Rating: | ★★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Other |
Di tengah transformasi sosial itu, adalah Hypathia yang menjadi sentral di film garapan Alejandro Amenabar ini. Hypathia (diperankan oleh Rachel Weisz) adalah seorang filsuf perempuan yang sedang berkutat dengan permasalahan astronomi dan matematika. Seumur hidupnya, filsuf pagan/ateis itu mencoba memecahkan masalah krusial dan fundamental pada masanya: kenapa semua benda jatuh ke tanah seolah-olah bumi itu sendiri adalah pusat? ada apa dengan bumi? bagaimana bumi ini bergerak? Bagaimana posisi bumi dan bintang (matahari) sesungguhnya?
Anjing. Keren banget deh kamu Hypathia. Udah cakep, filsuf pula.
Dalam film ini, Hypathia ibaratnya semacam titik sentral mengenai bagaimana semua tokoh yang ada dalam film ini pada akhirnya mengarah kepada dirinya.
Seperti seorang budak Hypathia, Davus (Max Minghella), yang diam-diam menyukai filsuf pagan/ateis itu. Namun dia tidak bisa menyatakan cinta, karena struktur sosial yang ada pada saat itu membuat dirinya merasa tidak mungkin untuk menyatakan cinta (pembagian kelas semacam budak, tuan tanah, raja, dll). Pada akhirnya, dia memilih untuk memeluk ajaran kristen, karena agama yang baru itu ternyata akomodatif terhadap mereka yang berasal dari strata budak. Namun justru, hal itu lah yang membuat problema Davus menjadi pelik. Davus masuk kedalam agama kristen berdasarkan amarah atas keadaan dirinya yang tidak bisa meraih cinta Hypathia. Hal itu kemudian membuat dirinya berada dalam akhir yang tragis.
Tokoh yang lain, Orestes. Gubernur kerajaan Romawi untuk wilayah Alexandria. Pada awalnya, Orestes ini adalah murid Hypathia. Sama seperti Davus, dia juga menyukai filsuf itu. Tetapi tidak sama seperti Davus, setidaknya Orestes masih bisa menyatakan cintanya kepada Hypathia, karena strata sosial dia yang bukan budak. Walaupun pernyataan cinta itu ditolak oleh Hypathia.
Dalam film ini, Orestes mewakili sosok pragmatis ala politisi negara. Setidaknya bila melihat sikapnya tentang ajaran Kristen. Pada awalnya, Orestes sama seperti Hypathia: sama-sama seorang pagan/ateis. Namun, karena perintah kerajaan Romawi pusat yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara, konsekuensinya, setiap aparatus kerajaan Romawi adalah seorang pemeluk kristen. Ini berarti, Orestes yang menjabat sebagai gubernur Alexandria juga otomatis adalah seorang pemeluk kristen. Dan Orestes pun pada akhirnya memang mengakui bahwa dia adalah seorang kristiani.
Tetapi, sikap pragmatisnya itu pada akhirnya membawa masalah juga, ketika Uskup Alexandria, Cyril (Sami Samir), mengeluarkan semacam 'fatwa' mengenai aturan-aturan perempuan dalam bersikap. Sialnya, aturan-aturan mengenai perempuan dalam fatwa tersebut cocok sekali diterapkan kepada Hypathia. Dia merupakan contoh sempurna mengenai bagaimana perempuan itu adalah 'penyihir' dan 'terkutuk' bila merunut pada fatwa uskup Alexandria: Hypathia bersuara lantang, mempercayai filsafat daripada tuhan, dan mengajar para pria mengenai filsafat ketimbang sebaliknya. Dengan begitu, Hypathia harus dihukum mati.
Disinilah terjadi pertentangan batin dalam diri Orestes. Sebagai aturan baru yang langsung datang dari Tuhan, segenap kerajaan Romawi yang mengakui ajaran kristen sebagai agama resmi harus menyetujui fatwa tersebut dan menjalankan perintahNya. Tetapi, Orestes, sebagai seorang manusia, mengalami krisis kepercayaan. Pada siapakah dia harus percaya: Tuhan Yesus, Uskup Cyril, Kerajaan Romawi, atau filsuf pagan/ateis Hypathia yang dia cintai? Sedangkan, sebagai gubernur, nasib kota Alexandria berada di tangannya.
Anjeeenggg, ini film keren.
Bila kamu tertarik kehidupan kuno, ini film wajib ditonton. Kamu bisa mendapatkan gambaran kisah-kisah mengenai bagaimana filsuf mempertanyakan esensi hidup, bagaimana para pewarta injil menyebarkan sabda Tuhan Yesus di alun-alun kota, bagaimana para pengikut kristiani menghancurkan patung berhala (seperti yang selalu diceritakan di kitab suci agama semitis). Gambaran mengenai kisah-kisah yang sering kamu baca di buku sejarah atau kitab suci-kitab suci agama semitis tentang kehidupan kuno setidaknya menjadi hidup di fim ini.Semuanya dihadirkan lengkap dengan setting suasana kuno kerajaan Romawi.
Belum lagi, suasana konflik antara mereka; kaum pagan/ateis yang memiliki hasrat pada ilmu pengetahuan, dan kepercayaan teologi kaum kristen. Membuat film ini semakin menarik untuk ditonton. Isu-isu yang diangkat dalam film ini, salah satunya seperti fundamentalisme dan jender, ternyata masih relevan dengan situasi yang ada sekarang.
Konon, untuk membuat film ini, pihak produser mempekerjakan seorang sejarawan spesialis Romawi Kuno, yakni Justin Pollard, sebagai penasihat mengenai hal-hal yang terkait detail sejarah untuk kepentingan akurasi film. Pollard juga adalah penulis buku the Rise and Fall of Alexandria.
Oya, mengenai arti Agora itu sendiri. Agora adalah sebuah tempat berkumpul atau forum. Bila dijaman sekarang mungkin bisa disebut sebagai ruang DPR lah. Tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat yang terhormat, ceunah.