Jalan di pinggir
Masjid Istiqamah, Bandung, 2003 silam, akan menjadi saksi sekelompok pelajar
SMA melakukan demonstrasi pertamanya. Puluhan pelajar saat itu turun ke jalan
dalam sebuah barisan yang hanya ditandai oleh tali rapia.
Barisan terdepan
pawai diisi oleh pelajar yang membentangkan spanduk berisi tuntutan “biaya
sekolah harus pro rakyat miskin”. Kemudian yel-yel terdengar dari pelantang
suara salah satu orator, meneriakan perihal sistem sekolah yang kapitalistik.
Orator berada di depan sendirian, di luar barisan. Seolah memimpin sebuah stampede
binatang-binatang yang sedang terbakar hasrat. Ketika yel-yel orator keluar
dari pelantang suara, bergema sahutan dari anggota pawai. Mereka teriak,
menyahut orator dengan tangan kiri terkepal.
Derap pawai puluhan
pelajar yang tergabung dalam Front Pembebasan Pelajar itu kemudian berhenti di
depan SMA 20. Sekolah yang terletak di seberang Masjid Istaqamah. Sekolah itu
sepi ketika puluhan peserta pawai berdiam di depan gerbang. Mungkin para
pelajarnya tidak diizinkan keluar oleh otoritas sekolah.
Namun orator tidak
berhenti berorasi. Sang orator bahkan mengajak pelajar SMA 20 untuk keluar
sekolah dan bergabung dengan barikade. Tidak ada pelajar SMA 20 yang menyambut
ajakan sang orator itu. Sekian menit berteriak melalui pelantang suara, gerbang
sekolah masih tertutup rapat. Masih tidak ada tanda-tanda keramaian di halaman
sekolah. dari balik gerbang.
Sang orator
meyakinkan dirinya bahwa sebuah tugas setidaknya telah terpenuhi. Ajakan telah
dilakukan, meskipun tidak seperti undangan resmi yang penuh sopan santun,
seperti berkirim surat atau pendekatan personal. Ajakan yang disampaikan
melalui pelantang suara dengan volume yang memekikkan setidaknya bisa membuat
pesan terdengar jelas, meskipun tidak ada pelajar pun di sekolah itu yang
menyambutnya.
Udara akan
mengantarkan getaran bunyi pelantang suara ke daun telinga mereka-mereka yang
ada di dalam gedung sekolah. Udara tidak akan terhalang oleh gerbang sekolah
maupun tembok-tembok kelas untuk mengantarkan pesan turun ke jalan.
Setelah berdiskusi
singkat, sang orator kemudian memutuskan unjuk rasa kembali dilanjutkan. Kali
ini dengan tujuan SMA 1 yang terletak di kawasan Dago. Jaraknya cukup jauh bila
harus berjalan kaki. Tapi, barisan nyatanya tetap melaju. Toh, di perjalanan
nanti, setidaknya ada satu pesan yang akan tersampaikan ke orang-orang yang
melihat pawai itu. Pesan tentang sesuatu mengenai eksistensi. Tentang sebuah
pengakuan bagi mata-mata anonim di pinggir jalan tentang sekelompok remaja yang
tengah bergelora.
Di antara pepohonan,
jalan raya, pengkolan yang terlewati oleh barisan, tidak ada satupun dari
remaja tanggung yang sedang berunjuk rasa pertama kalinya itu bisa menebak
akhir dari gelora semangat tersebut akan bermuara dimana. Mungkin juga tidak
ada yang terpikirkan bila waktu yang berputar dan abu-abunya kehidupan bisa
membentuk pribadi yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar