Frekuensi menulis blog sudah tidak sesering dulu. Sepertinya sudah menjadi
permasalahan basi kenapa frekuensi menulis blog menurun drastis: persoalan
mood. Meskipun, dalam beberapa bulan terakhir, banyak hal-hal yang menyita
pikiran. Tapi, untuk menuangkannya ke dalam tulisan, aku merasa kepayahan untuk
memulainya. Tidak tahu harus memulai dari mana.
Sering aku berpikir hidupku adalah sebuah rangkaian peristiwa-peristiwa
ironis. Sudah 5 tahun terakhir aku bekerja di perusahaan media cetak. Setiap
harinya pekerjaanku adalah menulis. Setiap harinya aku bekerja berdasarkan
tugas pokok, menulis peristiwa-peristiwa sosial. Menulis hal-hal di luar
diriku. Setiap harinya, aku bisa menulis antara 2 sampai 3 tulisan per hari di kisaran
600 karakter per tulisan.
Aku sering berpikir, saat menulis untuk urusan kantor aku bisa melakukannya
setiap hari. Tetapi, ketika urusannya menulis untuk diriku sendiri, aku
sangat-sangat payah. Sering juga aku berpikir, apakah mungkin karena energi
yang tersita untuk pekerjaan lumayan besar sehingga energi yang tersita untuk
menulis bagi diri sendiri sangat kecil? Tapi, aku pikir, tidak juga
seperti itu keadaannya. Bila memang aku mau, aku bisa mencuri-curi waktu di
sela-sela rutinitas untuk menulis seputar hal-hal yang terjadi di sekitar ku.
Apalagi, ritme kerjaku sebenarnya cukup senggang. Masih ada ruang bagiku untuk
sedikit bersembunyi, menyelam dari permukaan rutinitas, menyendiri di ruang
redup yang luput dari perhatian orang-orang.
Sudah aku katakan sebelumnya bahwa banyak peristiwa-peristiwa yang
menimpaku dan seharusnya bisa kutuangkan dalam bentuk tulisan. Tapi, sebenarnya
aku merasa, aku tidak punya pemahaman yang lengkap tentang peristiwa itu
sehingga mematahkan keinginanku untuk menuangkannya. Beberapa draf sudah pernah
kutulis tentang suatu peristiwa, namun dalam satu titik, aku merasa mentok.
Tidak tahu lagi harus menulis apa, tidak tahu lagi harus membawa alur tulisan
ke arah mana. Aku merasa hilang arah dan akhirnya tulisan-tulisan itu
terbengkalai. Sampai sekarang, kotretan-kotretan itu teronggok begitu saja di
folder laptop. Jarang sekali kubuka agar bisa dibaca ulang.
Soal ini, kadang ketika aku baru punya niat saja akan membaca ulang, yang
muncul di pikiranku adalah masalah-masalah yang mentok, yang aku sendiri tidak
punya pengetahuan bagaimana mengurai benang kusutnya. Akhirnya, aku urung
membaca ulang dan yang ada, aku memutar musik, mendengarkan lagu dan melupakan
masalah.
Kadang aku merasa, ini masih ada kaitannya dengan ketidaktahuan tentang
arah hidupku juga. Pikiran tentang masa depan akhir-akhir ini cukup menyita
pikiran. Mungkin faktor umur juga. Umurku saat ini sudah 32 dan
rasa-rasanya di umur sekian, ada banyak hal yang harus dilakukan. Namun dengan
waktu yang terbatas, dengan gerak yang menyempit. Dan ketidaktahuan akan
seperti apa hidupmu ke depan, ternyata akan membuatmu cukup takut juga.
Masalahnya, aku merasa hidupku sendiri tidak seperti orang kebanyakan.
Masih ada kebiasaan-kebiasaan yang sering kulakukan sama seperti ketika aku
masih sekolah dulu, ketika ongkos sehari-hari masih disuplai oleh orang tua.
Sering aku menyita gaji bulanan yang cukup besar hanya untuk membeli cd musik.
Aku masih aktif latihan band (yang mana ongkosnya menyita gaji bulanan aku
juga). Bahkan, saat ini bandku sedang masuk ke dalam tahap rekaman. Semuanya
mengalir begitu saja.
Dalam satu titik aku sering berpikir, saat orang-orang seumuranku tengah
asyik-asyiknya mengggendong anak pertama atau kedua mereka, aku masih berada di
kamar mendengarkan rekaman-rekaman musik. Saat orang-orang seumuranku tengah
bekerja keras untuk membayar cicilan rumah, aku menyisakan pendapatanku untuk
bisa merekam lagu. Di umurku yang ke 32, aku masih bertingkahlaku seperti
mereka yang berumur 22.
Itu salah satu pikiran yang menggelayuti benakku akhir-akhir ini. Baru
salah satunya saja. Percayalah, banyak pikiran lainnya yang berseliweran di
benakku ketika umurku ternyata sudah berkepala tiga ini. Di antara beragam
pikiran yang berseliweran itu, kurasakan ada satu pokok persoalan yang menjadi
ketakutan utamaku: bagaimana waktu terasa memendek, ruang terasa menyempit,
namun begitu banyak hal yang harus kau lakukan dan realisasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar