba-tiba ada suatu jeda...suatu momen dimana kamu mulai diam, tercenung, dan mempertanyakan apa yang sebenarnya kamu lakukan: kenapa saya melakukan ini? kenapa saya ada disini? siapa saya? dsb, dsb.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keberadaan diri itulah, maka konon, pengalaman keterlemparan diartikan juga sebagai bergulat dengan pengalaman yang bersifat eksistensial. Pengalaman yang menyangkut keberadaan diri di dunia dengan cara yang lebih reflektif dan substansial. Tetapi, karena sifatnya yang bergulat dengan pengalaman eksistensial itu, sang manusia tidak akan kuat berlama-lama berkutat dalam momen keterlemparan. Sang manusia ingin melupakan kenyataan dirinya, maupun pertanyaan-pertanyaan seputar keberadaannya dalam tataran reflektif. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanyalah sumber kegelisahan dan keresahan. Sang manusia tidak ingin terus-menerus selama satu hari penuh dilanda keresahan. Oleh sebab itu, sang manusia lebih memilih mengerjakan hal yang lainnya, daripada tercenung memikirkan siapa dirinya sebenarnya, dan kenapa dia bisa tiba-tiba sampai di dunia yang ga jelas kaya gini. 'Bisa gila', kalau kata bahasa gaul sekarang.

Dalam memilih untuk menghindar dari keterlemparan, sang manusia kembali kedalam keseharian. Sebuah aktivitas dimana dia bergerak selayaknya pola yang biasa dijalani. Sang manusia bekerja, bercanda dengan teman-teman kantor, jalan-jalan bersama orang terdekat sambil membicarakan apa saja: mulai dari nanya udah makan apa belum, sampai ngobrolin film yang baru saja ditonton bareng. Sang manusia larut dalam kesehariannya.

Tapi, momen keterlemparan ibarat milisi yang jago gerilya. Tiba-tiba saja dia bisa menyergap, dan seolah-olah membuat beku dinamika keseharian. Kesepian, kesunyian, dan pertanyaan-pertanyaan dingin seputar kenyataan eksistensial menyeruak. Kembali, sang ajudan keterlemparan semacam kegelisahan dan keresahan ikut juga memeluk dari belakang.

Konon antara momen keterlemparan dan keseharian selalu terjadi ketegangan. Dalam satu sisi, keduanya begitu kontras satu sama lain. Di sisi yang lainnya, kedua-duanya begitu diperlukan oleh sang manusia. Sang manusia begitu berhasrat untuk mengetahui dirinya secara eksistensial, tetapi 'ada' tidak menyingkapkan diri ketika manusia larut dalam kesehariannya. Keseharian membuat manusia terasing dari pemikiran-pemikiran eksistensial, karena dalam keseharian, sang manusia disibukkan oleh berbagai urusannya. Sedangkan 'Ada' itu sendiri menyingkapkan dirinya, disaat-saat kesunyian dan terisolasi dari dunia luar. Di titik ini juga terjadi kontradiksi, karena sang manusia tidak bisa terus-terusan terisolasi dari dunia luar. Bila terisolasi terus-menerus, sang manusia akan stress. Manusia butuh juga berinteraksi.

Dari keadaan ini, manusia seperti, mengutip Francisco Budi Hardiman, "menyembul dan membenamkan diri dalam keseharian, menemukan 'ada'-nya dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian..."

===================================================================
15 Juli 2010. Tiba-tiba saja bangun tengah malam, dan ga bisa tidur lagi, karena pikiran-pikiran aneh mulai bergentayangan. Kematian. Kegagalan. Kehilangan. Kesedihan. Masa depan yang ga jelas. Masa lalu yang ga jelas. Siapa saya? Gimana saya nantinya? Kemana saya nantinya? Bluah. Ampun. Bisa gila. 

Senin, 05 Juli 2010

Master Yoda Has Spoken


"Fear of lost is a path to the darkside. Death is natural part of life. Rejoice for those surround you who transform life into the force. Mourn them do not. Miss them do not. Attachment leads to jealousy. The shadow of greed that is. Train yourself to let go...of everything you fear to lose."
- Master Yoda, "Revenge of the Sith" -