Selasa, 21 Maret 2017

Menolak Bala



Frekuensi menulis blog sudah tidak sesering dulu. Sepertinya sudah menjadi permasalahan basi kenapa frekuensi menulis blog menurun drastis: persoalan mood. Meskipun, dalam beberapa bulan terakhir, banyak hal-hal yang menyita pikiran. Tapi, untuk menuangkannya ke dalam tulisan, aku merasa kepayahan untuk memulainya. Tidak tahu harus memulai dari mana.

Sering aku berpikir hidupku adalah sebuah rangkaian peristiwa-peristiwa ironis. Sudah 5 tahun terakhir aku bekerja di perusahaan media cetak. Setiap harinya pekerjaanku adalah menulis. Setiap harinya aku bekerja berdasarkan tugas pokok, menulis peristiwa-peristiwa sosial. Menulis hal-hal di luar diriku. Setiap harinya, aku bisa menulis antara 2 sampai 3 tulisan per hari di kisaran 600 karakter per tulisan.
 
Aku sering berpikir, saat menulis untuk urusan kantor aku bisa melakukannya setiap hari. Tetapi, ketika urusannya menulis untuk diriku sendiri, aku sangat-sangat payah. Sering juga aku berpikir, apakah mungkin karena energi yang tersita untuk pekerjaan lumayan besar sehingga energi yang tersita untuk menulis bagi diri sendiri sangat kecil? Tapi,  aku pikir, tidak juga seperti itu keadaannya. Bila memang aku mau, aku bisa mencuri-curi waktu di sela-sela rutinitas untuk menulis seputar hal-hal yang terjadi di sekitar ku. Apalagi, ritme kerjaku sebenarnya cukup senggang. Masih ada ruang bagiku untuk sedikit bersembunyi, menyelam dari permukaan rutinitas, menyendiri di ruang redup yang luput dari perhatian orang-orang. 

Sudah aku katakan sebelumnya bahwa banyak peristiwa-peristiwa yang menimpaku dan seharusnya bisa kutuangkan dalam bentuk tulisan. Tapi, sebenarnya aku merasa, aku tidak punya pemahaman yang lengkap tentang peristiwa itu sehingga mematahkan keinginanku untuk menuangkannya. Beberapa draf sudah pernah kutulis tentang suatu peristiwa, namun dalam satu titik, aku merasa mentok. Tidak tahu lagi harus menulis apa, tidak tahu lagi harus membawa alur tulisan ke arah mana. Aku merasa hilang arah dan akhirnya tulisan-tulisan itu terbengkalai. Sampai sekarang, kotretan-kotretan itu teronggok begitu saja di folder laptop. Jarang sekali kubuka agar bisa dibaca ulang. 

Soal ini, kadang ketika aku baru punya niat saja akan membaca ulang, yang muncul di pikiranku adalah masalah-masalah yang mentok, yang aku sendiri tidak punya pengetahuan bagaimana mengurai benang kusutnya. Akhirnya, aku urung membaca ulang dan yang ada, aku memutar musik, mendengarkan lagu dan melupakan masalah. 

Kadang aku merasa, ini masih ada kaitannya dengan ketidaktahuan tentang arah hidupku juga. Pikiran tentang masa depan akhir-akhir ini cukup menyita pikiran.  Mungkin faktor umur juga. Umurku saat ini sudah 32 dan rasa-rasanya di umur sekian, ada banyak hal yang harus dilakukan. Namun dengan waktu yang terbatas, dengan gerak yang menyempit.  Dan ketidaktahuan akan seperti apa hidupmu ke depan, ternyata akan membuatmu cukup takut juga. 

Masalahnya, aku merasa hidupku sendiri tidak seperti orang kebanyakan.  Masih ada kebiasaan-kebiasaan yang sering kulakukan sama seperti ketika aku masih sekolah dulu, ketika ongkos sehari-hari masih disuplai oleh orang tua. Sering aku menyita gaji bulanan yang cukup besar hanya untuk membeli cd musik. Aku masih aktif latihan band (yang mana ongkosnya menyita gaji bulanan aku juga). Bahkan, saat ini bandku sedang masuk ke dalam tahap rekaman. Semuanya mengalir begitu saja. 

Dalam satu titik aku sering berpikir, saat orang-orang seumuranku tengah asyik-asyiknya mengggendong anak pertama atau kedua mereka, aku masih berada di kamar mendengarkan rekaman-rekaman musik. Saat orang-orang seumuranku tengah bekerja keras untuk membayar cicilan rumah, aku menyisakan pendapatanku untuk bisa merekam lagu. Di umurku yang ke 32, aku masih bertingkahlaku seperti mereka yang berumur 22.  

Itu salah satu pikiran yang menggelayuti benakku akhir-akhir ini. Baru salah satunya saja. Percayalah, banyak pikiran lainnya yang berseliweran di benakku ketika umurku ternyata sudah berkepala tiga ini. Di antara beragam pikiran yang berseliweran itu, kurasakan ada satu pokok persoalan yang menjadi ketakutan utamaku: bagaimana waktu terasa memendek, ruang terasa menyempit, namun begitu banyak hal yang harus kau lakukan dan realisasikan.

Tidak ada komentar: